Tafsir

3 Ayat Al-Qur’an tentang Egalitarianisme dan Tafsirnya

Sabtu, 11 Mei 2024 | 15:00 WIB

3 Ayat Al-Qur’an tentang Egalitarianisme dan Tafsirnya

Ilustrasi egalitarianisme. (Foto: NU Online/Freepik)

Islam adalah agama paripurna yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Islam tidak membenarkan sistem kasta, nasab, ataupun jabatan sebagai acuan untuk memandang seseorang memiliki nilai lebih dari yang lain. Islam menanamkan prinsip egaliter dan menganggap semua manusia sama di sisi Allah. Ketakwaan dalam tiap individu manusia adalah menjadi ukuran derajat manusia di sisi-Nya. 

 

Kesetaraan yang dimaksud adalah kesetaraan sosial di mana setiap orang memiliki nilai dasar atau status moral yang sama dalam masyarakat. Prinsip egaliter yang dijunjung Islam banyak tercantum dalam nash baik Al-Qur’an maupun Hadits.

 

Berikut adalah di antara beberapa ayat Al-Qur’an dan tafsirnya yang dapat menjadi dasar prinsip egaliter dalam Islam.

 

1. Surat Al-Hujurat ayat 13

 

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

 

Artinya: "Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti". 

 

Surat Al-Hujurat ayat 13 di atas menjadi dasar prinsip egaliter dalam Islam. Ayat tersebut menegaskan bahwa Islam tidak mengenal sistem kasta, meninggikan nasab ataupun membeda-bedakan status sosial dalam masyarakat karena kekayaan hartanya. Semuanya sama di sisi Allah.

 

Terkait ayat tersebut, Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia di dunia selalu hidup berdampingan, tidak ada status sosial yang melebihi satu sama lain. Nasab atau kekayaan tidak menjadikan seseorang lebih hebat dari yang lain, yang membedakan hanyalah ketakwaan yang dimiliki oleh tiap individu. 

 

فَالنَّاسُ فِيمَا لَيْسَ مِنَ الدِّينِ وَالتَّقْوَى مُتَسَاوُونَ مُتَقَارِبُونَ، وَشَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ لَا يُؤَثِّرُ مَعَ عَدَمِ التَّقْوَى

 

Artinya: “Manusia pada selain urusan agama dan ketakwaan berada dalam kesetaraan dan kesamaan. Semua yang ada pada diri manusia tidak berharga tanpa adanya ketakwaan”. (Imam Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Dar Ihya At-Turats Al-Arabi: 1420 H], juz XXVIII, cet 3, hal 112). 

 

2. Surat An-Nisa ayat 1

 

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءًۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

 

Artinya: "Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu".

 

Semua manusia diciptakan dari satu pasangan manusia yang sama yaitu Nabi Adam as dan Siti Hawa. Surat An-Nisa ayat 1 ini menjelaskan perintah untuk bertakwa kepada Allah yang telah menciptakan umat manusia dari Nabi Adam dan Siti Hawa. Dari keduanya kemudian seluruh umat manusia menyebar memenuhi bumi hingga saat ini. 

 

Ayat di atas juga menjelaskan pentingnya seseorang menjaga persaudaraan antar sesama umat manusia. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, menjujung tinggi persaudaraan tanpa melihat atau membeda-bedakan satu sama lain adalah suatu keniscayaan. Islam tidak memperkenankan adanya pemutusan silaturahim atau persaudaraan karena beda nasab, kekayaan atau status sosial lainnya. 

 

Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya menjelaskan makna ayat di atas sebagaimana berikut: 

 

فمعناه واتقوا الله بالتزام طاعته واجتناب معاصيه واتقوا الأرحام بوصلها وعدم قطعها فيما يتصل بالبر والإحسان والإعطاء

 

Artinya: “Maknanya ialah bertakwalah kepada Allah dengan selalu menaati-Nya dan menjauhi larangan-Nya, jagalah silaturahmi dengan menyambungnya dan tidak memutusnya dalam persambungan yang beriringan dengan kebaikan, perbuatan baik dan saling memberi”. (Imam Nawawi Al-Bantani, Marah Labid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1417 H], juz I, cet 1, hal 181). 

 

3. Surat An-Nahl ayat 97

 

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

 

Artinya: "Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan". 

 

Surat An-Nahl ayat 97 menjelaskan bahwa semua manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki derajat yang sama. Yang membedakan ialah amal saleh dan ketakwaan masing-masing. Allah menjanjikan kepada siapa saja tanpa melihat status sosial, baik bagi laki-laki maupun perempuan yang beramal saleh dan memiliki ketakwaan akan memberikan kehidupan yang layak dan balasan yang setimpal.

 

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memandang manusia sama dalam pandangan-Nya. Hal ini merupakan janji yang Allah berikan, bahwa hanya amal saleh dan ketakwaan kepada-Nya menjadi tolok ukur perbedaan tinggi-rendahnya derajat manusia menurut Allah.

 

Hal tersebut sebagaimana dijelaskan Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, ia berkata:

 

هَذَا وَعْدٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى لِمَنْ عَمِلَ صَالِحًا وَهُوَ الْعَمَلُ المتابع لكتاب الله تعالى وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى، مِنْ بَنِي آدَمَ وَقَلْبُهُ مُؤْمِنٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ،

 

Artinya: “Ayat ini merupakan janji dari Allah ta’ala bagi orang yang beramal saleh, yaitu amal yang mengikuti ketentuan kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya, baik dari laki-laki ataupun perempuan dari Bani Adam, sedang hatinya beriman kepada Allah dan rasul-Nya”. (Imam Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Adzim, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1419 H], juz IV, cet 1, hal 516).

 

Dengan demikian, Islam tidak memandang kasta dalam pergaulan di masyarakat. Tidak ada nasab, kekayaan, ataupun status sosial yang menjadikan manusia lebih tinggi derajatnya dari yang lain. Hanya ketakwaan kepada Allah yang menjadi tolok ukur tingginya derajat seseorang di mata Allah. Wallahu a’lam

 

Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Khas Kempek dan Mahad Aly Jakarta