Orang-Orang yang Terhormat, Novel Sastrawan NU yang Dianggap Berbahaya Rezim Soeharto
NU Online · Sabtu, 14 Juni 2025 | 17:00 WIB
Malik Ibnu Zaman
Kolomnis
Indonesia menyimpan sejarah panjang yang kelam terkait pelarangan buku. Upaya membungkam suara-suara kritis dan membatasi kebebasan berekspresi terjadi di hampir setiap rezim pemerintahan. Namun, puncaknya terjadi pada masa Orde Baru, ketika selama 32 tahun kekuasaan Soeharto, ratusan judul buku dilarang beredar di tengah masyarakat.
Salah satu buku yang turut menjadi korban pelarangan adalah novel Orang-orang yang Terhormat (OYT) karya Muhammad Abu Nawar Romli, atau yang lebih dikenal dengan nama Abnar Romli. Menariknya, novel ini baru dilarang beredar setelah cetak ulang yang kedua pada tahun 1973, meskipun edisi pertamanya telah diterbitkan sejak 1967 oleh PT Sanggabuwana, Bandung.
Abnar Romli, yang pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Tebuireng dan Seblak di Jombang, awalnya mengikutkan Orang-orang yang Terhormat dalam Sayembara Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Jawa Barat. Meski tidak memenangkan sayembara, novel setebal 76 halaman ini justru masuk ke dalam daftar buku yang diprioritaskan untuk diterbitkan.
Dalam Majalah Tempo edisi 48/04 (1 Februari 1975), dalam sebuah tulisan berjudul Gerilya Si Odin, Abnar Romli, pria kelahiran Desa Pakembaran, Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, pada 13 Maret 1943, mengungkapkan kekecewaannya atas pelarangan novel (OYT). Sebagai penulis yang masih "baru tumbuh" dan merasa terpukul dengan pelarangan noevlnya.
"Kerugian materiil tidak saya perhitunglah. Tapi dari sudut mobil saya terpukul hebat. Apalagi buku itu saya susun selama berbulan-bulan", ujarnya.
Abnar, yang pernah menerima penghargaan dari Majalah Sastra Horison pada tahun 1967 lewat cerpennya Penjual Kapas, menegaskan bahwa dalam menulis Orang-orang yang Terhormat, ia lebih menekankan aspek historis ketimbang muatan politis. Lebih lanjut, pria yang pernah memimpin Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia) Kabupaten Tegal itu menyampaikan bahwa cerita dalam OYT sejatinya sederhana.
Sinopsis Novel Orang-orang Yang Terhormat (OYT)
Kisah dalam Orang yang Terhormat berkisah tentang seorang anak laki-laki bernama Odin. Kampung halamannya dibumihanguskan oleh tentara Belanda. Ibunya dan kakak perempuannya tertimbun reruntuhan rumah, sementara ayahnya gugur tertembak. Kini, Odin yang baru pulang dari rumah pamannya di kota tinggal bersama Uak Leman, sosok yang kemudian menjadi ayah angkatnya sekaligus orang yang menanamkan semangat perjuangan dalam diri Odin.
Suatu hari, lima gerilyawan yang terluka akibat pertempuran dekat kampung mereka diselamatkan oleh warga dan dirawat di rumah Uak Leman. Bersama Leman, Odin pergi ke kota untuk mencari dokter. Di sana, ia bertemu Warjiman, abang iparnya, yang ternyata telah berkhianat dengan bekerja sama dengan Kapten Smoukill, seorang perwira Belanda yang tengah dirawat di rumah sakit.
Setelah belajar menembak dari seorang gerilyawan, Odin diam-diam kembali ke kota. Ia berhasil memaksa sang perwira Belanda keluar dari ruang perawatan dan menembaknya. Warjiman yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa terpaku. Ia muncul dari persembunyiannya dan menyapa Odin, namun sang adik ipar sudah lebih dulu mencapnya sebagai pengkhianat dan pengecut.
Reaksi Warjiman tak terduga. Bukannya melawan atau membalas, ia justru melarikan diri, tanpa diketahui ke mana perginya. Keesokan harinya, terdengar suara tembakan. Seorang pria ditemukan tewas tertelungkup, dan belakangan diketahui bahwa Warjiman menjadi korban peluru tentara Belanda.
Masih dalam Majalah Tempo edisi 48/04 (1 Februari 1975), pada tulisan berjudul "Karena Piagam Jakarta", kritikus sastra HB Jassin, meskipun belum sempat membaca novel OYT secara langsung, mengaku terkejut ketika mendengar kabar pelarangan tersebut. Sambil merenungkan kejadian itu, ia mengungkapkan harapannya agar pemerintah tidak bersikap terlalu ketat dalam menyikapi karya sastra.
Pendapat lain datang dari Ajip Rosidi, yang menilai bahwa tema cerita dalam OYT sebenarnya baik untuk dibaca para remaja karena mengajarkan kecintaan terhadap tanah air. Namun, ia juga mencatat bahwa penyajian cerita dalam novel itu terkesan bombastis. Menurut Ajip, secara keseluruhan cerita tersebut memang mengandung beberapa kelemahan jika dilihat dari sudut pandang kritik sastra.
Ajip juga menyoroti adanya kalimat-kalimat yang dianggap kurang pantas, terutama yang terdapat pada halaman 41 dan 42. Kendati demikian, ia berpendapat bahwa bagian-bagian tersebut sebenarnya tidak terlalu menonjol dan sama sekali tidak mengganggu jalannya cerita. Hal inilah yang membuat Ajip mempertanyakan alasan di balik pelarangan novel tersebut.
Baginya, sebagai karya sastra yang menggambarkan semangat patriotik anak-anak Indonesia, pelarangan OYT terasa berlebihan dan membingungkan, terutama bagi pembaca awam yang mungkin justru mempertanyakan keputusan tersebut.
Malik Ibnu Zaman, lahir di Tegal Jawa Tengah. Menulis cerpen, puisi, esai, resensi serta karya jurnalistik yang tersebar di beberapa media online. Buku pertamanya sebuah kumpulan cerpen berjudul 'Pengemis yang Kelima' (2024). Akir-akhir ini, tulisannya baik berupa karya jurnalistik maupun cerpen dijadikan bahan kajian untuk jurnal mahasiswa dan peneliti.
Baca Juga
Ketika Santri Jatuh Cinta
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
2
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
3
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
4
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua