Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 21: Teladan Kehidupan pada Diri Rasulullah
NU Online · Jumat, 26 Juli 2024 | 06:00 WIB
Alwi Jamalulel Ubab
Kolomnis
Sebagai agama, Islam merupakan agama yang paripurna. Ajaran Islam tidak hanya berfokus pada persoalan spiritual, melainkan mencakup segala lini kehidupan, mengatur dan menuntun para pemeluknya menuju ketakwaan kepada Allah swt.
Dalam praktiknya, semua nilai-nilai keislaman yang nyata dapat ditemukan dari kehidupan Nabi Muhammad saw sebagai teladan umat. Perilaku keseharian Nabi Muhammad saw dapat menjadi cerminan yang tidak hanya dilihat dari sisi spiritual, melainkan dari segala sisi aspek kehidupan.
Allah ta’ala berfirman dalam Surat Al-Ahzab ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
laqad kâna lakum fî rasûlillâhi uswatun ḫasanatul limang kâna yarjullâha wal-yaumal-âkhira wa dzakarallâha katsîrâ
Artinya: “Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah”. (QS. Al-Ahzab: 21)
Secara garis besar, ayat ini menjelaskan bahwa Rasulullah sebagai suri teladan umat untuk mengarungi kehidupan di dunia ini, terlebih bagi orang yang mengharapkan rahmat Allah dan mempersiapkan bekal untuk hari akhir.
Tafsirul Jalalain
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dalam Tafsirul Jalalain menafsirkan surat Al-Ahzab ayat 21 ini dengan menyesuaikan konteks zaman ketika ayat ini turun, yaitu pada saat perang Khandaq. Imam Al-Mahalli menjelaskan bahwa ayat ini merupakan imbauan dari Allah swt kepada orang-orang Islam saat itu bahwa teladan yang baik ada pada diri Rasulullah. Teladan yang dimaksud di sini ialah mengikuti Nabi Muhammad saw baik dalam segala situasi.
Hal itu berlaku bagi orang-orang yang takut kepada Allah dan hari akhir serta mereka yang selalu mengingat-Nya. Imam Al-Mahalli menafsirkan lafaz yarjullâha yang bermakna dasar “mengharapkan Allah” dengan “takut kepada (siksa) Allah”. (Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Tafsirul Jalalain, [Kairo, Darul Hadits, tt], hal 552).
Tafsir Marah Labid
Pada dasarnya, meski ayat tersebut turun berkaitan dengan prosesi perang Ahzab. Namun, perintah untuk menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai panutan ini bersifat menyeluruh dan umum dalam segala kondisi. Dalam hal ini berlaku kaidah “al-Ibrah bi-umum al-lafdz la bi-khusus as-sabab” atau yang dijadikan pelajaran ialah keumuman lafaz bukan kekhususan sebab turun.
Berkaitan dengan hal ini, Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab tafsirnya “Marah al-Labid” menafsirkan kata “uswah” pada ayat tersebut sebagai berikut:
أي خصلة حسنة حقها أن يقتدى بها على سبيل الإيجاب فى أمور الدين وعلى سبيل الإستحباب فى أمور الدنيا
Artinya: “Ialah pekerti baik yang seyogyanya diikuti secara wajib dalam persoalan agama dan dianjurkan dalam persoalan dunia”. (Syekh Nawawi Al-Bantani, Marah Labid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1417 H], juz II, hal 250).
Tafsir Ibnu Katsir
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini merupakan dasar yang paten dalam menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai suri teladan, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun keadaannya. Oleh karenanya, Allah memerintahkan umat manusia untuk menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai suri teladan pada saat terjadinya perang Ahzab dalam segi kesabaran, keterhubungan, kesungguhan dalam menanti jalan keluar dari Tuhannya. (Imam Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Adzim, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1419 H], juz VI hal 350).
Tafsir Al-Misbah
Profesor Quraish Shihab dalam tafsirnya terkait ayat di atas menyatakan: Sesungguhnya telah ada bagi kamu pada diri Rasulullah yakni Nabi Muhammad saw. Suri teladan yang baik bagi orang yang senantiasa mengharap rahmat kasih sayang Allah dan kebahagiaan hari Kiamat, serta teladan bagi mereka yang berpikir mengingat kepada Allah dan menyebut-nyebut nama-Nya dengan banyak baik dalam suasana susah maupun senang.
Bisa juga ayat ini masih merupakan kecaman kepada orang-orang munafik yang mengaku memeluk Islam, tetapi tidak mencerminkan ajaran Islam. Kecaman itu dikesankan oleh kata laqad. Seakan-akan ayat itu menyatakan: “Kamu telah melakukan aneka kedurhakaan, padahal sesungguhnya di tengah kamu semua ada Nabi Muhammad yang mestinya kamu teladani.”
Kalimat limang kâna yarjullâha wal-yaumal-âkhira, yang memiliki arti bagi orang yang mengharap Allah dan hari Kiamat, berfungsi menjelaskan sifat orang-orang yang mestinya meneladani Rasulullah saw. Memang, untuk meneladani Rasul secara sempurna diperlukan kedua hal yang disebut ayat di atas. Demikian juga dengan zikir kepada Allah dan selalu mengingat-Nya.
Adapun kata uswah atau iswah berarti teladan. Pakar tafsir az-Zamakhsyari ketika menafsirkan ayat di atas, mengemukakan dua kemungkinan tentang maksud keteladanan yang terdapat pada diri Rasul itu. Pertama dalam arti kepribadian beliau secara totalitasnya adalah teladan. Kedua dalam arti terdapat dalam kepribadian beliau hal-hal yang patut diteladani. Pendapat pertama lebih kuat dan merupakan pilihan banyak ulama.
Dalam konteks Perang Khandaq ini, banyak sekali sikap dan perbuatan beliau yang perlu diteladani. Antara lain keterlibatan beliau secara langsung dalam kegiatan perang, bahkan menggali parit. Juga dalam membakar semangat dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan pujian kepada Allah. Juga dalam suka dan duka, haus dan dahaga yang dialami oleh seluruh pasukan kaum muslimin.
Lebih lanjut, ayat ini, walau berbicara dalam konteks Perang Khandaq, tetapi ia mencakup kewajiban atau anjuran meneladani beliau meskipun di luar konteks tersebut. Pasalnya, Allah telah mempersiapkan tokoh agung ini untuk menjadi teladan bagi semua manusia. Yang Maha Kuasa itu sendiri yang mendidik beliau. ‘Addabani Rabbi, fa ahsana ta’dibi” (Tuhanku mendidikku, maka sungguh baik hasil pendidikanku). (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Jakarta, Lentera Hati, 2002], vol 11, hal 242).
Kesimpulannya, Nabi Muhammad saw merupakan teladan dalam menjalani kehidupan di dunia. Perilaku dan kehidupan sehari-harinya adalah cara untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh karenanya, hendaknya kita sebagai umat Islam lebih memperbanyak mengamalkan sunnah Nabi dan menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai suri teladan dalam mengarungi kehidupan.
Tentunya juga dalam mempraktikannya kita harus mempertimbangkan nilai yang ada dan kemaslahatan. Tidak berfokus meniru hal-hal yang bersifat fisik seperti cara berpakaian Nabi, cara makan atau yang lainnya, melainkan meniru hal-hal substansial yang berisi nilai-nilai keislaman seperti akhlak yang baik pada Nabi Muhammad saw, yang memang merupakan inti dari ajaran Islam. Wallahu a‘lam.
Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Khas Kempek Cirebon.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Tujuh Amalan yang Terus Mengalir Pahalanya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Khutbah Jumat: Menyambut Idul Adha dengan Iman dan Syukur
4
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
5
Khutbah Jumat: Jangan Bawa Tujuan Duniawi ke Tanah Suci
6
Khutbah Jumat: Merajut Kebersamaan dengan Semangat Gotong Royong
Terkini
Lihat Semua