Nasional

Pernyataan Fadli Zon Sangkal Pemerkosaan Massal 1998 Dinilai Patriarkis dan Abaikan Korban

NU Online  ·  Selasa, 17 Juni 2025 | 21:30 WIB

Pernyataan Fadli Zon Sangkal Pemerkosaan Massal 1998 Dinilai Patriarkis dan Abaikan Korban

Gambar hanya sebagai ilustrasi berita. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid menilai bahwa pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal terjadinya pemerkosaan massal pada Mei 1998 adalah bentuk pandangan yang patriarkis dan misoginis. Ia menyebut cara berpikir tersebut tidak peka terhadap pengalaman perempuan, terutama korban kekerasan seksual.


"Ini adalah satu pandangan patriarkis yang misoginis, yang seksis, yang tidak peka pada pengalaman perempuan, pada pengalaman korban perkosaan, apalagi perkosaan massal," katanya saat jumpa pers bersama Aliansi Keterbukaan Sejarah (AKSI) pada Selasa, (17/6/2025).


Menurut Usman, pernyataan Fadli Zon yang menyebut pemerkosaan massal hanya sebatas rumor merupakan bentuk pengabaian terhadap perlindungan korban, khususnya perempuan. Ia mengkritik cara berpikir yang mereduksi kasus tersebut seolah-olah tidak sah karena tidak menyebutkan detail nama, waktu, dan pelaku.


Usman membandingkan pendekatan semacam itu dengan sikap pemimpin populis otoriter seperti Donald Trump, yang sering membantah tuduhan kekerasan seksual dengan mempertanyakan rincian peristiwa.


"Pernyataan semacam ini tidak mengerti atau menyangkal dampak buruk dari perkosaan terhadap seorang perempuan, misalnya gangguan psikologi, korban mengalami stres, trauma, kecemasan, depresi yang berkepanjangan," jelasnya.

 
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid menilai pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebagai pandangan patriarkis yang misoginis karena menyangkal adanya peristiwa pemerkosaan massal pada Mei 1998. (Foto: dok. istimewa)


Ia juga menegaskan bahwa peristiwa pemerkosaan massal pada Mei 1998 telah diakui secara resmi melalui laporan yang diserahkan kepada Presiden BJ Habibie. Laporan tersebut, menurutnya, bersifat otoritatif dan tidak perlu diragukan kebenarannya.


Bahkan, otoritas penyusun laporan itu mencakup sejumlah menteri strategis, seperti Menteri Pertahanan, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Urusan Perempuan, dan Jaksa Agung. Karena itu, Usman menyatakan bahwa Fadli Zon tidak memiliki kapasitas untuk menarik kesimpulan atas peristiwa tersebut.


"Bukan wewenangnya dan tidak punya kapasitas di dalam menjelaskan peristiwa itu kecuali ia datang dari Menteri Kehakiman, datang dari Menteri Dalam Negeri, itupun masih bisa dipersoalkan kesesuaiannya pada laporan tim pencari fakta," katanya.


Sementara itu, Sejarawan Universitas Nasional (Unas) Andi Achdian turut mengkritik pendekatan negara dalam penulisan sejarah resmi. Ia menyebut bahwa penulisan sejarah nasional kerap dilakukan secara tergesa dan teknokratis, tanpa mempertimbangkan kesadaran moral yang lebih luas.

"Bahwa penulisan sejarah ini disusun dengan satu cara yang sangat buru-buru dan juga yang kedua didasarkan kepada satu kesadaran yang sangat technical, bahwa ini ada data-data baru, ada kekosongan, sehingga kita menuliskan sebuah sejarah yang bagi saya sama sekali bukan argumen yang relevan atau tepat untuk penulisan sejarah nasional," katanya.


Andi menekankan bahwa sejarah nasional seharusnya berbeda dengan sejarah akademik karena mengandung dimensi etis dan moral yang lebih luas, sesuatu yang menurutnya tak tercermin dalam pendekatan Kementerian Kebudayaan.


"Kenapa pemerintah tidak menerbitkan saja karya-karya penelitian terbaru tersebut yang justru akan lebih baik diberikan dalam hal yang lebih lengkap dibanding sepenggal-penggal dikompilasi dalam satu jilid-jilid sejarah nasional?" tegasnya.