Sirah Nabawiyah

Respons Masyarakat Arab Setelah Rasulullah Pulang Isra’ Mi’raj

Kam, 11 Maret 2021 | 14:45 WIB

Respons Masyarakat Arab Setelah Rasulullah Pulang Isra’ Mi’raj

Ilustrasi Isra' Mi'raj Nabi Muhammad saw. (Foto: NU Online)

Perjalanan Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa yang ‘sulit dinalar logika’. Bagaima mungkin, perjalanan sejauh itu hanya dtiempu dalam satu malam. Perjalanan dari Masjidil Haram menuju Baitul Maqdis, dan dari Baitul Maqdis menuju langit dunia sampai akhirnya Nabi Muhammad saw bertemu dengan Rabb-nya langsung, tanpa ada penghalang (hijab).


Rasulullah menyadari kejadian yang dialaminya itu di luar nalar. Oleh karena itu beliau sudah berprasangka dan cemas terlebih dahulu, “Jangan-jangan umatku tidak akan mempercayai semua ini?” pikir Rasulullah.


Tapi, bagaimana pun ini adalah kebenaran dan ini nyata. Beliau mengalami sendiri semua yang beliau rasakan pada perjalanan satu malam itu. Sebagai sebuah kebenaran, harus beliau sampaikan.


Bukankah salah sifat wajib nabi adalah shiddiq (jujur) dan amanah (dapat dipercaya)? Beliau tetap harus menyampaikan kisah ini apa adanya; tidak ditambah-tambahi ataupun dikurangi.


Peristiwa Isra’ Mi’raj ini merupakan ujian bagi umat Islam saat itu. Mereka yang tulus keimanannya, semakin bertambah iman. Sementara mereka yang imannya masih lemah, tidak sedikit yang menyatakan kufur.


Berkenaan dengan hal ini, Syekh Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M.) menuturkan,


أنه عليه الصلاة والسلام لما ذكر لهم قصة الإسراء كذبوه وكفر به كثير ممن كان آمن به وازداد المخلصون إيماناً فلهذا السبب كان امتحاناً.


“Ketika Rasulullah saw menceritakan kisah Isra’ Mi’raj pada kaumnya, banyak yang tidak percaya. Mereka yang semula beriman, banyak yang menjadi kufur. Sementara mereka yang tulus, semkain tambah keimanannya. Inilah mengapa disebut cobaan.” (Mafatih al-Ghaib, juz 20, hlm. 238).


Berikut penulis jelaskan detik-detik Rasulullah saw menyampaikan kebenaran ini kepada kaumnya. Sebagaimana dituliskan oleh Syekh Abi al-Faraj Nuruddin ‘Ali Burhan dalam as-Sirah al-Halbiyah (juz 1, hlm. 1-3), Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki dalam al-Anwar al-Ilahiyyah fi Isra’i wal Mi’raji Khairil Bariyyah (hlm. 79) dan beberapa kitab terkait lainnya.


Perjalanan Isra’ Mir’aj telah usai. Rasulullah saw turun ke langit dunia dan sampai di Makkah menjelang waktu subuh. Beliau memasuki masjid. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal dalam diri Rasulullah. Jangan-jangan umatnya tidak akan mempercayainya? pikir beliau cemas.


Sampai Rasulullah bersedih. Lalu beliau duduk. Tiba-tiba Abu Jahal lewat dan menghampiri beliau. Abu Jahal duduk di samping Rasulullah. Dengan nada seperti mengejek, Abu Jahal bertanya, “Apakah ada berita yang ajaib, Muhammad?!”


“Iya,” Jawab Rasulullah.


“Apa itu,” tanya Abu Jahal penasaran.


“Aku telah di-isra’kan tadi malam,” jawab Rasulullah.


“Ke mana?” tanya Abu Jahal.


“Ke Baitul Maqdis,” jawab Rasulullah.


“Loh kok, sepagi ini sudah berada di sini?” tanya Abu Jahal semakin penasaran. Bagaimana mungkin perjalanan sejauh itu ditempuh hanya dalam satu malam.


“’Iya,” jawab Rasulullah.


Abu Jahal tidak mengingkari apa yang diucapkan Rasulullah. Jika begitu, ia khawatir Rasulullah akan berpaling. Justru ini kesempatan baginya untuk mempermalukan Rasulullah di depan umatnya.


“Kalau Muhammad menceritakan kisah tidak masuk akal ini pada umatnya, pasti banyak yang tidak percaya,” pikir Abu Jahal. Musuh Allah itu mulai menyiapkan rencana busuk.


“Wahai Muhammad! Bagaimana menurutmu, jika aku undang kaummu saja? Apakah kamu berkenan untuk menceritakan pada mereka tentang apa yang kau ceritakan padaku tadi?” Tawar Abu Jahal.


“Ya, saya mau,” jawab Rasulullah.


Tanpa pikir panjang. Abu Jahal pun melancarkan rencana busuknya itu. Dengan demikian, umat Muhammad tidak akan mempercayainya, pikir Abu Jahal.


“Wahai kaum keturunan Bani Ba’ab bin Lu’ayy! Datanglah kalian semua kemari!” seru Abu Jahal.


Singkat cerita, orang-orang berdatangan mendengar seruan Abu Jahal tadi. Mereka sudah berada di depan Rasulullah dan Abu Jahal duduk. “Wahai Muhammad! Ceritakan pada kaummu, apa yang baru saja kau ceritakan padaku,” desak Abu Jahal.


Rasulullah pun mulai bercerita, “Sesungguhnya tadi malam saya telah di-isra’kan.”


“Ke mana?” orang-orang penasaran.


“Ke Baitul Maqdis.”


“Lalu, sepagi ini engkau sudah berada di tengah-tengah kami?”


“Iya, benar.”


Mendengar keganjilan itu, orang-orang mulai gaduh. Ada yang bertepuk tangan, ada pula yang meletakkan tangan di kepala sebagai ekspresi rasa kagum. Begitulah cara orang Arab mengekspresikan kekagumannya. Tampaknya rencana Abu Jahal mulai berhasil. Sebentar lagi kaumnya tidak mempercayainya lagi.


Salah seorang dari mereka yang bernama Muth’im bin ‘Adi berkata, “Wahai Muhammad! Sebelum ini, semua ceritamu biasa-biasa saja. Tapi sekarang tidak lagi,” ungkap Muth’im mengungkapkan keraguannya. (Muth’im adalah salah satu orang kafir saat itu).


“Saya bersaksi, bahwa sesungguhnya kamu itu bohong dan memang dasar pembohong. Kami saja pergi ke Baitul Maqdis dengan mengendarai unta butuh waktu satu bulan baru sampai. Apa mungkin kamu bisa sampai Baitul Maqdis hanya dalam satu malam?! Demi Latta dan Uzza, kami tidak mempercayainya!” lanjut Muth’im berusaha memprovokasi masyarakat.


Melihat sikap Muth’im, Sayidina Abu Bakar berkata, “Hai Muth’im! Sungguh hina ucapanmu kepada putra saudaramu sendiri. Kamu telah mempermalukan dan mendustakan keponakanmu sendiri!” tegas Abu Bakar.


“Sementara itu, saya bersaksi bahwa Rasulullah adalah orang yang jujur,” tutur Abu Bakar melanjutkan.


Singkat cerita, orang-orang meminta bukti atas ucapan Nabi Muhammad saw. Mereka meminta Rasulullah untuk menceritakan bentuk detail Baitul Baqdis.


Rasulullah menuruti permintaan kaumnya dan menjelaskan dengan detail bentuk Baitul Maqdis seperti apa; arsitekturnya, jaraknya dari gunung, dan hal-hal lainnya. Hanya satu yang tidak bisa beliau jelaskan, berapa jumlah pintu Baitul Maqdis. Namun, atas kuasa Allah, Nabi Muhammad diperlihatkan gambar Baitul Maqdis di rumah ‘Aqil bin Abi Thalib. Rasulullah pun bisa menyebutkan jumlah pintu itu.


Setelah penjelasan Rasulullah itu, tiba-tiba Abu Bakar berkata, “Benar engkau ya Rasulullah! Engkau memang benar! Saya bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”


“Wahai Muhammad, ceritakan tentang rombongan unta kami!” lanjut orang-orang.


Rasulullah pun menjelaskan soal rombongan unta Bani Fulan yang beliau jumpai saat Isra’ di daerah Rukha’ yang sempat kehilangan untanya. Beliau juga jelaskan semangkuk air milik mereka yang beliau minum. Beliau jelaskan unta-unta Bani Fulan itu; unta merah yang bermuatan karung hitam dan putih, unta terdepan berwarna kelabu dengan garis hitam. Rasulullah jelaskan pula bahwa rombongan unta itu tiba pada hari Rabu.


Orang-orang Quraisy kagum dengan apa yang baru saja Rasulullah ceritakan. Tidak ada yang meleset sedikit pun. Meski begitu, tidak kemudian mereka menyatakan beriman. Bahkan mereka yang kufur semakin kufur, tidak percaya. Peristiwa ini juga menjadi ujian keimanan bagi orang muslim; mereka yang tulus beriman, semakin bertambah keimanannya. Sementara mereka yang masih lemah iman, tidak sedikit menjadi kufur. (Mafatih al-Ghaib, juz 20, hlm. 238).


Muhammad Abror, Mahasantri Ma'had Aly Sa'idusshiddiqiyah Jakarta, Alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon