Warta

Aturan Pilkada Banyak Kelemahan

NU Online  ·  Rabu, 22 Desember 2004 | 05:21 WIB

Jakarta, NU Online
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) yang telah disetujui DPR, 29 September lalu, dinilai masih mengandung banyak kelemahan. Kelemahan paling mencolok terutama menyangkut masalah pemilihan kepala daerah(pilkada), baik gubernur maupun bupati/wali kota, khususnya soal pengawasan. Demikian pandangan anggota panwas pemilu yang juga ketua tanfidziyah PBNU, H.M. Rozy Munir kepada NU Online di ruang kerjanya, Selasa (22/12)

"Karena pengawasan pilakda  yang menjadi "wasit" adalah DPRD, sedangkan DPRD unsurnya unsur parpol yg ada di daerah itu. Nah kalau unsur parpol yang menjadi pengawas "pertandingan"  ini bisa tidak independen, sedangkan yang bertarung harus dicalonkan parpol, dan yang ngawasi dibentuk oleh DPRD yang nota bene mereka itu adalah representasi parpol," ucapnya.

<>

Kelemahan itu, menurut mantan menteri BUMN di zaman Gus Dur ini, memungkinan terjadi korupsi di tingkat lokal, serta kemunduran dalam proses demokrasi. Persoalan korupsi itu juga bisa tumbuh secara marak akibat dari pelaksanaan UU tersebut. Bahkan, sistem pilkada yang diatur dalam UU itu juga merupakan sistem yang ''banci''. Karena itu mustinya harus ada amandeman dari UU khususnya pemilu yang ada kaitannya otonomi daerah dengan pilkada.

Menurutnya, berbagai masalah itu dapat saja mencuat ke permukaan, karena masih ada kelemahan UU di sana-sini, terutama menyangkut pilkada langsung. ''Sistem pilkada yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 boleh dikatakan sebagai sistem yang ''banci''. Di sana tidak jelas apakah pilkada itu dilaksanakan satu putaran atau dua putaran. Pasal dan aturan mengenai hal itu tidak ada,'' ujarnya.

Dia mencontohkan Pasal 107 Ayat 1, pasangan calon dinyatakan sah bila mendapat lebih dari 50% suara. Namun, pada Ayat 2 diatur, jika tidak ada 50% suara, pasangan sah bila melampaui 25% suara. Baru kalau tidak ada, nanti akan ada pilkada putaran kedua. ''Ini, kan jelas ketidaktegasan aturan tersebut. Untuk apa Pasal 107 Ayat 1, yang sama sekali tidak ada fungsinya,'' katanya.

Tidak independennya KPUD, kata Rozy Munir, juga bisa mendorong terjadi korupsi pada pelaksanaan pilkada. Terutama menyangkut masalah anggaran dan pertanggungjawaban. KPUD kemungkinan dapat terpengaruh oleh DPRD atau ''sang juara bertahan'', yakni bupati yang saat sekarang memangku jabatan. Namun yang bersangkutan maju kembali menjadi calon. ''Ini sangat berbeda dari pemilu nasional, yang biaya esensial langsung diputuskan dalam APBN. Karena itu, untuk meminimalkan pengaruh tersebut, diperlukan aturan yang tegas yang dibuat oleh otoritas yang lebih tinggi,'' tegasnya.

Potensi terjadi korupsi yang lain, katanya, adalah aturan umum pengadaan barang yang ''hilang''. Misalnya, prinsip transparansi, tepat waktu dan akurasi, hemat anggaran, kemudian soal aspek kualitas serta keamanan. ''Selain itu, korupsi lainnya bisa muncul akibat tidak ada supervisi KPU nasional atau KPU yang lebih tinggi. KPU Pusat dan panwasda tidak memiliki mandat mengawasi korupsi KPUD,'' ujarnya.

Karena itu, saranya, supaya panwas pilkada yang dibentuk ini dapat mengikutsertakan mantan eks panwaslu ditingkat daarah apakah itu wilayah prop sampai dengan kota/kab, karena mereka sudah terlatih. "Di Indonesia jumlah mereka sekitar 16000, mereka sudah terlatih, sudah punya jam terrbang dan sudah terbukti berani untuk melakukan pengawasan," tambahnya.

Dalam pandangan dia, potensi terjadi ''kongkalikong'' antara KPUD dan calon juga besar, meski KPUD bertanggung jawab kepada DPRD. Sebab ''sang juara bertahan'' mampu mengendalikan, sehingga BPKP akan kesulitan melakukan pengawasan anggaran. Dia juga mengemukakan, sistem pilkada juga menyebabkan terjadi kemunduran demokratisasi. Alasannya, aturan teknis pilkada bergantung pada peraturan pemerintah (PP), sehingga bisa jadi dikatakan itu sebagai upaya Depdagri untuk merebut kendali pada pemilu Indonesia. (cih)