Syariah

Hukum Harta yang Terbawa Banjir

Sen, 6 Januari 2020 | 14:30 WIB

Hukum Harta yang Terbawa Banjir

Dalam fiqih, ada perbedaan antara barang temuan (luqathah) dan barang hilang (mal dlai').

Pada musim hujan ini di sementara daerah di Indonesia terjadi banjir dengan berbagai penyebabnya. Tentu saja hal ini menimbulkan berbagai macam dampak, mulai dari kerugian harta, luka fisik, hingga hilangnya nyawa. Terkait harta, selain kerusakan, persoalan lain yang sering dialami adalah terbawanya barang-barang milik penduduk oleh arus banjir.

 

Terdapat hal yang mirip dari harta benda yang terbawa oleh banjir ini dengan barang termuan. Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa para Ulama di kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa harta yang terbawa banjir atau sejenisnya dari kejadian alam dihukumi sebagai barang yang hilang.

 

Dalam hal demikian ini maka memperlakukan harta benda yang terbawa oleh banjir ini berbeda dengan memperlakukan barang temuan. Harta hasil temuan dalam istilah fiqih disebut sebagai luqatah, sedangkan harta yang hilang disebut sebagai mâl dlâ’i’.

 

Dalam hal benda hasil temuan, seseorang yang menemukan benda tersebut diwajibkan untuk mengumumkan harta tersebut di tempat-tempat umum. Dalam kitab-kitab fiqih dicontohkan tempat-tempat umum ini adalah masjid dan pasar. Adapun masa mengumumkannya adalah selama satu tahun (Hijriah). Jika dalam waktu satu tahun tersebut tidak ada yang mengakui akan barang tersebut maka si penemu boleh memakai atau memanfaatkan barang tersebut. Jikalau setelah dimanfaatkan sampai habis atau rusak kemudian datang orang yang mengaku memilikinya, maka si penemu harus mengganti rugi.

 

Adapun mengenai barang yang hilang (mâl dlâ’i’) sebagaimana diberlakukan terhadap harta benda yang terbawa banjir maka harus dilakukan beberapa prosedur. Prosedur-prosedur tersebut adalah sebagai berikut: (1) Jika mengetahui pemiliknya maka harus diberikan kepada pemiliknya; (2) jika tidak diketahui siapa pemiliknya maka diserahkan ke dalam kas negara sebagai pendapatan negara nonpajak.

 

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Iqna’ li Alfadzi Abi Syuja sebagai berikut:

 

أما ما القاه الريح في دارك أو حجرك فليس لقطة بل مال ضائع، و كذا ما حمله السيل إلى أرضك فان اعرض عنه صاحبه كان ملكا لك لا لقطة، و ان لم يعرض فهو لمالكه و يزاد ما وجد اى فى غير مملوك و الا فلمالكه )الاقناع ٢/٨٩(

 

Artinya:Adapun harta yang terbawa oleh angin di dalam rumah atau kamarmu maka itu bukanlah (hukumnya) seperti barang temuan, melainkan hukum barang yang hilang. Demikian pula harta yang terbawa oleh bajir ke tanahmu. Jika saja pemiliknya sudah tidak mencarinya maka harta itu menjadi milikmu bukan lagi sebagaimana hukum barang temuan. Jika pemiliknya masih mencarinya maka barang itu masih menjadi milik pemiliknya (Muhammad bin Muhammad Al-Khatib As-Syarbini, al-Iqna’ li Alfadzi Abi Syuja, 2:89).

 

 

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang menemukan harta benda atau barang yang terbawa banjir harus memastikan apakah pemilik barang atau harta tersebut masih mencarinya atau tidak. Jika masih mencarinya maka harus diserahkan kepada pemiliknya dan jika tidak maka si penemu berhak untuk memiliki harta benda tersebut.

 

Sedangkan di antara para ulama yang berpendapat bahwa harta tersebut harus diserahkan kepada kas negara, adalah sebagaimana pendapat dalam kitab Hasyiyah Al-Jamal ala Syarhi Al-Minhaj sebagai berikut:

 

وقع السؤال في الدرس عما يوجد من الأمتعة والمساغ في عش الحدأة والغراب ونحوهما ما حكمه والجواب الظاهر أنه لقطة فيعرفه واجده سواء كان مالك النحل أم غيره ويحتمل أنه كالذي ألقته الريح في داره أو حجره__أنه ليس بلقطة ولعله الأقرب فيكون من الأموال الضائعة أمره لبيت المال. الجمل ٣/ ٦٠٢

 

Artinya:Terdapat pertanyaan mengenai penelitian tentang harta yang ditemukan pada sarang burung rajawali dan burung gagak atau semisalnya. Apa hukumnya? Jawabannya adalah bahwa yang jelas itu adalah (sebagaimana hukumnya) barang temuan. Maka penemunya harus memberitahukan kepada pemiliknya, baik itu harta pemberian orang yang menemukan atau bukan. Termasuk (terdapat pertanyaan) di antaranya adalah sesuatu yang dibawa oleh angin di ke rumahnya atau kamarnya, bahwa hukumnya adalah bukan (sebagaimana) barang temuan kemungkinan paling mendekati harta tersebut adalah sebagaimana hukum harta yang hilang. Harta itu diserahkan ke baitul mal (kas negara sebagai penerimaan negara nonpajak) (Syekh Sulaiman al-Jamal, 3:602)

 

Pendapat senada juga sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin dan kitab Al-Yaqut An-Nafiis li Madzhabi ibni Idris. Hanya saja di dalam kitab al-Yaqut an-Nafis juga dijelaskan pula pendapat Imam Hasan Al-Bashri yang mengatakan: “Barangsiapa yang menemukannya dan tidak mengetahui siapa pemiliknya maka ia berhak untuk memiliki harta tersebut (Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri, al-Yaqut an-Nafis: 506). Pendapat Imam Hasan Al-Bashri ini adalah pendapat yang dianggap aneh oleh penulis Al-Yaqutun Nafis dan pendapat tersebut tidak diambil penulis kitab tersebut.

 

Walhasil, sebagaimana telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa mengenai barang yang terhanyut oleh banjir dan semisalnya, dihukumi sebagaimana barang yang hilang dan bukan dihukumi sebagaimana barang temuan. Adapun mengenai prosedur perlakuan terhadap barang tersebut sebagaimana juga telah dijelaskan di atas pula yaitu: (1) dikembalikan kepada pemilikinya jika si penemu mengetahuinya; atau (2) diserahkan kepada baitul mâl (kas negara) jika si penemu tidak mengetahui pemiliknya.

 

 

R. Ahmad Nur Kholis, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang