Tokoh

Syekh Sulaiman Kurdi, Ulama Bojonegoro yang Mengajar di Makkah pada Abad 20

Ahad, 6 Maret 2022 | 20:45 WIB

Syekh Sulaiman Kurdi, Ulama Bojonegoro yang Mengajar di Makkah pada Abad 20

Kompleks pemakaman Ma'la, Makkah, Arab Saudi. (Foto: madainproject.com)

Syekh Sulaiman Kurdi merupakan ulama asal Bojonegoro yang jadi bagian penting dalam simpul mata rantai sanad Aswaja di Makkah, pada abad 20. Namanya tak dikenal di Jawa Timur, bahkan Kota Bojonegoro sendiri. Ulasan mengenai sosoknya pun masih sangat sulit dicari. Tapi, nama Syekh Sulaiman Kurdi Bojonegoro pernah masyhur di Kota Makkah. Beliau tercatat sebagai ulama pengajar di Tanah Haramain.

 

Syekh Sulaiman Kurdi Bojonegoro adalah bukti betapa kota-kota kecil di Jawa Timur telah memiliki ulama kaliber dunia, sejak zaman dulu. Selain itu, ini juga bukti bahwa Islam di Bojonegoro Jawa Timur, merupakan peradaban intelektual yang cukup sepuh.

 

Nama Syekh Sulaiman Kurdi Bojonegoro tercatat dalam kitab biografi berjudul al-Jawahir al-Hisan fi Tarajum al-Fudhala karya Syekh Zakariya Billah yang kemudian dikutip dan diperjelas oleh Dr. Maulana La Eda dalam buku berjudul 100 Ulama Nusantara di Tanah Suci.

 

Dalam buku tersebut, namanya tertulis secara lengkap: Sulaiman Kurdi bin Abdul Qodir bin Abdurrahman bin Syihabuddin Bojonegoro al-Jawiy al-Makkiy Asy-Syafi'i. Lahir di Kota Bojonegoro, Jawa Timur, pada 1904 dan wafat pada 1952. Beliau disebut sebagai salah satu ulama berpengaruh di Makkah pada abad 20.

 

Dalam buku itu juga dijelaskan, beliau lahir dan tumbuh hingga remaja di Kota Bojonegoro. Terdidik dalam keluarga Syihabuddin yang terkenal akan kesalehannya. Saat sudah memahami bahasa Arab dan ilmu dasar agama, beliau berangkat ke Makkah untuk kembali memperdalam ilmu.

 

Di Kota Makkah, beliau berguru pada ulama besar pada zamannya seperti Syekh Umar Bajunaid, Syekh Nahrawi al-Banyumasi, Syekh Soleh Syatha, hingga Syekh Umar Hamdan. Beliau belajar dengan penuh kesungguhan hingga mencapai derajat keulamaan.

 

Syekh Sulaiman Kurdi dikenal sebagai ulama pengajar yang mumpuni. Beliau tak hanya mengajar di satu tempat. Tapi beberapa tempat sekaligus. Satu diantaranya adalah madrasah legendaris yang melahirkan banyak Waliyullah Nusantara, yakni Madrasah Shaulatiyyah Makkah.

 

Syekh Sulaiman Kurdi punya peranan penting dalam transmisi sanad Aswaja. Santrinya tak hanya berasal dari Nusantara, tapi dari berbagai penjuru dunia. Beliau berkiprah di Kota Makkah hingga wafat, dan dimakamkan di pemakaman Ma'la pada 1953.

 

Kiprah Syekh Sulaiman Kurdi di Makkah, kelak diteruskan para penerusnya seperti Syekh Zakaria Billah (Sumatera Utara), Syekh Abdullah Durdum (ahli nahwu Kota Makkah asal Sumatera), hingga Syekh Yasin al-Fadani (guru bagi banyak ulama besar Nusantara).

 

Syekh Sulaiman Kurdi Bojonegoro menjadi ulama penjaga transmisi sanad Aswaja yang melahirkan ulama-ulama besar generasi berikutnya. Beliau wafat di Kota Makkah dan dimakamkan di pemakaman Ma'la, yang masyhur sebagai makam para Aulia.

 

Jejaring Ulama Nusantara di Tanah Haramain

A Ginanjar Sya’ban, penulis buku Mahakarya Islam Nusantara mengatakan, pada abad ke-19 dan abad ke-20, komunitas terbesar di Masjidil Haram adalah penganut Mazhab Syafi’i. Dan sebanyak 60 persen pengajar dari unsur syafi’i di Masjidil Haram, berasal dari Nusantara. Sebab, mereka banyak menulis karya-karya keilmuannya kedalam Bahasa Arab.

 

Jauh sebelum Wahabi mengkudeta dan membangun rezim di Makkah, ulama Nusantara telah membentuk rantai jejaring Aswaja yang transmisinya tak pernah putus dari generasi ke generasi.

Geliat mereka tercatat sejak abad ke-18 (1700 masehi), dengan ditandai hadirnya tokoh-tokoh ulama besar dari Nusantara yang kelak terkenal dengan sebutan Empat Serangkai Ulama Tanah Jawi. Mereka adalah:

 

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari al-Jawi (Kalimantan/ 1710-1812), Syekh Abdus Shomad al-Falimbani al-Jawi (Sumatera/ 1704-1785), Syekh Abdurrahman Mishri al-Batawi al-Jawi (Jawa), dan Syekh Abdul Wahab Bugis al-Jawi (Sulawesi/ c. 1725 – 1790).

 

Lalu disambung generasi; Syekh Abdul Ghani al-Bimawi (c.1780-1848), Syekh Ahmad Khatib As-Sambasi (1803-1875), Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1879), Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860 -1916), Syekh Mahfud at-Tarmasi (1842-1920), dll.

 

Dari generasi itu, muncul generasi berikutnya lagi yakni Syekh Nahrawi al-Banyumasi (1860 – 1926), Syekh Abdul Hamid al-Kudusi (1860 – 1915), Syekh Mukhtar al-Bughuri (1862 – 1930), Syekh Baqir al-Jugjawi (1884 -1941), dll.

 

Kemudian disusul generasi Syekh Ahyad al-Bughuri (1885-1952), Syekh Sulaiman Kurdi al-Bojonegori (1904 – 1953), Syekh Abdullah Durdum al-Fadani (1915 – 1987), hingga Syekh Yasin al-Fadani (1916-1990). Pada periodisasi inilah, Syekh Sulaiman Kurdi Bojonegoro berkiprah sebagai penuntut ilmu sekaligus pengajar di Makkah.

 

Lahir dan Tumbuh di Bojonegoro

Di Bojonegoro, Syekh Sulaiman Kurdi, sering disebut Sulaiman dengan menghilangkan Kurdi. Syekh Sulaiman Kurdi merupakan putra ke-11 dari KH Abdul Qodir bin Mbah Munodo Ngrayung. Syekh Sulaiman Kurdi bin Abdul Qodir merupakan putra terakhir dari KH Abdul Qodir.
 

KH Abdul Qodir memiliki sebelas anak. Di antaranya; Khadijah, Asiyah, Aminah, Mustahal, Ahmad Basyir (pendiri ponpes Al Basyiriyah), Abdullah, Abdul Alim (wafat di Ma'la), Abdul Rohman (wafat di Jeddah), Abdul Malik, Ilyas, Sulaiman Kurdi (wafat di Ma'la). 
 

Syekh Sulaiman Kurdi adalah adik dari KH Ahmad Basyir (pendiri Ponpes Al Basyiriyah Petak, Bojonegoro). KH Ahmad Basyir adalah ayah dari KH Maimun Basyir, pengasuh kedua, sekaligus sosok ulama kharismatik. Sehingga, Syekh Sulaiman Kurdi adalah paman dari KH Maimun Basyir. 
 

Mbah Abdul Qodir Munada memang terkenal memiliki anak-anak alim. Dan beberapa diantaranya memang berkiprah di Makkah. Selain Syekh Sulaiman Kurdi, anak-anak beliau lainnya juga berkiprah hingga wafat di tanah Haram. Seperti Abdul Alim (wafat di Ma'la) dan Abdurrohman (wafat di Jeddah) yang merupakan kakak kandung Syekh Sulaiman Kurdi. 
 

Setelah belajar dari orang tuanya , Syekh Sulaiman Kurdi meneruskan mondok di Mbah Mad Sarang (KH Ahmad bin Syuaib Sarang) dan menjadi abdi ndalem di sana. Beliau lebih banyak di sawah ketimbang di Pondok.
 

Suatu ketika, Mbah Mad tanya pada Mbah Sulaiman Kurdi, "Opo awakmu ya pengen ning Arab (apakah kamu juga ingin ke Arab)?" Dijawab Mbah  Sulaiman Kurdi, "Nggih Yai (Ya, Kiai." "Ikulo banyu sawah ombe, mugo-mugo Ndang ketekan kepinginanmu (minumlah air sawah ini, semoga keinginanmu segera tercapai)!" suruh Mbah Mad.
 

Kelak, Mbah Sulaiman Kurdi benar-benar bisa belajar ke Makkah untuk belajar, sekaligus menjadi ulama besar di zamannya. Mbah Sulaiman Kurdi adalah saudara kandung dari KH Maimun Basyir, pendiri Ponpes Al Basyiriyah, Petak Bojonegoro.
 

Hal itu diperkuat dengan keterangan yang ada pada kitab al-Jawahir al-Hisan fi Tarajum al-Fudhala dan buku 100 Ulama Nusantara di Tanah Suci, yang mengatakan bahwa keluarga Syekh Sulaiman Kurdi terkenal akan kesalehannya. Sebab, mayoritas saudara-saudaranya menjadi kiai dan mendirikan pesantren. 

 

Ahmad Wahyu Rizkiawan, Khadim di Pondok Pesantren Ar-Ridwan Al Maliky Bojonegoro dan penulis buku "Kronologi Lahirnya NU Bojonegoro"