Syariah

Pelanggaran Hak Cipta dalam Kajian Fiqih Islam

Sen, 6 September 2021 | 02:30 WIB

Di dalam syariat Islam, ada dua hak yang senantiasa dijaga. Pertama haqqullâh, yaitu hak yang berhubungan dengan Allah; dan kedua haqqul adami, yaitu hak yang melekat pada manusia. 


Karakteristik dari kedua hak ini berbeda. Haqqullâh menghendaki ditunaikan dan ditaati (sami'nâ wa atha'nâ) sesuai yang diperintahkan. Pelanggaran terhadap haqqullâh meniscayakan ditebus dengan taubat dan istighfar. Adapun haqqul adami memiliki karakteristik ditunaikan sebagai amanat. Pelanggaran terhadapnya menempatkan pelakunya sebagai orang zalim sehingga berkonsekuensi pada ganti rugi (dlamân). Dengan demikian, karakter utama dari haqqu adami adalah selalu menerima akad mubâdalah (pertukaran). 

 


Syekh Ahmad bin Ali al-Manjur (w. 995 H) menjelaskan indikasi tersebut:


تقدم أن أسباب الضمان ثلاثة الإتلاف والتسبب ووضع اليد غير المؤتمنة كالبيع الفاسد يضمنه المبتاع بالقبض بخلاف الخيار إذا أصيب بسماوي


Artinya, “Telah disampaikan terdahulu bahwa sebab-sebab timbulnya dlamân atau ganti rugi ada tiga, yaitu (1) akibat tindakan perusakan secara langsung; (2) perusakan secara tidak langsung (‘udwânan); dan (3) menaruh kekuasaan pada yang tidak seharusnya, misalnya pada kasus jual beli dengan akad yang fasid, maka pelakunya harus menanggung ganti rugi atas barang yang dibeli dengan sebab menerima barang apa adanya (tanpa khiyâr). Lain halnya bila kerusakan barang adalah akibat samawi (tertimpa hujan, dan sejenisnya), maka boleh untuk khiyâr.” (Ahmad bin Ali al-Manjur, Syarhul Minhâjil Muntakhab ilâ Qawâ’idil Madzhab, juz II, halaman 535). 


Imam Malik radliyallâhu ‘anhu berkata:


وإن ابتعت حنطة كانت مبلولة فجفت، أو عسلًا أو لبنًا مغشوشًا فلم تعلم بذلك حتى أكلت ذلك فلك الرجوع بما بين الصحة والداء، إذ لا يوجد مثله لغشه ولو وجدت مثله في غشه حتى يحاط بعلم ذلك لرددت مثله، وأخذت جميع الثمن


Artinya, “Jika anda membeli biji gandum dan mendapati dalam kondisi basah, maka hendaknya anda keringkan; atau madu atau susu anda beli dalam kondisii dicampur bahan lain, sementara anda tidak mengetahuinya sampai kemudian anda makan, maka hak bagi anda adalah mengembalikannya dengan bukti pengaruh terhadap kondisi kesehatan anda atau sakit anda. Semua ini bila tidak ditemukan adanya standar penerapan ganti rugi. Adapun bila anda bisa menemukan besaran kerugian yang terjadi sehingga bisa diketahui, maka anda bisa meminta pengembalian konsekuensi kerugian tersebut sesuai dengan besaran yang telah anda hitung (mitsil) atau menuntut pengembalian harga secara total.” (Ibnu Yunus ash-Shaqali, al-Jâmi’ li Masâ-ill Mudawwanah, juz XIV, halaman 199). 

 


Dari kedua contoh yang disampaikan oleh Syekh Ahmad bin Ali al-Manjur dan Imam Malik di atas dapat ditarik benang merah bahwa pelanggaran terhadap suatu hak milik orang lain sehingga berujung timbulnya kerugian, maka meniscayakan ganti rugi (dlamân). Namun, penyetandaran ganti rugi ini bermacam-macam caranya, antara lain: 


1. Dengan jalan istibdâl atau mengganti materi dengan materi. Contoh kasus penggusuran tanah diganti dengan tanah.


2. Meminta arsyun (menambal kerugian). Misalnya kerusakan materiil pada barang meniscayakan potongan harga, khususnya bila pihak pembeli tidak menerimanya.


3. Pengembalian barang dan menuntut pengembalian harga (raddul mabî’ wats tsaman). Misalnya, karena barang yang datang dan dipesan lewat akad salam ternyata tidak sesuai dengan spesifikasi sebagaimana promosinya.


Garis besarnya, ganti rugi senantiasa menghendaki adanya imbal kerugian yang sepadan. Kesepadanan ini kemudian diistilahkan dengan harga mitsil.

 

 

Pelanggaran Hak Cipta dalam Kajian Fiqih Islam dan Ganti Ruginya

Permasalahannya kemudian, bagaimana bila pelanggaran itu terjadi pada hak cipta? Misalnya, seorang penulis buku. Dalam kasus ini ada hak menerbitkan dan menjual hasil karyanya yang bersifat melekat pada diri penulisnya. Bagaimana hukum pelanggaran hak cipta dalam kajian fiqih Islam?   


Pertama, sebagian ahli fiqih menilai bahwa hak cipta merupakan hak yang bersifat ma’nawi, sehingga pelanggaran terhadapnya tidak membutuhkan ganti rugi, sebab sesuatu yang bersifat ma’nawi tidak memiliki fisik materi yang bisa digantikan. 


Kelemahan dari pendapat ini terletak pada beberapa hal, antara lain adalah untuk menghasilkan karya seorang penulis membutuhkan upaya mengerahkan tenaga, waktu dan fikirannya. Ketiganya merupakan wilayah “manfaat / jasa” yang berhak menerima ganti rugi (‘iwadl). Ketiganya, merupakan anasir produksi (intâj) yang secara nyata membutuhkan biaya dan materi. Biaya dan materi inilah yang menjadi standar ukur dari hak penulis tersebut.


Kedua, sebagian ahli fiqih lain menilai bahwa hak cipta merupakan aset ma’nawi sehingga tidak masuk kategori harta. Sebab menurutnya, harta wajib memenuhi standar bisa disimpan dan dikuasai. Adapun hak karya, merupakan sesuatu yang tidak bisa dikuasai dan disimpan. 


Kelemahan dari pendapat ini, adalah pihak tersebut lupa bahwa yang dimaksud sebagai harta adalah:


المال كل ما له قيمة شرعية، وأمكن الانتفاع به انتفاعًا مباحًا


Artinya, “Harta adalah segala sesuatu yang memiliki nilai yang diakui oleh syariat, dan bisa dimanfaatkan secara mubah.” 


Dalam syariat, harta juga tidak hanya terdiri dari ainun musyâhadah (fisik materi), melainkan juga ada syai-in maushuf fidz dzimmah (aset berjamin). Hak cipta merupakan bagian dari karakteristik yang bisa dijamin tersebut sebab bisanya dimanfaatkan dan ditasarufkan. 

 

Baca: UU Hak Cipta Disahkan, Tapi Pembajakan Masih Merajalela


Semisal, kecakapan profesi dokter. Seorang dokter dinilai jasanya karena faktor kecakapan profesi yang dimilikinya dalam menangani pasien dengan penyakit tertentu. Apabila kecakapan profesi menangani pasien itu tidak melewati mekanisme profesi dokter, maka kecakapan itu bukan disebut sebagai kecakapan dokter, melainkan kecakapan dukun, atau yang semisal.


Itu menandakan bahwa kecakapan merupakan bagian dari hak yang bisa ditasarufkan. Andaikata kecakapan itu tidak bisa ditasarufkan, maka tidak ada penerbit yang mau memanfaatkan. Segala sesuatu yang bersifat bisa dimanfaatkan, menandakan bahwa ia merupakan aset manfaat dari suatu materi. Alhasil, materi itu merupakan pondasi. Sementara manfaat merupakan cabangnya. Dengan demikian, pendapat kedua ini merupakan pendapat lemah karena tidak memandang materi tersebut. 


Sebagai kesimpulan dari tulisan ini, hak cipta adalah bagian dari harta manfaat. Setiap aset manfaat selalu memiliki aset materiil yang mendasarinya. Pelanggaran hak cipta dalam kajian fiqih Islam, meniscayakan meniscayakan adanya ganti rugi materiil. Kerugian materiil wajib dipenuhi seiring “hak” merupakan bagian dari haqqul adami. Ketiadaan ganti rugi hak materiil dapat menempatkan seseorang jatuh pada berbuatan zalim atau kejahatan, yang tidak cukup ditebus dengan sekadar istighfar tanpa disertai pengembalian hak. Wallâhu a’lam.

 


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah di Aswaja NU Center PWNU Jatim.