Syariah

5 Gaya Politik Nabi Muhammad saw yang Harus Diteladani

NU Online  Ā·  Sabtu, 14 Oktober 2023 | 09:30 WIB

5 Gaya Politik Nabi Muhammad saw yang Harus Diteladani

Ilustrasi Nabi Muhammad saw. (Foto: NU Online)

Politik merupakan sesuatu yang tidak dapat dilepas dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara, termasuk kehidupan beragama. Pada era awal-awal Islam didakwahkan, Nabi MuhammadĀ saw pun melakukan beragam aktivitas politik, khususnya pascaterbentuknya masyarakat Muslim di Madinah. Tentunya, politik yang dilakukan oleh Nabi MuhammadĀ saw adalah untuk kemaslahatan dan bukan untuk kekuasaan pribadi.


Di antara produk politik mulia dan monumental yang dilakukan Nabi MuhammadĀ saw adalah terciptanya Piagam Madinah yang beliau rumuskan dan tanda tangani pasca hijrah (622 M).Ā 


Di Madinah kala itu, beliau membangun masjid dan menjadikan fungsinya sebagai tempat menerima delegasi-delegasi non-Muslim yang datang dari berbagai negeri. Contoh lain praktik politik Nabi MuhammadĀ saw adalah perjanjian Hudaibiyah dan gencatan senjata antara kaum muslimin dan kaum musyrikin.


Mendekati masa-masa politik, patut bagi kita sebagai warga Indonesia untuk meniru bagaimana etika dan moral berpolitik Nabi MuhammadĀ saw. Meskipun tindakan politis Nabi dinilai bukan merupakan sunnah tasyri’iyyah atau bukan syari’at yang mesti diikuti, tetapi sudah sepatutnya kita mengikuti contoh baik yang pernah diusung oleh sosok yang menjadi teladan hidup manusia.


Pertama, politik Nabi MuhammadĀ saw dirumuskan melalui proses musyawarah antarindividu maupun kelompok. Artinya untuk menghasilkan suatu keputusan politis yang baik, Nabi Muhammad saw perlu merumuskannya bersama-sama orang-orang di sekitarnya.


Contoh musyawarah yang pernah dilakukan Nabi MuhammadĀ saw adalah ketika Perang Uhud untuk memutuskan antara beliau tetap tinggal di Madinah atau keluar menghadapi musuh. Hasil musyawarah tersebut pun adalah usulan terbanyak yang menegaskan agar semuanya berangkat menghadapi musuh sehingga Nabi pun ikut. Musyawarah juga terjadi antara Nabi Muhammad saw dengan sahabatnya di Perang Khandaq dan juga peristiwa Hudaibiyah.


Kedua, politik Nabi MuhammadĀ saw selalu ditujukan untuk suatu kemaslahatan orang banyak, bahkan mendahulukan kemaslahatan umat dibanding kemasalahatan pribadi. Sifat mendahulukan umat dalam tindakan politis Nabi MuhammadĀ saw terkadang memaksa beliau untuk mengurungkan niatnya dalam melakukan sesuatu.Ā 


Misalnya adalah niat Nabi MuhammadĀ saw untuk merenovasi Ka’bah. Namun, beliau mengurungkannya sebab khawatir mendapat penolakan bahkan menciptakan persilisihan di tengah masyarakat Muslim yang terhitung masih baru keislamannya.


Ų¹ŁŽŁ†Ł’ Ų¹ŁŽŲ§Ų¦ŁŲ“ŁŽŲ©ŁŽ Ų±ŁŽŲ¶ŁŁŠŁŽ Ų§Ł„Ł„Ł‘ŁŽŁ‡Ł Ų¹ŁŽŁ†Ł’Ł‡ŁŽŲ§ Ų£ŁŽŁ†Ł‘ŁŽ Ų§Ł„Ł†Ł‘ŁŽŲØŁŁŠŁ‘ŁŽ ŲµŁŽŁ„Ł‘ŁŽŁ‰ Ų§Ł„Ł„Ł‘ŁŽŁ‡Ł Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁŠŁ’Ł‡Ł ŁˆŁŽŲ³ŁŽŁ„Ł‘ŁŽŁ…ŁŽ Ł‚ŁŽŲ§Ł„ŁŽ Ł„ŁŽŁ‡ŁŽŲ§ ŁŠŁŽŲ§ Ų¹ŁŽŲ§Ų¦ŁŲ“ŁŽŲ©Ł Ł„ŁŽŁˆŁ’Ł„ŁŽŲ§ Ų£ŁŽŁ†Ł‘ŁŽ Ł‚ŁŽŁˆŁ’Ł…ŁŽŁƒŁ Ų­ŁŽŲÆŁŁŠŲ«Ł Ų¹ŁŽŁ‡Ł’ŲÆŁ ŲØŁŲ¬ŁŽŲ§Ł‡ŁŁ„ŁŁŠŁ‘ŁŽŲ©Ł Ł„ŁŽŲ£ŁŽŁ…ŁŽŲ±Ł’ŲŖŁ ŲØŁŲ§Ł„Ł’ŲØŁŽŁŠŁ’ŲŖŁ ŁŁŽŁ‡ŁŲÆŁŁ…ŁŽ ŁŁŽŲ£ŁŽŲÆŁ’Ų®ŁŽŁ„Ł’ŲŖŁ ŁŁŁŠŁ‡Ł Ł…ŁŽŲ§ Ų£ŁŲ®Ł’Ų±ŁŲ¬ŁŽ Ł…ŁŁ†Ł’Ł‡Ł ŁˆŁŽŲ£ŁŽŁ„Ł’Ų²ŁŽŁ‚Ł’ŲŖŁŁ‡Ł ŲØŁŲ§Ł„Ł’Ų£ŁŽŲ±Ł’Ų¶Ł ŁˆŁŽŲ¬ŁŽŲ¹ŁŽŁ„Ł’ŲŖŁ Ł„ŁŽŁ‡Ł ŲØŁŽŲ§ŲØŁŽŁŠŁ’Ł†Ł ŲØŁŽŲ§ŲØŁ‹Ų§ Ų“ŁŽŲ±Ł’Ł‚ŁŁŠŁ‘Ł‹Ų§ ŁˆŁŽŲØŁŽŲ§ŲØŁ‹Ų§ ŲŗŁŽŲ±Ł’ŲØŁŁŠŁ‘Ł‹Ų§ ŁŁŽŲØŁŽŁ„ŁŽŲŗŁ’ŲŖŁ بِهِ Ų£ŁŽŲ³ŁŽŲ§Ų³ŁŽ Ų„ŁŲØŁ’Ų±ŁŽŲ§Ł‡ŁŁŠŁ…ŁŽĀ 


Artinya, ā€œDari ā€˜Aisyah ra, bahwa Nabi Saw. berkata kepadanya, ā€˜Seandainya bukan karena keberadaan kaummu yang masih lekat dengan kejahiliyahan, tentu aku sudah perintahkan agar Ka'bah Baitullah dirobohkan lalu aku masukkan ke dalamnya bagian yang sudah dikeluarkan, aku akan jadikan (pintunya yang ada sekarang) rata dengan permukaan tanah, lalu aku buat pintu timur dan pintu barat dengan begitu aku membangunnya di atas pondasi yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim as.ā€ (HR. al-Bukhari).


Akhirnya, renovasi pun dilakukan di masa ā€˜Abdullah bin Zubair berdasarkan sabda Nabi MuhammadĀ saw. tersebut. Di kala itu, umur agama Islam sudah cukup dapat memahami dan memaklumi ide perobohan dan pembangunan kembali Ka’bah.


Contoh lainnya adalah kepekaan Nabi MuhammadĀ sawĀ terhadap tindakan sanksi kepada sebagian tokoh munafikin yang banyak orang memahaminya sebagai plin-plan. Padahal, tujuan Nabi MuhammadĀ sawĀ adalah untuk kemaslahatan yang lebih besar bagi Islam dan umat Islam saat itu.Ā 


Sebut saja ā€˜Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang tokoh munafik, yang kala itu pernah ā€˜Umar menyarankan kepada Nabi MuhammadĀ sawĀ agar mengeksekusi mati terhadapnya, tetapiĀ beliau tolak. Meskipun kesalahan yang sama pernah dilakukan oleh orang lain namun dijatuhi hukuman mati. Beliau menjawab ā€˜Umar, ā€œApa yang akan dikatakan oleh orang? Muhammad membunuh pengikutnya sendiri.ā€


Dalam kasus lain, ā€˜Abdullah bin Ubay bin Salul pun terlibat dalam kasus fitnah yang dilontarkan terhadap Siti ā€˜Aisyah. Namun beliau tidak dihukum cambuk karena Nabi MuhammadĀ sawĀ memandang kemaslahatan yang lebih besar. Konon, kemaslahatan besar dari menghindari penjatuhan hukuman tersebut adalah agar tidak terulang kembali peperangan antara suku Aus dan Khazraj sebagaimana terjadi sebelum Islam datang.


Ketiga, politik ala Nabi MuhammadĀ sawĀ tidak menerima gratifikasi atau imbalan tertentu supaya Nabi MuhammadĀ sawĀ berhenti dari kegiatan dakwah dan memimpin umat. Hal ini pernah terjadi ketika Nabi MuhammadĀ saw mendapatkan lobi dari kaum musyrikin melalui pamannya dengan menawarkan beragam kenikmatan duniawi. Nabi pun menjawab, ā€œWahai paman, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, supaya aku meninggalkan misiku, pasti aku akan menolaknya dan akan terus berusaha walau aku mati dalam melaksanakannya.ā€ (Ibnu Hisyam, as-Sirah li Ibni Hisyam, [Beirut: Dar al-Jayl, 1411], jilid II, hal. 101).


Keempat, tindakan dan gerak politik Nabi MuhammadĀ saw jauh dari kata pengkhiatan baik terhadap kawan maupun lawan. Bahkan ketika ada perjanjian antara Nabi dengan musuh, dan musuh terlihat gerak-gerik akan mengkhianati perjanjian tersebut, Allah melarang Nabi untuk menyerang sebelum adanya tindakan jelas yang berimplikasi pada pembatalan perjanjian. Hal ini disebutkan dalam surat al-Anfal ayat 58:


ŁˆŁŽŲ„ŁŁ…Ł‘ŁŽŲ§ ŲŖŁŽŲ®ŁŽŲ§ŁŁŽŁ†Ł‘ŁŽ مِنْ Ł‚ŁŽŁˆŁ’Ł…Ł Ų®ŁŁŠŁŽŲ§Ł†ŁŽŲ©Ł‹ ŁŁŽŲ§Ł†Ł’ŲØŁŲ°Ł’ Ų„ŁŁ„ŁŽŁŠŁ’Ł‡ŁŁ…Ł’ Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁ‰Ł° Ų³ŁŽŁˆŁŽŲ§Ų”Ł ۚ Ų„ŁŁ†Ł‘ŁŽ Ų§Ł„Ł„Ł‘ŁŽŁ‡ŁŽ Ł„ŁŽŲ§ ŁŠŁŲ­ŁŲØŁ‘Ł Ų§Ł„Ł’Ų®ŁŽŲ§Ų¦ŁŁ†ŁŁŠŁ†ŁŽ


Artinya, ā€œDan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.ā€ (QS al-Anfal : 58).


Kemudian yang terakhir adalah sikap politik Nabi saw berasaskan keadilan, baik kepada kaum muslimin maupun non-Muslim. Misalnya adalah suatu hari ketika Nabi MuhammadĀ saw sedang bertamu di rumah Abu Bakar, lantas ada yang mengetuk pintunya. Ternyata orang tersebut beragama Nasrani dan ia bermaksud mencari Nabi saw sebab ia dizalimi oleh Abu Jahal bin Hisyam yang telah mengambil hartanya. Nabi saw pun segera ke rumah Abu Jahal dan meminta dirinya untuk mengembalikan harta si Nasrani tersebut. Abu Jahal pun mengembalikannya.


Demikian kiranya penjelasan mengenai praktik politik ala Nabi Muhammad saw yang tujuannya adalah kemaslahatan umat, menghindarkan masyarakat dari kerugian, jauh dari praktik gratifikasi, bersifat adil, dan anti terhadap sikap pengkhianatan baik kepada kawan maupun lawan. Semoga kita semua dapat meneladani Nabi Muhammad saw.