Tokoh

Pemikiran Kiai Ali Mustafa Yaqub: Hadits antara Wahyu dan Tradisi

Rab, 13 Maret 2024 | 17:00 WIB

Pemikiran Kiai Ali Mustafa Yaqub: Hadits antara Wahyu dan Tradisi

KH Ali MustafaYaqub (Arsip Darussunnah - NU Online).

Hadits adalah perkataan, tindakan, atau persetujuan yang bersumber dari Nabi Muhammad dan menjadi sumber hukum kedua dalam Islam setelah Al-Qur'an. Ia memberikan pedoman bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk dalam berbagai aspek kehidupan, moralitas, dan ibadah.
 

Sebagai manusia pada umumnya, Nabi Muhammad sebagai bagian dari masyarakat Arab mengikuti tradisi yang berkembang selama tradisi tersebut dinilai baik. Misalnya beberapa tradisi yang bersifat budaya dan tidak diatur dalam syariat adalah model gaya rambut, pakaian dan lain-lain.
 

Menurut Harsojo dalam Pengantar Antropologi, pakaian yang bervariasi dalam jenis, bentuk, model, dan gaya penggunaan di setiap daerah dipengaruhi oleh sejarah, sistem nilai etika, estetika, nilai-nilai agama, teknologi, ekonomi, dan nilai-nilai sosial yang ada di daerah tersebut. (Harsojo, Pengantar Antropologi, [Bandung: Binacipta, 1999] h. 206)
 

Sebab Nabi Muhammad saw adalah bagian dari masyarakat Arab, maka tak ubahnya orang-orang di daerah tersebut yang memakai jubah. Nabi saw juga menggunakan jenis pakaian yang sama. (Ahmad Ubaydi Hasbillah, Sirah Nabawiyah dan Demitologisasi Kehidupan Nabi, [Journal of Quran and Hadith Studies, vol I, no. 2, 2021], halaman 253).
 

Berlandaskan adanya sikap-sikap Nabi yang merupakan bentuk implementasi syariat dan juga tindakannya sebagai bangsa Arab, tentunya sulit untuk membaca mana saja hadits-hadits yang berlandaskan syariat, mana saja yang bersumber dari tradisi.
 

Adalah Kiai Mustafa Yaqub, seorang ulama ahli hadits nusantara yang dinilai berkontribusi dalam menuangkan wawasan terkait hadits-hadits Nabi saw yang merupakan wahyu dan juga sunnah Nabi saw yang merupakan warisan budaya.
 

Ali Mustafa Yaqub lahir di desa Kemiri, kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, pada tanggal 2 Maret 1952. Sejak masa kecil hingga dewasa, Ali Mustafa dibesarkan dalam lingkungan keilmuan yang kemudian menjadi sumber inspirasinya untuk menjadi seorang ulama di masa mendatang.
 

Ayahnya, H. Yaqub (w 1971), berperan sebagai muballig dan imam masjid di wilayah Batang, Jawa Tengah. Selain itu, ia juga mengajar di lembaga pendidikan yang didirikan bersama kakeknya, Joyo Truno, yang santrinya berasal dari masyarakat sekitar. 
 

Ibunya, Siti Chabibah (w 2007), turut berkontribusi sebagai guru agama dan membantu ayahnya dalam mengajar. Ali Mustafa Yaqub adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, dan dua saudaranya telah meninggal dunia. 
 

Ali Mustafa Yaqub meninggal dunia pada hari Kamis, 28 April 2016, pukul 06.30 WIB di Rumah Sakit Hermina Ciputat, Tangerang Selatan. Jenazahnya dikebumikan di belakang masjid Muniroh Salamah, di komplek Pesantren Darussunnah.
 

Tokoh hadits nusantara ini mengenyam pendidikan di pesantren Seblak, Jombang (1966 – 1969) hingga kemudian pindah ke pesantren Tebuireng, Jombang (1972 – 1976). Ia menyelesaikan kuliah di Universitas Wahid Hasyim dan melanjutkan studi S-1 dengan program beasiswa di Universitas King Saud, Riyad, Arab Saudi, meraih gelar Licance (Lc) pada 1976-1980. 
 

Setelah itu, ia melanjutkan ke jenjang Pasca Sarjana (S2) di Universitas King Saud, memfokuskan diri pada tafsir dan hadis, dan mendapatkan gelar Master of Art (MA) pada 1980-1985. Ali Mustafa Yaqub kemudian meraih gelar doktor (S3) dari Universitas Nizamia, Hyderabad, India, dengan spesialisasi Hukum Islam pada tahun 2005-2008. 
 

Disertasi ujian promosinya berjudul "Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Obat Kosmetik dalam Perspektif al-Qur‟an dan Hadis" dipertahankan di hadapan tim penguji internasional yang dipimpin oleh Prof Dr M Hasan Hitou, Guru Besar Fiqh Islam dan Usul Fiqh Universitas Kuwait, yang juga Direktur Ilmu-Ilmu Islam di Frankfurt, Jerman. 
 

Ujian tersebut dilaksanakan pada Senin Malam, 30 Juni 2008, di Aula Masjid Istiqlal Jakarta. (Muhammad Qomarullah, Pemahaman Hadis Ali Mustafa Yaqub dan Kontribusinya Terhadap Pemikiran Hadis di Indonesia, [Al-Quds: Jurnal Studi Alquran dan Hadis, 2020], halaman 388).
 

Hadits antara Wahyu dan Tradisi Menurut Kiai Ali Mustafa

Di antara banyaknya karya Kiai Ali Mustafa Yaqub, “Cara Benar Memahami Hadis” merupakan masterpiece yang menjadi banyak rujukan para akademik dalam bidang hadits di Indonesia. Pasalnya, buku ini memberikan pandangan kontekstual berikut penjelasan yang rasional serta ilmiah terkait hadis-hadits yang berhubungan dengan budaya.
 

Kiai Ali Mustafa Yaqub menjelaskan, dalam sebagian hadits-hadits Nabi saw terdapat budaya Arab yang menginspirasi tindak perilaku atau tutur kata baginda Nabi. Misalnya saja tradisi menabuh rebana saat pernikahan, ‘Asiyah pernah menceritakan sabda Nabi saw:
 

أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ
 

Artinya, “Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkannya.” (HR At-Tirmidzi).
 

Menurut Kiai Ali Mustafa Yaqub, memukul rebana dalam tradisi pernikahan merupakan budaya di wilayah Arab, di mana perintah utama dalam hadits tersebut adalah mengumumkan pernikahan, sedangkan memukul rebana bagian dari budaya yang hidup di tengah masyarakat di mana Nabi saw tinggal. (Ali Mustafa yaqub, Cara benar Memahami Hadis, [Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014], halaman 96).
 

Di antara contoh lain yang dipaparkan Kiai Ali Mustafa Yaqub berkaitan dengan hadits dan budaya adalah jenis berpakaian orang Arab yang masuk kategori budaya, sehingga jika ada penyebutan jenis pakaian Nabi di dalam hadits belum tentu maksudnya adalah perintah wajib menggunakan jenis pakaian yang sama.
 

Hanya saja yang perlu diikuti dari pakaian Nabi saw, menurut Kiai Ali, adalah standar-standarnya seperti menutup aurat, tidak memperlihatkan lekuk tubuh dan juga tidak transparan serta tidak menyerupai lawan jenis. Kiai Ali menjelaskan:
 

“Kami melihat bahwa surban adalah pakaian kemuliaan yang berbeda antara satu bangsa dengan yang lain sesuai tempat dan waktu. Surban yang digunakan sebagai pakaian kemuliaan di jazirah Arab pada masa Nabi berbeda dari surban di sana pada masa sekarang.
 

Sebagaimana di wilayah Asia Tenggara, kostum kehormatan untuk menutupi kepala adalah songkok hitam. Begitu pula topi turbus sebagai penutup kepala bagi penduduk Turki, Maroko, dan wilayah lainnya. Sebagaimana halrıya dengan penduduk Amerika dan Eropa, mereka juga memiliki pakaian kemuliaan (sebagai penutup kepala).
 

Setiap negara memiliki pakaian adat masing-masing. Selama seseorang mengenakan penutup kepala seperti ini, maka ia telah mengikuti sunah Rasulullah saw. Inilah universalitas Islam. Islam bukan untuk bangsa Arab saja, melainkan untuk penghuni alam semuanya. Wallahu a'lam.” (Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis, halaman 91).


Dampak pemikiran ini cukup signifikan terhadap pandangan sebagian Muslim yang mempersoalkan pakaian lokal sebagai pakaian non-agamis, sedangkan jubah dan surban mencirikan kesalehan seseorang. Padahal, jelas sudah bahwa Nabi Muhammad saw menggunakan pakaian karena mengikuti tradisi dan budaya yang hidup di tengah masyarakatnya.
 

Demikianlah penjelasan pemikiran Kiai Ali Mustafa Yaqub dengan perjalanan hidup yang penuh dedikasi terhadap ilmu agama, khususnya dalam bidang hadits dan ilmu hadits. Semoga warisannya tetap abadi dalam bentuk ilmu dan inspirasi bagi generasi-generasi yang akan datang. Amin. Wallahu a'lam.
 

Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Ciputat.