Risalah Redaksi

Wakaf, Potensi Besar Pendanaan Umat yang Masih Terabaikan

Ahad, 17 November 2019 | 07:30 WIB

Wakaf, Potensi Besar Pendanaan Umat yang Masih Terabaikan

Akumulasi secara terus-menerus aset tetapnya dalam jangka panjang akan menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang luar biasa. (Ilustrasi: NU Online/Mahbib)

Terdapat sekitar 420 ribu hektar tanah wakaf yang ada di Indonesia berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Luas tanah tersebut ternyata lima kali luar Singapura yang hanya 72.150 hektar. Sayangnya, potensi yang sangat besar tersebut masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan lahan wakaf sebagian besar masih untuk kepentingan sosial seperti masjid, madrasah, dan makam. Wakaf produktif yang mampu menyejahterakan umat, belum menjadi mendapatkan perhatian yang memadai. 

Banyak persoalan yang menyebabkan pengelolaan aset wakaf belum maksimal. Status hukum atas tanah-tanah wakaf menguras energi lembaga wakaf, terutama yang sudah berdiri lama di bawah ormas Islam. Pada zaman dahulu, masyarakat menyatakan ikrar wakaf hanya dengan ucapan lisan saja kepada tokoh agama yang dipercayainya. Adanya orang-orang tidak bertanggung jawab yang kemudian mengklaim tanah tersebut menjadi miliknya akhirnya menjadi masalah. Hal-hal tersebut mengakibatkan adanya konflik yang penyelesaiannya membutuhkan waktu lama. Akhirnya, energi yang ada tercurahkan untuk mengurusi hal-hal tersebut sehingga upaya memproduktifkan aset menjadi kurang prioritas. Menurut laporan BWI pada 2017, baru 62 persen tanah yang memiliki sertifikat wakaf. 

Visi pengelolaan juga mempengaruhi nilai kemanfaatan dari tanah wakaf tersebut. Pada masa lalu, pemahaman dalam pengelolaan harta wakaf hanya untuk seputar kepentingan sosial keagamaan, seperti pendirian masjid, madrasah atau untuk pemakaman. Pengelola wakaf merupakan tokoh agama yang orientasi pemikirannya juga sekadar memanfaatkan aset wakaf tersebut untuk kepentingan kegiatan keagamaan. 

Seiring dengan berkembangnya wacana baru, yaitu wakaf produktif, mulai muncul sejumlah inovasi. Harta wakaf dikelola oleh lembaga tersendiri dengan tata kelola yang baik, aset wakaf bukan sekadar tanah, tetapi meliputi wakaf tunai, wakaf saham, atau yang lainnya. Kampanye mengajak orang berwakaf pun melalui berbagai saluran, dari yang konvensional di berbagai majelis sampai dengan pemanfaatan media sosial dan aplikasi. Pendirian Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai amanat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf telah mendorong percepatan pengelolaan wakaf yang lebih baik di Indonesia.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Kementerian Agama telah menjadikan sertifikasi tanah wakaf sebagai prioritas. Hal ini untuk menghindari konflik atas tanah wakaf di masyarakat. Keuntungan lainnya, tanah wafat tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan. 

Lembaga wakaf baru yang kini bermunculan sebagian merupakan pengembangan dari lembaga ZIS yang sukses dalam menggalang dana ZIS. Belajar dari situ, mereka kemudian memperlebar aspek penggalangan dana umat melalui wakaf yang selama ini belum tersentuh. Mereka tidak sekadar menunggu masyarakat untuk mewakafkan asetnya, tetapi melakukan berbagai sosialisasi dan kampanye yang memikat. 

Lembaga-lembaga wakaf tersebut bukan hanya memunculkan inovasi baru dalam mengajak masyarakat untuk berwakaf, tetapi juga kreatif dalam mengelola harta wakaf. Aset yang dikelola tidak hanya sekadar menjadi bangunan untuk ibadah, tetapi juga dimanfaatkan untuk aset produktif. Di lokasi-lokasi strategis yang mereka kelola, tanahnya didirikan bangunan yang disewakan untuk bisnis yang menghasilkan banyak pendapatan. Tata kelola yang transparan dan akuntabel menjadikan mereka dipercaya masyarakat. 
 
Situasi seperti ini tentu bagus untuk mendorong wakaf bergerak lebih maju dalam mengembangkan aset wakaf. Keberhasilan inovasi yang dilakukan oleh lembaga wakaf tertentu dapat dicontoh oleh yang lain. Lembaga pengelola wakaf yang konvensional, lama-lama akan ditinggalkan oleh masyarakat. Para pengelolanya, mau tidak mau harus melakukan inovasi baru agar bisa bertahan atau berkembang. Pilihannya berubah atau tertinggal. Dengan demikian, pengelolaan wakaf secara keseluruhan akan berkembang. 

Pola seperti ini telah terbukti dalam pengelolaan zakat. Pada zaman dahulu, zakat dikelola oleh para tokoh agama setempat atau kepanitiaan sementara saat menjelang Idul Fitri. Zakat maal, juga dipercayakan kepada tokoh agama. Umat sepenuhnya percaya mereka dalam pendistribusiannya. Setelah itu muncul lembaga zakat yang mengembangkan tata kelola yang lebih baik, yang tidak sekadar menerima zakat dari masyarakat, tetapi juga secara gencar mengajak masyarakat berzakat. Bahkan membuat zakat produktif, yaitu tidak sekadar membagikan dana zakat dari muzakki untuk mustahik, tapi bagaimana membuat agar para mustahik dapat menjadi muzakki di masa depan. 

Melihat besarnya potensi zakat, maka selanjutnya bermuncullah lembaga-lembaga zakat baru. Masing-masing berusaha mendapatkan kepercayaan masyarakat. Untuk itu, mereka berupaya bekerja dengan baik dan profesional karena kalau tidak, akan tertinggal dengan lembaga yang lain. Kompetisi untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat inilah yang kemudian menghasilkan cara-cara inovatif dan program yang kreatif. 
 
Pola seperti ini yang akan tampaknya akan berkembang dalam pengelolaan wakaf. Lembaga-lembaga wakaf baru tumbuh di masyarakat. Masing-masing dari mereka akan berusaha menjadi yang paling inovatif, paling kreatif, atau paling profesional dalam mengelola aset wakaf. Keseluruhan pemangku kepentingan wakaf akan mendapatkan manfaat dalam proses seperti ini.

Aset wakaf sesungguhnya punya potensi yang sangat besar karena konsepnya dikembangkan dalam jangka panjang. Yang boleh dimanfaatkan hanya hasilnya saja sementara aset asalnya harus tetap dipertahankan. Akumulasi secara terus-menerus aset tetapnya dalam jangka panjang akan menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang luar biasa. Untuk itu, tidak cukup mengandalkan para tokoh agama yang kompetensinya mengajar dalam bidang agama.
 
Idealnya, mereka mengelola aset wakaf adalah orang yang memiliki kompetensi agama yang mumpuni sekaligus kapasitas manajerial atau kewirausahaan yang mantap. Tetapi tak mudah menemukan dua kombinasi seperti itu. Jika tidak ada, maka biarkan para pengelola aset wakaf orang-orang yang memiliki kemampuan dalam bidang pengembangan usaha. Tokoh agama, mengawasi pengelolaan dan pendistribusian hasil wakafnya sesuai dengan ketentuan syariat. Saatnya kita mengembangkan potensi luar biasa ini. (Achmad Mukafi Niam)