Syariah

Ponsel Mendadak Berdering ketika Shalat, Bagaimana Sebaiknya?

Sab, 19 Januari 2019 | 11:00 WIB

Ponsel Mendadak Berdering ketika Shalat, Bagaimana Sebaiknya?

Ilustrasi (via usatoday.com)

Saat ini dunia tidak bisa dilepaskan dari smartphone. Pengguna ponsel pintar tidak terbatas usia dan strata sosial. Hampir semua orang memiliki, bahkan nyaris selalu membawanya, termasuk saat melaksanakan shalat. Karena lupa menonaktifkan sinyal atau mode deringnya, saat tengah-tengah shalat HP kadang mendadak berbunyi. Pertanyaan adalah, bagaimana sikap yang tepat saat di tengah-tengah shalat HP berbunyi? Apakah boleh membatalkannya?

HP berdering di pertengahan shalat tidak lepas dari dua kasus. Pertama, dalam kondisi shalat sendirian, misalkan di rumah. Kedua, dalam kondisi shalat berjamaah.

Baik saat shalat sendirian atau berjamaah, hukum membatalkan shalat karena handphone berdering pada dasarnya tidak diperbolehkan. Kecuali bila dering handphone dapat mengganggu orang tidur atau jamaah lain dalam taraf yang diharamkan. Mengganggu yang diharamkan adalah gangguan yang sampai taraf melampaui kewajaran (la yuhtamalu ‘adatan). Sedangkan gangguan yang ringan, semisal karena volume dering HP tidak terlalu keras, bukan termasuk mengganggu yang diharamkan, namun hukumnya hanya makruh.

Demikian pula termasuk kondisi yang dibolehkan memutus shalat saat HP berdering, bila shalat dilakukan di masjid dan nada dering HP adalah lagu-lagu yang tidak etis, semisal lagu yang liriknya mesum. Bunyi nada dering HP tersebut diharamkan karena termasuk merusak kehormatan masjid.

Dalam kondisi boleh membatalkan shalat karena menimbulkan unsur keharaman sebagaimana dijelaskan di atas, diperbolehkan bagi orang yang shalat membatalkan shalatnya apabila tidak memungkinkan mematikan HP tanpa memutus shalatnya. Bila masih memungkinkan, maka wajib mematikan dering HP dan tetap melanjutkan shalat.

Sebagian ulama memperbolehkan memutus shalat bila terdapat insiden di tengah shalat yang dapat menghilangkan kekhusyukan. Berpijak dari pendapat ini, diperbolehkan bagi mushalli (pelaku shalat) yang ponselnya berdering di pertengahan shalat, membatalkan shalatnya bila hal tersebut dapat menghilangkan konsentrasinya. Biasanya orang yang hp nya berdering saat shalat, konsentrasinya bubar dan bingung. Pendapat ini bisa menjadi solusi dalam situasi tertentu.

Penjelasan di atas merujuk kepada beberapa referensi berikut ini:

ومنها (قطع الفرض) أداء كان أوقضاء ولو موسعا وصلاة كان أو غيرها كحج وصوم واعتكاف بأن يفعل ما ينافيه لأنه يجب إتمامه بالشروع فيه لقوله تعالى ولا تبطلوا أعمالكم ومن المنافي أن ينوي قطع الصلاة التي هو فيها ولو إلى صلاة مثلها 

“Di antara makshiat badan adalah memutus ibadah fardlu, baik ada’ atau qadla’, meski ibadah yang dilapangkan waktunya, baik ibadah shalat atau lainnya seperti haji, puasa dan i’tikaf. Memutus ibadah fardlu maksudnya dengan sekira melakukan perkara yang merusaknya, sebab ibadah fardlu wajib disempurnakan ketika sudah berlangsung pelaksanaannya, berdasarkan firman Allah Swt, dan janganlah kalian membatalkan amal-amal kalian. Termasuk perkara yang merusak shalat adalah niat memutus shalat yang tengah dilakukan, meski berpindah niatnya menuju shalat yang lain.” (Syekh Muhammad bin Salim bin Sa’id Babashil, Is’ad al-Rafiq, hal.  121).

Syekh Ibnu Qasim al-Ubbadi menegaskan, seseorang yang memakai pakaian hasil ghasab (curian), wajib bagi dia untuk melepasnya di tengah-tengah shalat. Bila tidak memungkinkan kecuali dengan membatalkan shalat, maka wajib membatalkan shalat. Dalam titik ini, dering HP di tengah shalat yang menimbulkan keharaman sebagaimana di atas dianalogikan dengan kasus memakai pakaian hasil ghasab sebagaimana dijelaskan Syekh Ibnu Qasim al-Ubbadi, dengan titik temu berupa timbulya keharaman yang wajib dijauhi saat shalat. Syekh Ibnu Qasim al-Ubbadi menegaskan:

ولو أحرم في ثوب مغصوب فإن لم يتمكن من غيره وجب نزعه والاستمرار في الصلاة ، وإن تمكن منه ومن نزع المغصوب ولبس غيره بلا زمن تبدو فيه العورة وجب وإلا فيحتمل وجوب النزع وقطع الصلاة فليحرر

“Bila seseorang takbiratul ihram dengan memakai pakaian ghasaban, bila tidak mungkin memakai pakaian lain (yang halal), maka wajib melepasnya dan melanjutkan shalat. Bila memiliki pakaian lain (yang halal) dan mungkin memutus pakaian ghasaban, dengan tanpa melewati masa yang di dalamnya tampak auratnya, maka wajib melepas pakaian ghasaban tersebut (dan memakai pakaian yang halal). Bila tidak memungkinkan demikian, maka terdapat kecenderungan wajib melepasnya dan memutus shalat. Maka telitilah kembali.” (Syekh Ibnu Qasim al-‘Ubbadi, Hasyiyah Ibni Qasim ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, juz 3, hal. 18-19).

Berkaitan dengan keharaman mengganggu orang lain yang diharamkan, Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:

ـ (ويحرم) على كل أحد (الجهر) في الصلاة وخارجها (إن شوش على غيره) من نحو مصل أو قارئ أو نائم للضرر ويرجع لقول المتشوش ولو فاسقا لأنه لا يعرف إلا منه وما ذكره من الحرمة ظاهر لكنه ينافيه كلام المجموع وغيره فإنه كالصريح في عدمها إلا أن يجمع بحمله على ما إذا خف التشويش 

“Haram bagi siapapun mengeraskan suara di dalam dan di luar shalat, bila hal tersebut dapat mengganggu orang lain, baik orang shalat, pembaca al-Qur’an atau orang tidur, karena menimbulkan mudarat. Mengganggu tidaknya dikembalikan kepada orang yang terganggu meski fasiq, karena hal tersebut tidak bisa diketahui kecuali darinya. Pendapat yang dijelaskan mushannif berupa keharaman mengganggu adalah jelas, namun bertentangan dengan statemen kitab al-Majmu’ dan lainnya. Sesungguhnya dalam kitab tersebut seakan menegaskan ketiadan hukum haram. Kecuali pendapat dalam kitab al-Majmu’ tersebut diarahkan pada mengganggu yang ringan.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim, juz 2, hal. 396-397).

Mengomentari referensi di atas, Syekh Mahfuzh al-Tarmasi menegaskan:

ـ (قوله على ما إذا خف التشويش) أي وما ذكره المصنف من الحرمة على إذا اشتد وعبارة الإيعاب ينبغي حمل قول المجموع وإن آذى جاره على إيذاء خفيف يتسامح به بخلاف جهر يعطله عن القراءة بالكلية انتهى

“Ucapan Syekh Ibnu Hajar, diarahkan pada mengganggu yang ringan, maksudnya, keterangan yang disebutkan mushannif (Syekh Ibnu Hajar) berupa keharaman mengganggu diarahkan kepada gangguan yang berat. Redaksi kitab al-I’ab menegaskan, seyogyannya statemen kitab al-Majmu’, (makruh) meski menyakiti tetangganya, diarahkan kepada menyakiti dalam taraf ringan yang ditolerir secara umum, berbeda dengan mengeraskan bacaan yang dapat menghambat bacaan jamaah lain secara total.” (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Mauhibatu Dzi al-Fadli ‘Ala al-Minhaj al-Qawim, juz 2, hal. 396-397)

Nada dering yang sampai menghina kehormatan masjid dianalogikan dengan keharaman berjoged di masjid, sebagaimana keterangan referensi berikut ini:

وقال في تسهيل المقاصد " يحرم الرقص في المسجد مع الضرب بالكف وكذا مع عدم الضرب بالكف لما فيه من المفاسد كامتهانه وانتهاك حرمته وتقطيع حصره وحصول الأوساخ فيه واجتماع الصبيان وأهل البطالة 

“Berkata dalam kitab Tashil al-Maqashid, haram berjoged di masjid disertai tepuk tangan. Demikian pula haram tanpa bertepuk tangan, karena terdapat beberapa mafsadah, seperti menghina masjid, merusak kehormatannya, merusak tikarnya, mengotorinya, mengundang berkumpulnya anak-anak kecil dan para pengangguran.” (Muhammad bin ‘Abd al-Rahman al-Ahdal, ‘Umdah al-Mufti wa al-Mustafti, juz 1, hal. 81).

Pendapat sebagian ulama yang membolehkan membatalkan shalat ketika terjadi perkara yang mengakibatkan hilangnya kekhusyukan, dijelaskan oleh Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya sebagai berikut:

ـ (والصلاة حاقنا) بالنون أي بالبول (أو حاقبا) بالباء أي بالغائط أو حاذقا أي بالريح للخبر الآتي ولأنه يخل بالخشوع بل قال جمع إن ذهب به بطلت الى أن قال وجوز بعضهم قطعه لمجرد فوت الخشوع به وفيه نظر 

“Dan makruh shalat menahan kencing dan buang air besar atau menahan kentut, karena hadits yang telah lewat dan dapat merusak kekhusyukan, bahkan sekelompok ulama berpendapat, bila hilang kekhusyukan, maka batal shalatnya.  Sebagian ulama membolehkan memutus halat karena hilangnya kekhusyukan, dan pendapat ini perlu dikaji ulang. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, Juz 1, hal.  238)

Demikianlah penjelasan mengenai sikap yang tepat ketika hp berdering di pertengahan shalat dan hukum membatalkannya. Seyogianya, sebelum shalat dimulai, gadget dipastikan nonaktif atau minimal dibuat mode diam, sehingga tidak terjadi hal-hal yang diinginkan saat shalat berlangsung. Demikian, semoga bermanfaat. 

(Ustadz M. Mubasysyarum Bih)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua