Tafsir

Makna Insun atau Manusia dalam Al-Qur’an

Kam, 12 September 2019 | 03:35 WIB

Makna Insun atau Manusia dalam Al-Qur’an

Ilustrasi: hamzetwasl.net

Kata insun atau manusia beberapa kali disebut di dalam Al-Qur’ân. Di Jawa, lafal ini mengalami peyorasi menjadi ingsun. Dalam logat masyarakat di mana penulis tinggal, lafal ini berubah menjadi eson.

Masyarakat Jawa dan Bawean, umumnya menggunakan hasil peyorasi dari lafal ini menunjuk arti “aku manusia”. Kiranya agak menyerupai makna asli dari insun yang diucapkan dalam logat Arab, khususnya dalam Bahasa Al-Qur’ân. Mari kita kaji untuk penggunaan lafal tersebut dalam Al-Qur’ân.

Insun (إنس) dalam logat Arab merupakan turunan dari kata verbal anasa (أنس) yang bermakna berteman. Insun dalam Al-Qur’ân sering dipergunakan secara bersama-sama dengan kata al-jinn (الجن).

Setidaknya ada 5 ayat berhasil diidentifikasi oleh penulis, yang menggunakan lafal إنس ini, yaitu, Surat Al-An’âm ayat 112 dan 128, Surat Al-Isrâ ayat 88, Surat An-Naml ayat 17 dan Surat Al-Jin ayat 5.

Jika diurutkan menurut tertib turunnya ayat akan menjadi: Surat Al-Jin ayat 5, Surat An-Naml ayat 17, Surat Al-Isrâ ayat 88, Surat Al-An’âm ayat 112, dan Surat Al-An’âm ayat 128. Yang unik dari semua ayat ini, semua lafal insun selalu beriringan dengan lafal Al-Jin. Mari perhatikan ayat-ayat berikut:

1.    Di dalam Surat Al-Jin ayat 5, Allah SWT berfirman:

وَأَنَّا ظَنَنَّا أَنْ لَنْ تَقُولَ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا

Artinya, “Dan sesungguhnya kami mengira, bahwa manusia dan jin sekali-kali tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah.”

2.    Allah SWT berfirman dalam Surat An-Naml ayat 17

وَحُشِرَ لِسُلَيْمَانَ جُنُودُهُ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَالطَّيْرِ فَهُمْ يُوزَعُونَ

Artinya, “Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan).”

3.    Allah SWT berfirman di dalam Surat Al-Isrâ ayat 88

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَىٰ أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَٰذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

Artinya, “Katakanlah, ‘Sungguh jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain."
 
4.    Allah SWT berfirman di dalam Surat Al-An’âm ayat 112

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ

Artinya, “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jika Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.”

5.    Allah SWT berfirman di dalam Surat Al-An’âm ayat 128

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الْإِنْسِ ۖ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الْإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا ۚ قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ

Artinya, “Dan (ingatlah) hari diwaktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah berfirman), ‘Hai golongan jin, sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia,’ lalu berkatalah kawan-kawan meraka dari golongan manusia, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebahagian daripada kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami.’ Allah berfirman: ‘Neraka itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain).’ Sungguh Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”

Analisis Relasi Ayat
Jika diperhatikan baik-baik, kedua kata ini (الإنس والجن), dipakai secara bersama-sama karena keduanya dianggap sejenis. Dalam bahasa penafsiran oleh para ulama’, kedua makhluk Allah ini sering disebut sebagai الثقلين, yang bermakna dua beban.

Berdasarkan hadits riwayat ‘Ashim bin Hâkim yang termaktub dalam beberapa kitab tafsir, salah satunya adalah Tafsir Yahya bin Salâm juz I halaman 287 disebutkan bahwa:

فيفتح له في جانب قبره باب فيريه منزله من النار وما أعد الله له من العذاب، فيظلم وجهه، وتخبث نفسه ويضربه ضربة يتناصل منها كل عظم من موضعه، فيسمعه الخلق إلا الثقلين: الإنس والجن

Artinya, “Maka dibukalah bagi si mayit di sisi kuburnya sebuah pintu, maka melihatia akan tempatnya kelak di neraka, berikut siksa yang sudah disiapkan Allah baginya. Oleh karenanya, seketika wajahnya menjadi gelap dan meratapi kekotoran dirinya. Lalu malaikat memukulnya dengan sekali pukulan yang menghancurkan seluruh tulang belulangnya. Para makhluk mampu mendengar teriakan si mayit kecuali as-tsaqalain, yaitu makhluk golongan jin dan manusia,” (Yahya bin Salâm, Tafsīr Yahya bin Salam, [Tanpa keterangan kota, Maktabah Syâmilah: tanpa tahun], juz I, 287).

Di dalam sebuah hadits Riwayat Ahmad juga disebutkan:

فَيَأْتِيهِ آتٍ فَيَقُولُ مَنْ رَبُّكَ مَا دِينُكَ مَنْ نَبِيُّكَ فَيَقُولُ لَا أَدْرِي فَيَقُولُ لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَوْتَ وَيَأْتِيهِ آتٍ قَبِيحُ الْوَجْهِ قَبِيحُ الثِّيَابِ مُنْتِنُ الرِّيحِ فَيَقُولُ أَبْشِرْ بِهَوَانٍ مِنْ اللَّهِ وَعَذَابٍ مُقِيمٍ فَيَقُولُ وَأَنْتَ فَبَشَّرَكَ اللَّهُ بِالشَّرِّ مَنْ أَنْتَ فَيَقُولُ أَنَا عَمَلُكَ الْخَبِيثُ كُنْتَ بَطِيئًا عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ سَرِيعًا فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَجَزَاكَ اللَّهُ شَرًّا ثُمَّ يُقَيَّضُ لَهُ أَعْمَى أَصَمُّ أَبْكَمُ فِي يَدِهِ مِرْزَبَةٌ لَوْ ضُرِبَ بِهَا جَبَلٌ كَانَ تُرَابًا فَيَضْرِبُهُ ضَرْبَةً حَتَّى يَصِيرَ تُرَابًا ثُمَّ يُعِيدُهُ اللَّهُ كَمَا كَانَ فَيَضْرِبُهُ ضَرْبَةً أُخْرَى فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهُ كُلُّ شَيْءٍ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ قَالَ الْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ ثُمَّ يُفْتَحُ لَهُ بَابٌ مِنْ النَّارِ وَيُمَهَّدُ مِنْ فُرُشِ النَّارِ

Artinya, “Maka datanglah kepada Si Mayit (seorang malaikat) bertanya, ‘Siapa Tuhanmu? Apa agamamu? Siapa Nabimu?’ Lalu Mayit tersebut menjawab, ‘Aku tidak tahu.’ Lalu dikatakan kepadanya, ‘Tidakkah kamu telah melihatnya dan telah membacanya?’ Lalu datanglah seseorang yang buruk wajahnya dan buruk pakaiannya, yang bacin baunya, ia berkata, ‘Nikmatilah olehmu penghinaan yang datang dari Allah serta siksa yang tetap.’ Si Mayit bertanya, ‘Dan kamu, semoga Allah membalas keburukan padamu. Siapa Anda?’ Orang tersebut menjawab, “Aku adalah amalmu yang buruk akibat kamu menunda-nunda untuk taat kepada Allah namun bersegera jika berbuat maksiat kepada-Nya. Maka Allah membalasmu dengan suatu keburukan.’ Selanjutnya malaikat itu memegang sebuah gada (mirzabah) di tangannya yang membuat Si Mayit tercekat (buta, tuli dan bisu). Seandainya benda itu dipukulkan pada sebuah gunung, maka pasti hancurlah ia menjadi debu. Malaikat itu lalu memukulkan mirzabah itu kepada Si Mayit dengan sekali pukulan yang karenanya ia hancur lebur menjadi debu. Kemudian Allah SWT mengembalikannya lagi sebagaimana semula. Lalu dipukul lagi dengan pukulan lain. Si Mayit menjerit dan berteriak dengan jeritan dan teriakan yang bisa didengar oleh semua makluk kecuali as-tsaqalain. Al-Bara’ bin ‘Azib berkata, ‘Lalu dibukakanlah bagi Si Mayit itu sebuah pintu dari api dan ranjang yang terbuat dari api neraka,’” (HR Ahmad, Nomor 578).

Makna dari as-tsaqalain di dalam hadits riwayat Imam Ahmad ini juga menunjuk makna yang sama dengan hadits yang termaktub dalam Kitab Tafsir karya Yahya bin Abdus Salam di atas, yaitu bermakna jin dan manusia.

Pemakaian lafal al-ins dalam Al-Qur’ân tampaknya lebih menunjuk pada makna jenis dan manusia sebagai nomina kolektif, yaitu makhluk yang suka berkelompok, sehingga condong tidak liar atau tidak biadab. Makna ini seolah bertolak belakang dengan al-jin yang bersifat metafisik dan identik dengan liar atau bebas.

Dengan kata lain, ketika lafal al-ins digunakan dalam Al-Qur’ân, maka seolah di sana tergambar sebuah peradaban yang dibangun oleh manusia dengan akal dan budinya. Lafal al-ins juga seolah menunjuk pengertian bahwa manusia adalah makhluk berbudaya. Wallahu a’lam bis shawâb.
 
 
Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jawa Timur.