Opini

Inklusivitas Politik NU dan Arah Kebijakan Hukum Nasional

Jum, 18 Maret 2022 | 15:30 WIB

Inklusivitas Politik NU dan Arah Kebijakan Hukum Nasional

Inklusivitas Politik NU dan Arah Kebijakan Hukum Nasional

Oleh Ferdian Andi

 

Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari lalu genap berusia 96 tahun. Di empat tahun menjelang usia satu abad ini ormas keagamaan Islam terbesar di Indonesia baru saja merampungkan proses demokratisasi di internal melalui muktamar pada akhir tahun lalu di Lampung.

 

Forum musyawarah tertinggi di NU ini menghasilkan pimpinan baru Rois ‘Aam KH Miftachul Akhyar dan Ketua Umum Tanfidiziyah KH Yahya Staquf. Kepemimpinan baru NU menampilkan sejumlah wajah baru NU.

 

Mulai dari masuknya sejumlah tokoh perempuan, jumlah pengurus yang tambun hingga sikap politik NU yang berkomitmen berdiri di atas semua kepentingan politik. Untuk poin terakhir inilah yang belakangan menjadi perbincangan hangat di publik baik di internal maupun eksternal NU.

 

Dalam konteks tersebut, sikap kembali ke khitah NU ini ingin menegaskan sikap politk yang inklusif, yang tidak tampil dengan politik eksklusif sebagaimana tampak di era kepemimpinan NU dua periode sebelum periode saat ini. Masuknya sejumlah kader lintas partai politik di kepengurusan PBNU lima tahun ke depan tampak memberi pesan inklusivitas sikap politik NU saat ini.

 

Sikap politik NU ini tentu akan memberi dampak dalam relasi NU dengan organisasi sosial politik lainnya. Kader-kader NU yang tersebar di sejumlah partai politik, dalam konteks ini dapat mengambil posisi sebagai petugas NU dalam mewujudkan cita-cita NU, terkhusus dalam urusan kebijakan publik (legal policy).

 

Dalam konteks inilah, sikap politik yang diambil NU saat ini apakah memberi pengaruh terhadap arah politik hukum nasional atau tidak, dibutuhkan pengujian di lapangan. Apakah dengan sikap politik inklusif NU saat ini makin memudahkan untuk mengeksekusi sejumlah rekomendasi tentang kebijakan publik atau justru sebaliknya.

 

Jejaring Pembuat Kebijakan

Sikap politik NU yang berdiri di semua partai politik memang menimbulkan pro dan kontra. Sikap setuju dan tidak setuju dilandasi dengan berbagai sudut pandang. Terlepas dari polemik yang muncul akibat pilihan NU tersebut, sebagai entitas kelompok masyarakat sipil, pilihan politik tersebut tentu akan memberi dampak.

 

NU yang memiliki anggota yang tidak sedikit tersebar di sejumlah partai politik dan kelompok masyarakat lainnya. Realitas itulah yang menjadikan NU secara alamiah memiliki jejaring politik di sejumlah partai politik di Indonesia, baik di pusat hingga di daerah.

 

Kader-kader NU, baik kultural maupun struktural, menduduki pos-pos jabatan publik. Baik jabatan di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Secara atributif-normatif, terbentuk jejaring pembuat kebijakan publik (policy maker) yang berasal dari NU.

Namun pertanyaannya, sejauh mana jejaring kader NU yang tersebar di banyak partai politik termasuk cabang kekuasaan negara tersebut mampu mengonsolidasikan diri dalam perumusan agenda NU dalam bentuk kebijakan publik?

 

Pertanyaan tersebut tentu membutuhkan pembuktian di lapangan. Karena dalam praktiknya tidaklah sederhana. Pengambilan kebijakan publik tidak selalu berjalan linier. Ada keterkaitan kepentingan para pembentuk undang-undang (law maker) yang berasal dari partai politik (DPR) maupun pemerintah.

 

Dalam kenyataannya, kader NU yang menjadi bagian dari pembentuk undang-undang (UU) tersebut memiliki peran yang beragam mulai pimpinan partai hingga anggota biasa partai. Otoritas politik tersebut tentu memberi pengaruh atas posisi dan perannya masing-masing.

 

Contoh ideal yang dapat dihadirkan dalam penyusunan undang-undang yang beririsan langsung dengan NU yakni UU No 18 tahun 2019 tentang Pesantren. Proses pembentukan aturan yang berhubungan secara langsung dengan pemangku kepentingan di NU ini berjalan cukup baik.

 

Meski dalam praktiknya, tahapan penyusunan beleid ini, mulai perencanaan (inisiatif), pembahasan hingga sosialisasi, lebih banyak dilakukan oleh partai politik yang memiliki hubungan kesejarahan dengan NU, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Bahkan di titik yang lain, kedua partai tersebut tampak menampilkan sisi kompetisi di panggung publik.

 

Adapun di isu lainnya, khususnya dalam penyusunan UU yang banyak mendapat perhatian publik seperti UU Cipta Kerja, partai politik yang menautkan diri dengan NU maupun kader NU yang tersebar di sejumlah partai politik tak menunjukkan sikap yang selaras dengan pendapat PBNU.

 

PBNU, periode lalu, dalam persoalan UU Cipta Kerja memiliki sikap tegas menolak keberadaan UU ini yang dinilai mengabaikan aspirasi yang muncul dari publik. NU juga mengkritisi sejumlah substansi yang muncul dalam UU yang belakangan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) itu dinilai dalam proses pembentukannya melanggar undang-undang (UU).

 

Dua contoh penyusunan UU ini pada akhirnya memberikan pemahaman soal betapa cairnya hubungan NU dengan kader NU yang berada di pos jabatan publik. Jejaring kader NU yang tersebar di sejumlah partai politik, baik partai politik yang memiliki kesejarahan dengan NU maupun yang tidak, belum terkonsolidasikan dengan baik.

 

Hubungan on-off antara gagasan dan sikap NU dengan partai politik di parlemen, baik yang menautkan diri dengan NU maupun yang tidak, menunjukkan belum optimalnya NU dalam merajut jejaring aktor politik yang berlatarbelakang aktivis NU. Di titik ini, pilihan politik NU yang berada di atas semua kepentingan partai politik menyisakan tantangan.

 

Tantangan NU

Sikap politik NU di bawah kepemimpinan KH Miftachul Akhyar – KH Yahya Staquf ini memiliki tantangan tersendiri untuk mengaktifkan jejaring politisi NU yang tersebar di sejumlah partai politik.

 

Masuknya sejumlah kader partai politik dalam kepengurusan PBNU lima tahun ke depan ini memiliki dua kemungkinan sekaligus khususnya terkait dengan realisasi gagasan NU dalam bentuk kebijakan publik.

 

Pertama, keterlibatan sejumlah kader lintas partai politik dalam kepengurusan NU dapat semakin memudahkan dalam mengeksekusi gagasan publik NU yang diwujudkan dalam bentuk kebijakan publik (baik di eksekutif maupun legislatif).

 

Kedua, keterlibatan kader lintas partai politik dalam kepengurusan NU tak banyak memberi manfaat yang berarti dalam konteks realisasi gagasan NU melalui kebijakan publik kecuali hanya dalam rangka simbol koreksi relasi NU dengan partai politik selama dua periode kepengurusan NU era sebelumnya.

 

Pilihan ideal di antara dua kemungkinan tersebut tentu terletak di poin pertama. Pilihannya, pengurus PBNU memiliki tantangan untuk mengaktivasi jejaring politisi NU lintas partai politik. Konsolidasi jejaring politisi NU harus dilakukan dalam rangka realisasi gagasan publik NU yang dituangkan melalui bentuk kebijakan publik.

 

Sejumlah rekomendasi Muktamar ke-34 NU yang berdimensi kebijakan publik seperti keberadaan RUU Perubahan Iklim, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, RUU Ibu dan Anak, perubahan UU No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, dan Perubahan UU Pengelolaan Zakat dibutuhkan inisiatif aktif dari jejaring politisi NU.

 

Atribusi sebagai kader NU yang kerap disematkan oleh para politisi, saatnya dibuktikan melalui peran mereka sebagai penyelenggara negara yang tersebar di sejumlah cabang kekuasaan. Sederhananya, kader NU yang menjadi anggota DPR harus membuktikan dengan mengawal agenda ke-NU-an di ranah perumusan kebijakan publik. Jika itu terjadi, tentu sikap politik inklusif NU ini akan memberi dampak konkret atas arah politik hukum nasional kita.

 

 Ferdian Andi, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)/Pengajar HTN di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta