Daerah

Aswaja NU Center Jatim Sebutkan Tiga Versi Muslim Menyikapi Rebo Wekasan

Rab, 14 Oktober 2020 | 13:45 WIB

Aswaja NU Center Jatim Sebutkan Tiga Versi Muslim Menyikapi Rebo Wekasan

Diskusi daring bertema Reaktualisasi Amaliyah Rebo Wekasan di Tengah Masyarakat Modern yang diselenggarakan Universitas Islam Malang (Malang), Selasa (13/10). (Foto: NU Online)

Jombang, NU Online

Penulis buku Ahlussunnah wal Jamaah Fikih dan Landasan Amaliyah, Ustadz Yusuf Suharto, menyebut tiga pandangan berbeda orang Islam terkait dengan Rebo Wekasan. Ustadz Yusuf yang juga pengurus Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur mengatakan bahwa yang dibutuhkan terkait perbedaan ini adalah sikap saling menghormati satu sama lain.


Hal itu disampaikannya pada diskusi daring bertema Reaktualisasi Amaliyah Rebo Wekasan di Tengah Masyarakat Modern yang diselenggarakan Universitas Islam Malang di Malang, Selasa (13/10).


Ustadz Yusuf menatakan, pertama, ada yang tidak percaya adanya bala Rebo Wekasan. Kedua, ada yang percaya atas ilham itu dan melaksanakan ritual Rebo Wekasan. Ketiga, ada yang tak meyakini, tetapi tetap berdoa dan melaksanakan amaliyah Rebo Wekasan.


"Saya tanya ke murid Kiai Bisri Syansuri Denanyar, di masa beliau tak ada amaliyah Rebo Wekasan ini. Kalau di Pondok Rejoso Darul Ulum, ada amaliyah ini. kalau di NU itu lebih enak karena masing-masing pihak saling menghormati," kata Ustadz Yusuf.


Ia mengatakan, mereka yang tidak meyakini adanya kesialan itu berpedoman pada hasil muktamar NU yang pesertanya memilih tidak percaya adanya hari sial.


"Kesialan itu bagi yang merasa sial sebagaimana hadits ‘Wat thayru li man tathayyara.’ Ada juga hadits ‘lā ‘adwā, wa lā thiyarata, wa lā hāmmata, wa lā shafar’ atau tak ada penularan penyakit, tak ada kesialan karena suatu tanda, tak ada kesialan karena burung hantu, dan tak ada kesialan dalam bulan Shafar," kata Ustadz Yusuf.


Menurutnya, kesialan pada bulan Shafar itu berasal dari kepercayaan masyarakat Arab pra-Islam. "Kepercayaan pra-Islam, merasa sial dengan bulan Shafar. Sayyidina Ali sendiri menikahi Sayyidah Fatimah pada bulan Shafar," kata Ustadz Yusuf.


Ia menambahkan, Rebo Wekasan memang tak ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan hadits. Amalan ini bersumber dari ilham sebagian ulama. Sedangkan berdoa, berzikir, dan shalat itu adalah sesuatu yang baik.


"Yang tidak boleh adalah mengatasnamakan 'shalat Rebo Wekasan' karena Kiai Hasyim sendiri melarangnya. Yang dibolehkan adalah niat shalat sunah mutlak atau shalat hajat untuk menolak bala," kata Ustadz Yusuf.

 

Kitab Kanzun Najah was Surur
Narasumber lainnya pada diskusi daring ini KH Ahmad Lutfi Hakim, Mursyid Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah, menyatakan, amaliyah Rebo Wekasan itu dikenal oleh sebagian orang. Tetapi, sebagian orang lainnya belum banyak mengenal.


"Amaliyah ini landasannya antara lain diambil dari Kitab Kanzun Najah was Surur. Menurut dawuhnya orang-orang shaleh di setiap Rabu terakhir bulan Shafar turun bala yang  besar. Ulama kemudian mengantisipasi turunnya bala itu. Kita berharap dengan amaliyah ini pandemi ini berakhir," kata Kiai Lutfi.


Ia mempersilakan masyarakat untuk memilih pandangan mana saja yang berkembang di kalangan ulama. "Yang percaya sesuai ilham sebagian shalihin ini silakan. Yang tak meyakini, juga tidak apa-apa," ungkapnya


Wakil Rektor 3 Universitas Islam Malang Badat Muwahhid dalam pembukaan diskusi menyampaikan agar diskusi ini bermanfaat, terlepas apakah suka melaksanakan atau tidak.


"Saling mendukung apa yang dilakukan umat Islam untuk tidak saling menyalahkan. Setelah ada pencerahan ini, mudah-mudahan menjadi amal saleh," kata Badat Muwahhid.


Pewarta: Alhafiz Kurniawan
Editor: Kendi Setiawan