Tasawuf/Akhlak

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: Beragama dengan Kebodohan Lebih Banyak Mafsadat

Rab, 9 Desember 2020 | 05:15 WIB

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: Beragama dengan Kebodohan Lebih Banyak Mafsadat

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan beragama secara bodoh membawa lebih banyak mafsadat daripada kemaslahatan baik untuk dirinya, untuk masyarakat, maupun untuk Islam itu sendiri. (Foto: mokashfiya.net)

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani merupakan ulama dan wali Allah yang sangat menaruh perhatian pada ilmu, termasuk ilmu agama sebagai panduan dalam beragama. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani memandang banyak kemaslahatan pada ilmu. Sebaliknya, beragama atau beraktivitas apa pun dengan kebodohan dapat membawa lebih banyak mafsadat.


Syekh Abdul Qadir Al-Jailani memang tidak memberikan contoh kerusakan atau jenis mafsadat yang diakibatkan oleh orang beragama dengan kebodohan. Tetapi, isyarat dari Syekh Abdul Al-Jailani setidaknya mengingatkan kita untuk mengecilkan dampak mafsadat itu dengan mengurangi kebodohan tersebut.


من عبد الله على جهل كان ما أفسده أكثر مما أصلحه


Artinya, “Orang yang menyembah Allah dalam kebodohan lebih sering membawa mafsadat daripada membawa kemaslahatan,” (Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Fathur Rabbani wal Faidhur Rahmani, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425 H-1426 H], halaman 288).


Syekh Abdul Qadir Al-Jailani bukan mengada-ada dalam hal ini. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani boleh jadi terinspirasi dari hadits riwayat (HR At-Turmudzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi, At-Thabarani, dan Ibnu Asakir).


الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ ، مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرُ الله، وَعَالم وَمُتَعَلِّم


Artinya, “Dunia itu terlaknat, demikian juga isi dunia kecuali zikir, orang alim, dan orang yang belajar,” (HR At-Turmudzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi, At-Thabarani, dan Ibnu Asakir).


Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menarik simpulan, sesuatu yang dikecam oleh syariat melalui hadits ini mesti mengandung larangan secara syar’i dan mafsadat. Oleh karena itu, tidak heran kalau Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan beragama secara bodoh membawa lebih banyak mafsadat daripada kemaslahatan baik untuk dirinya, untuk masyarakat, maupun untuk Islam itu sendiri.


Orang beragama dengan bodoh tidak termasuk ke dalam pengecualian. Orang bodoh termasuk salah satu dari isi dunia yang mendapat laknat karena kegelapan di mana ia dapat terjatuh ke dalam lubang maksiat dan larangan agama tanpa ia ketahui dan sadari.


والجاهل واقع في ترك الطاعات وفعل المعاصى شاء أم أبى فإنه لا يدري أي شيء الطاعة التي أمره الله بفعلها ولا أي شيء المعصية التي نهاه الله عن ارتكابها ولا يخرج من ظلمات الجهل إلا بنور العلم


Artinya, “Orang bodoh jatuh ke dalam pengabaian taat dan perbuatan maksiat dengan kemauan atau ketidakmauannya, tanpa ia ketahui mana perbuatan taat yang diperintah Allah untuk dilakukan dan mana maksiat yang dilarang Allah. Seseorang tidak akan keluar dari kegelapan kebodohan kecuali dengan cahaya ilmu,” (Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad, Risalatul Mudzakarah, Hamisy Syarah Ad-Dakwatut Tammah, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 72).


Beragama dengan kebodohan jelas mencelakai diri sendiri, masyarakat, dan agama Islam itu sendiri. Dalam konteks bermasyarakat dan berbangsa, aktivitas beragama dengan kebodohan tidak hanya berisiko melanggar larangan agama dan norma sosial, tetapi juga undang-undang yang berlaku. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)

 

Artikel ini terbit atas kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI.