Risalah Redaksi

Perkawinan dan Strategi Memutus Rantai Kemiskinan

Ahad, 9 Agustus 2020 | 09:30 WIB

Perkawinan dan Strategi Memutus Rantai Kemiskinan

Cara memutus lingkaran kemiskinan adalah dengan menghilangkan hambatan kelompok miskin mendapatkan akses perbaikan nasib.

Perkawinan antarorang miskin akan melahirkan kemiskinan baru. Pernyataan ini ada benarnya karena keterbatasan sumber daya menyebabkan orang miskin tidak bisa keluar dari perangkap kemiskinan. Keluarga miskin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anaknya supaya tumbuh sehat dan cerdas. Keluarga miskin kesulitan memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya supaya mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan guna memperoleh pekerjaan yang memberikan pendapatan yang baik. Keluarga miskin tidak memiliki jejaring sosial yang dibutuhkan untuk memperoleh akses yang membantu masa depan anak-anaknya. Keluarga miskin juga kesulitan mengakses modal yang dibutuhkan untuk mengembangkan usaha. 


Situasi ini merupakan lingkaran setan yang terus berulang dari generasi ke generasi. Pertanyaannya adalah bagaimana memutus rantai kemiskinan tersebut. Salah satu solusi yang diusulkan adalah dengan meminta keluarga kaya menikah dengan orang miskin. Namun, implementasinya tak semudah dari mengusulkan. Bisa-bisa dibilang menikah karena harta. Dan ini problem sosial tersendiri. Cinta merupakan suatu yang kompleks yang melibatkan emosi. Dari zaman baheula hingga kini, tema percintaan tak lekang ditulis dan dibahas, dari mulai puisi, lagi, film, novel dan beragam karya kreatif lainnya yang sebagian besar mengaduk-aduk emosi. Semuanya mengisahkan kompleksitas cinta yang kadang berakhir dengan tragedi. 


Solusi mengatasi kemiskinan harus dimulai dengan melihat dari akar persoalan kemiskinan. Terdapat dua penyebab terjadinya kemiskinan. Pertama karena kemalasan. Alasan ini yang paling banyak diungkapkan sebagai alasan kenapa seseorang menjadi miskin. Malas bekerja, malas belajar atau kemalasan lainnya yang ujung-ujungnya menyebabkan seseorang menjadi miskin. Namun etos kerja sesungguhnya bisa dibentuk.


Faktor kedua adalah karena kebijakan struktural yang menyebabkan akses hanya dimiliki oleh kelompok tertentu. Ini penyebab utama kemiskinan yang dialami oleh jutaan rakyat di Indonesia maupun di belahan dunia lain. Contoh yang paling mudah adalah, ketika biaya sekolah mahal, maka pendidikan berkualitas hanya bisa diakses oleh anak-anak dari keluarga yang berkecukupan. Akhirnya pekerjaan-pekerjaan tertentu yang memberi penghasilan tinggi tetapi membutuhkan keterampilan tinggi, hanya bisa diakses oleh keluarga kaya. Keluarga miskin, yang anaknya tidak bisa bersekolah, akhirnya tetap miskin.  


Faktor penghambat lain, seperti akses permodalan juga menjadi kendala akselerasi perubahan nasib orang miskin menjadi sejahtera. Orang miskin sulit mendapatkan kredit karena mereka tidak memiliki jaminan atau tidak dipercaya oleh kreditor. Jika pun harus meminjam, mereka hanya bisa mengakses renternir yang menarik bunga pinjaman sangat tinggi. 


Pinjaman berbunga murah hanya dinikmati oleh para pemilik bank yang menggunakan dana-dana simpanan masyarakat untuk memperbesar usahanya.  Sekalipun ada batasan maksimal kredit bagi pemegang saham pengendali, tapi karena sesama orang kaya pemilik bank saling berteman, mereka saling memberi pinjaman dari bank yang dikelolanya tanpa perlu melanggar undang-undang. Urutan selanjutnya penerima kredit adalah orang-orang kaya yang memiliki jaminan. Orang miskin hanya jadi pekerja di perusahaan orang kaya yang dibayar dengan upah rendah. Mereka bekerja supaya orang kaya menjadi semakin kaya sementara nasibnya sendiri tak berubah. Pameo yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin berlaku dalam konteks seperti ini. 


Selanjutnya adalah faktor kepatuhan pajak. Salah satu fungsi pajak adalah untuk redistribusi kekayaan dari orang kaya kepada orang miskin melalui menyediakan fasilitas publik seperti pendidikan dan kesehatan serta infrastruktur yang dibiayai dari uang pajak. Namun, sulitnya menarik pajak dari orang-orang kaya menyebabkan uang pajak yang berhasil dikumpulkan pemerintah kurang maksimal. Akibatnya, negara tidak memiliki dana yang cukup untuk membantu kelompok miskin keluar dari jurang kemiskinan. 


Ketimpangan ini ditunjukkan oleh rasio gini yang menggambarkan distribusi pendapatan sebuah bangsa. Jika kita menengok ke sejarah perjalanan bangsa Indonesia, maka terjadi peningkatan kesenjangan. Ketimpangan pemilikan aset juga nyata terlihat yang mana segelintir konglomerat menguasai jutaan lahan sementara rakyat biasa kebingungan untuk memiliki rumah dengan luas tanah 72 meter persegi saja. 


Cara memutus lingkaran kemiskinan adalah dengan menghilangkan hambatan kelompok miskin mendapatkan akses perbaikan nasib. Cara paling mudah untuk melakukan akselerasi adalah melalui pendidikan. Jika pendidikan berkualitas tersedia untuk semua warga negara, maka yang hambatan mendapatkan ketrampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi pekerjaan tertentu yang membutuhkan ketrampilan atau keahlian khusus bisa dilampaui.  


Selanjutnya, akses permodalan dipermudah seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau program kredit lain berbunga rendah yang memungkinkan usaha kecil dan mikro mengakses modal guna meningkatkan usaha mereka. 


Pada hal-hal seperti itu, para pengambil kebijakan negara mengerti dan memahami apa yang sebenarnya harus dilakukan. Namun tidak mudah mengeksekusi dengan baik program-program tersebut karena banyaknya pihak yang berkepentingan. Korupsi menjadi contoh paling nyata yang menggerogoti anggaran negara. Dana-dana program pemerintah yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat jatuh ke segelintir orang.


Demikian pula, menarik pajak dari orang-orang kaya tidaklah mudah. Mereka tidak akan dengan suka rela menyetorkan hartanya ke negara. Berbagai upaya dilakukan, baik dengan mencari kelemahan sistem UU Perpajakan atau melalui cara ilegal. 


Di sinilah dibutuhkan sistem yang baik untuk memastikan bahwa transparansi dan akuntabilitas program pemerintah. Integritas para pegawai dan ketegasan pemimpin menjadi sisi lain dari penyempurna sistem yang baik. Urusan lainnya, seperti siapa menikah dengan siapa, biarlah anak-anak muda menentukan pilihannya sendiri. Jika mereka berdaya, mereka bisa memilih yang terbaik untuk dirinya. (Achmad Mukafi Niam)