Tokoh

Al-Qadhi ‘Iyadh, Ulama Multidisipliner yang Lahir di Bulan Sya’ban

Jum, 11 Maret 2022 | 18:00 WIB

Al-Qadhi ‘Iyadh, Ulama Multidisipliner yang Lahir di Bulan Sya’ban

Ilustrasi Al-Qadhi ‘Iyadh. (Foto: dok. Bincang Syariah)

Bulan Sya'ban tidak saja menjadi momen paling tepat untuk mempersiapkan diri menyambut Ramadhan, tetapi juga harus menjadi momentum penguat kesadaran akademik di kalangan umat Muslim. Sebab, pada bulan ini lahir seorang ulama dengan penguasaan multidisplin keilmuan cukup mapan, dia adalah Al-Qadhi 'Iyadh.


Di kalangan santri, tentu tidak asing dengan ulama yang satu ini. Namanya sering disebut dalam beberapa kesempatan ngaji saat di pesantren, terlebih jika sedang mempelajari kitab-kitab fiqih. Padahal beliau seorang malikiyah (ulama bermazhab Maliki) yang lebih populer dengan kepakaran hadits dan ilmu haditsnya.


Nama lengkapnya adalah ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh bin ‘Imrun bin Musa bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Musa bin ‘Iyadh al-Yahshubi al-Andalusi al-Maliki. Ia lahir pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 476 H di kota bernama Sabtah (sekarang Ceuta) di Andalus (Spanyol). 


Menurut Al-Qadhi Ibnu Khalkan, Qadhi ‘Iyadh wafat pada bulan Ramadhan tahun 544 H. Ada pula yang mengatakan ia wafat di Marrakech pada bulan Jumadil Akhir. Sementara menurut putranya, Al-Qadhi Muhammad, Qadhi ‘Iyadh wafat pada tengah malam Jumat 9 Jumadil Akhir tahun 4 H. Beliau wafat karena diracun.


Menurut adz-Dzahabi, Qadhi ‘Iyadh wafat karena ditusuk tombak oleh seseorang sebab mengingkari kemaksuman Ibnu Tumart, pendiri gerakan reformasi Al-Muwahhidin yang mengaku sebagai Imam Mahdi.


Sepertinya masa Qadhi ‘Iyadh merupakan tahun duka, karena di masanya sejumlah ulama wafat, seperti ulama ahli syair terkemuka di zamannya Al-Qadhi Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Husein, Al-Allamah al-Mushannif Abu Ja’far al-Baihaqi, ulama pakar sanad Abul Mahasin As’ad bin Ali bin Muqafiq, dan ulama pakar hadits Halb Abul Hasan Ali bin Sulaiman al-Muradi al-Qurthubi.


Pendidikan dan Karier Akademik

Qadhi ‘Iyadh merupakan ulama yang memiliki semangat menuntut ilmu sangat besar. Pada saat masih belia kira-kira baru usia 13 tahun, beliau berangkat dari kota Sabtah di Maghrib menuju Cordoba di Andalus untuk belajar ilmu agama pada tahun 509 H. Sesampainya di sana, beliau berguru kepada hampir 100 ulama dengan beragam disiplin keilmuan.


Di antara guru-gurunya adalah Abul Hasan bin Siraj, Al-Qadhi Abu Abdillah Muhammad bin Hamdain, Abu Muhammad bin Attab, Abu Abdillah al-Mazini, Al-Qadhi Abi Ali Husain bin Muhammad ash-Shadafi, Abu Bakr at-Thurthusy, Al-Qadhi Abu Bakr ibn al-Arabi, Abu Ali al-Ghasani, Abu at-Thahir Ahmad ibn Muhammad as-Salafi, Ahmad bin Baqi, Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Makhul, Al-Hasan bin Muhammad bin Sakrah, dan Al-Qadhi Abi al-Walid bin Rusyd, dan lain-lain.


Kegigihannya menuntut ilmu itu membuahkan hasil. Beliau mampu menguasai lintas disiplin ilmu agama secara mendalam, mulai dari nahwu, fiqih, hadits, bahasa, sastra, ilmu nasab, dan lain sebagainya. Bahkan ia menguasai fiqih lintas mazhab.


Memasuki usia 30 tahun, beliau kembali lagi ke Maghrib dan berguru dengan banyak ulama di sana. Di Maghrib beliau sangat dihormati, bahkan dipercayai untuk menjadi qadhi (hakim) dalam waktu yang cukup lama. Pada 531 H beliau pindah dan berdomisili di kota Granada, Spanyol dan menjadi hakim di sana pada tahun 532 H.


Dari didikan Qadhi ‘Iyadh lahir banyak ulama, seperti Imam Abdullah bin Muhammad al-Asyiri, Abu Ja’far al-Qashir al-Gharnati, Al-Hafidz Khalaf bin Basykuwal, Abu Muhammad bin Ubaidillah al-Hijri, Muhammad bin Hasan al-Jabiri, dan anaknya, Al-Qadhi Muhammad bin ‘Iyadh.


Di antara karya-karya beliau yang populer adalah Tafsir Gharibul Hadis al-Muwatha’ wal Bukhari wa Muslim, At-Tanbihatul Mustanbathah fi Syarhi Musykilatul Mudawwanah, Al-Maqashidul Hisan fi Ma Yalzamul Insan, Al-I’lam bi Qawa’dihil Islam, Al’Ilma’ fi Dhabtir Riwayah wa Taqyidis Sima’.


Kemudian, Sirrus Surrah fi Adabil Qudhat, Bughyatur Ra’id lima Tadhammanahu Hadis Ummu Zar’ minal Fawa’id, Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik li Ma’rifah A’lami Mazhab Malik, Ikmalul Mu’allim fi Syarh Shahih Muslim, Jami’ut Tarikh, As-Saiful aMaslul ‘ala Man Sabba Ashabar Rasul, dan lain-lain.


Komentar ulama

Kebesaran Qadhi ‘Iyadh mendapat pengakuan sejumlah ulama, baik dari keluasan ilmu, keluhuran moral, ketaatan beragama, produktifitas, dan lain sebagainya. Berikut adalah beberapa komentar ulama tentangnya.


Ibnu Khalkian berkata, “Al-Qadhi ‘Iyadh merupakan ulama yang luas ilmunya, taat beragama, lemah lembut sifatnya, dan sangat menguasai qira’ah sab’ah. Ia juga menguasai multidisplin ilmu, mulai dari ilmu hadits, ushul fiqih, hafal nama-nama rijalul hadits, pakar ilmu nahwu, fiqih lintas mazhab, dan penguasaan sastra bahasa Arab.”


Al-Faqih Muhammad bin Hamaduh as-Sabti berkata, “Di daerah Ceuta belum ada ulama yang menandingi karya Al-Qadhi ‘Iyadh dalam segi kuantitasnya.”


Al-Faqih Muhammad bin Hamaduh as-Sabti juga berkata, “Qadhi ‘Iyadh sudah ikut berdiskusi sementara usianya baru 28 tahun dan ia sudah menjadi hakim dalam usia 35 tahun.”


Al-Qadhi Syamsuddin berkata dalam Wafiyatul A’yan, “Qadhi ‘Iyadh adalah imam ahli hadits pada zamannya dan ulama yang paling dalam penguasaan ilmunya, baik dalam bidang nahwu, bahasa, dialek bangsa Arab, serta ilmu hari dan nasab.”


Sumber rujukan:

Adz-Dzahabi, Siyaru A’lâmin Nubalâ’, (Kairo: Mu’assasah ar-Risalah, 1985), juz XX, halaman 212-218.


Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Mishri, Nasîmur Riyâdh fi Syarḫi Syifâ’il Qâdhî ‘Iyâdh, (Beirut: Darul Kutub al’Ilmiyah, tanpa tahun), juz I, halaman 7-9.


Penulis: Muhamad Abror

Editor: Fathoni Ahmad