Tokoh

Kiai Ahmad Dimyati, Mengabdi dalam Sepi

Sen, 30 Desember 2019 | 20:14 WIB

Kiai Ahmad Dimyati, Mengabdi dalam Sepi

KH Ahmad Dimyati (NU Online/Nurkholish)

Di Dusun Wonoayu Desa Jatirejoyoso, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, ada seorang kiai sepuh. Kiai ini berasal dari daerah Kanigoro Blitar yang kemudian mukim di Malang. Namanya Kiai Ahmad Dimyati. 

Bagi penulis, ia adalah sosok yang mengesankan setelah berkunjung kepadanya beberapa kali. Sebagaimana budaya masyarakat Islam masa dulu, Kiai Ahmad Dimyati dalam perjalanan hidupnya pernah belajar di berbagai pesantren di berbagai daerah.
 
Ia memulai pendidikan pesantrennya di Asrama Pendidikan Islam Salafiyah (APIS) Sanan Gondang Gandusari Blitar. Di pesantren ini ia pernah belajar kepada kepada KH Shodiq Damanhuri. Kemudian melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Al-Hidayah Ngoro, Jombang, Pesantren Lasem Jawa Tengah, di mana ia belajar langsung kepada Kiai Maksum. Dalam informasi yang penulis dapatkan, beliau juga pernah mondok di Kediri Jawa Timur.

Jiwa yang Bersahaja
Dalam pandangan pandangan penulis, Kiai Ahmad Dimyati yang sangat erat dalam memegang teguh pola pikir dan sikap hidup ulama zaman dahulu. Ia mencerminkan sikap kemandirian seorang berilmu, sikap kebersahajaan tapi agung, dan sikap teguh pendirian.

Cermin kemandirian dan kebersahajaannya dapat dilihat bahwa ia menopang hidupnya dalam pola hidup berdikari dan sederhana. Ia memiliki satu petak ladang di belakang rumah yang ditanama berbagai macam tanaman polo pendem dan buah-buahan. Tiap hari yang ia konsumsi adalah apa yang dihasilkan dari ladang itu. Ia kelola sendiri, hasilnya diolah sendiri dan dikonsumsi sendiri. Selain itu, tempat ladangnya yang tepat berada di belakang rumah mencerminkan ia dalam kondisi hidup bahagia.

Selama saya berkunjung ke rumahnya dan, penulis disuguhi makanan yang umumnya itu adalah ‘polo pendem’ rupanya itu adalah hasil dari ladangnya sendiri di belakang rumah. Suatu kali juga pernah penulis disuguhi papaya segar yang baru saja dipetik dari ladang itu pula. Benar-benar pola hidup yang sederhana dan mandiri.

Melihat cara hidup demikian, penulis menjadi tahu bahwa Kiai Dimyati dan istrinya sudah terbiasa dengan hidup tirakat ‘ngrowot.” Apa yang dikonsumsi adalah benar-benar hasil bumi yang dijamin kesehatannya secara lahiriyah dan halal secara batiniyah. Jika dilihat dari kacamata Imam Al-Ghazali, maka Kiai Dimyati telah melaksanakan apa yang diistilahkan sebagai ‘terapi halal’ sebagai mana dijelaskan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin dalam komentarnya mengenai: “Thalabul halal faridlatun ala kulli muslimin.” (Mencari rezeki halal adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim). 

Dalam komentarnya, Imam Ghazali menjelaskan bahwa: ‘Barang siapa makan makanan halal setidaknya selam 40 hari berturut-turut maka yang bersangkutan akan diberikan sifat zuhud dalam dirinya oleh Allah.’ 

Mengingat kalam itu, maka Kiai Dimyatilah cerminannya. Tidakmengherankan jika sang kiai masih terlihat sehat sehat segar dan bugar dalam usianya yang cukup sepuh itu.

Bangunan rumah Kiai Ahmad Dimyati masih merupakan model rumah kuno yang memang dilestarikan. Di depan rumahnya, tepatnya pada bagian sebelah barat, terdapat masjid, tempat ia istiqamah melakukan shalat jamaah lima waktu. Sebelah timur, ada sebuah asrama berlantai dua. Pada lantai dasar, ruangannya mirip aula, sedangkan pada lantai dua disekat-sekat menjadi semacam kamar atau yang biasa di pesantren disebut “ghuta’an”. Di situlah Kiai Ahmad Dimyati mengamalkan ilmunya dengan mengajar sekitar 60 santrinya yang terdiri dari berbagai usia. Nama lembaga pendidikannya, Taman Pendidikan Agama Islam (TPAI) Al-Hidayah.

Di ruang tamu rumah itu, pada bagian dinding-dindingnya terdapat foto-foto ulama. Ia pernah belajar kepada mereka. Salah satu diantara foto yang saya lihat adalah Kiai Ma’roef Kedunglo Kediri. 

Kiai Ahmad Dimyati menyelenggarakan lembaga pendidikannya secara gratis tanpa pungutan biaya apa pun. Sehingga kegiatan mengajar yang ia lakukan adalah murni sebagai amal. Sempat beberapa wali santri mengajukan supaya diadakan semacam iuran namun Kiai Ahmad Dimyati tidak berkenan.
 
Sebagai Pendekar Pilih Tanding
Dalam bagian hidup Kiai Dimyati, ternyata dirinya pernah hidup sebagai pendekar pilih tanding. Menurut informasi dari putranya: Abdullah Hakim, ayahnya sempat beberapa lama berkelana bersama Gus Maksum Jauhari dari Lirboyo. Menguji keterampilannya berpencak silat. Bahkan Kiai Dimyati pun mengerti bahwa Gus Maksum adalah pendekar tak tertandingi pendekar manapun kecuali hanya tiga orang selama hiupnya. 

Penulis merasa sangat bersyukur karena dirinya sempat berkunjung kepada sang kiai dalam beberapa kali. Sempat pula penulis 2 (dua) kali menginap di kediamannya. Dalam kesempatan itu penulis juga sempat berbincang-bincang dan bertanya tentang beberapa pokok permasalahan. Pengalaman menginap di kediaman Kiai Dimyati inilah yang memberikan kesan mendalam pada diri penulis. Dalam kesempatan menginap di rumah Kiai Ahmad Dimyati penulis diperkenankan untuk menggunakan sebuah kamar di rumahnya sebagai tempat beristirahat. 

Penulis beristirahat di dalam sebuah kamar yang telah disediakan itu. Dari tempat penulis berbaring terlihat 2 (dua) senjata berupa pedang. Melihat pedang yang satu, saya jadi teringat film-film silat China. Sedang pedang yang satu lagi sepertinya model pedang timur tengah. Wah, Kiai Dimyati benar-benar pendekar.
Jadi Buruh untuk Kitab Ihya’ dan Bukhari
Menoleh sebelah kanan dari pembaringan, saya melihat meja kecil dan lemari. Di atas meja-meja itu berjajar dengan rapi kitab-kitab yang sudah lusuh dan nampaknya sudah kuno. Beberapa bagian ada yang sudah dimakan rayap. Saya memberanikan diri izin kepadanya sekadar melihat-lihat isinya. Semoga tuhan tidak menggolongkan saya dari orang-orang yang lancang. Tapi semua ini murni karena keinginan hati yang membuncah untuk mendalmi sosok Kiai Ahmad Dimyati.

“Kulo izin ningali kitab-ipun angsal kiai?” (Saya ijin lihat-lihat kitabnya bolehkah pak kiai) kata saya.

“Monggo mboten nopo-nopo.” (silakan ndak apa-apa) jawabnya.

Saya lalu membuka-buka kitab yang ada di meja itu. Ternyata deretan kitab itu adalah Shahih Bukhari dan Ihya’ Ulumuddin dan beberapa kitab yang lain yang lebih kecil. Ia mengaji dua kitab ini kepada Kiai Maksum Lasem. Dan yang membuat penulis terpana adalah bahwa kitab itu telah dimaknani (ngesai) secara lengkap dari awal hingga akhir. 
Subhanallah.... Jadi malu beribu malu rasanya mengukur diri saya ini terhadap Kiai Dimyati. Di mana penulis ketika mengaji di pesantren masih suka tidur. Astaghfirullah.

Dikisahkan bahwa; untuk dapat membeli kitab tersebut, Kiai Ahmad Dimyati harus menjadi buruh membajak sawah dulu beberapa bulan untuk kemudian mendapatkan imbalan pekerjaannya dan dibelikanlah kedua kitab tersebut.

“Ini ceritanya, ayah saya harus buruh ‘mbrujul’ membajak sawah untuk membeli ini.” Kata Abdullah Hakim putranya kepada penulis suatu ketika.

Dari melihat kitab-kitab tersebut, penulis menjadi sadar akan keulamaannya. Memang secara berkala ada orang yang datang dan kepada Kiai Dimyati untuk bertanya masalah hukum agama atau meminta solusi dari permasalahan yang dihadapi. Rupanya ia menjadi tumpuan masyarakat sekitar untuk berbagai masalah mereka.

Di antara kitab-kitab itu, penulis menemukan secarik kertas berisi wirid dan doa. Penulis melihat bahwa di antara tawassulnya adalah kepada Kiai Ma’ruf Kedunglo Kediri. Rupanya wirid dan doa itu adalah ijazah Kiai Ma’ruf kepada Kiai Dimyati. Penulis kemudian dengan hormat meminta supaya diijazahkan wirid itu kepada penulis untuk diamalkan. Alhamdulillah sang kiai berkenan.

Cinta Seni
Kiai Dimyati juga merupakan kiai yang cinta kesenian. Tidak hanya cinta, tapi mengerti filosofinya dalam kacamata Islam. Kecintaannya terlihat dari dua hal yaitu: (1) wayang kulit; dan (2) seni hadlrah. Kiai Dimyati sangat menggemari seni wayang kulit. Ia bahkan mampu melukis dengan cepat para tokoh dalam wayang kulit itu. Lebih dari itu ia juga dapat menjelaskan mengenai filosofi wayang kulit dalalam kaca mata islami. Bahkan sampai pada hal kecil seperti mengapa lukisan tokoh ini ini berlekuk demikian, dan goresannya tiga dan sebagainya.

Di samping itu, di rumahnya juga membentuk kelompok seni hadrah klasik yang bernaung dibawah Ikatan Seni Hadlrah Republik Indonesia (ISHARI). Kiai Dimyati secara aktif mengajak dan melatih masyarakat utamanya para pemuda untuk menghidupkan seni hadrah milik jam’iyyah Nahdlatul Ulama ini. Mendengar alunan hadrah yang dilantunkan kelompok Kiai Dimyati ini, hati rasanya bergetar, nuansa-nuansa sufistik terasa mengalir dalam hati. Bagi saya, ia sangt menghayatinya, sebagai luapan kecintaan seorang sufi kepada Rabb-nya.

Walhasil, saya banyak menimba ilmu dan hikmah dari kunjungan saya (sowan) kepada Kiai Dimyati. Athallallah baqaa’ahu. Semoga beliau panjang umur dan diberikan keberkahan.

Kiai Ahmad Dimyati, ulama dengan jiwa bersahaja, mengabdi dalam sepi.
 
Penulis: R. Ahmad Nur Kholis
Editor: Abdullah Alawi