Risalah Redaksi

Mewaspadai Penipuan-penipuan dengan Nama Agama

Ahad, 8 Desember 2019 | 07:30 WIB

Mewaspadai Penipuan-penipuan dengan Nama Agama

Agama yang suci dan menyentuh psikologi terdalam manusia kadang dimanfaatkan oknum tertentu untuk meraup keuntungan pribadi atau kelompok.

Pemeluk Islam di Indonesia merupakan orang-orang yang memandang bahwa agama merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan. Ini merupakan hal yang baik karena ajaran agama berusaha diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan. Sayangnya, ada sejumlah oknum yang berusaha memanfaatkan agama untuk kepentingannya dengan melakukan penipuan dalam berbagai bentuk.

Yang paling menghebohkan adalah penipuan travel umrah oleh First Travel dengan jumlah korban sebanyak 63 ribu orang dengan nilai Rp905 miliar. Tak berselang lama kemudian muncul kasus travel umrah Abu Tour yang juga tidak mampu memberangkatkan jamaahnya sehingga dilaporkan kepada aparat yang berwenang. Jumlah korbannnya bahkan mencapai 86 ribu orang dengan total kerugian Rp1,4 triliun. Kejadian tersebut belum berakhir. Pada November 2019, sebanyak 45 jamaah umrah terkatung-katung di Bandara Soekarno Hatta karena tidak diberangkatkan oleh biro travel di mana mereka telah membayar Rp21 juta per orangnya. 

Sejumlah investor juga melaporkan kepada pihak yang berwajib karena PT Kampoeng Kurma tidak menepati janjinya terkait dengan kapling seluas 500 meter persegi seharga Rp99 juta yang di dalamnya ditanam 5 pohon kurma dengan perawatan selama 5 tahun yang disertai imbal hasil besar sesuai dengan prinsip syariah. Tak cukup dengan itu, pembeli diiming-imingi bahwa di kawasan tersebut akan dibangun kompleks bernuansa islami seperti pesantren, masjid, area berkuda, dan memanah.

Selanjutnya, polisi meringkus empat tersangka yang merupakan karyawan PT ARM Cipta Mulia karena diduga melakukan penipuan dalam penjualan perumahan syariah. Iming-iming yang ditawarkan adalah cicilan rendah tanpa riba dan tidak ada pengecekan dari Bank Indonesia. Sebanyak 230 orang menjadi korban dengan total kerugian 23 miliar rupiah.

Penipuan-penipuan ini dilakukan dengan mengeksploitasi simbol-simbol keislaman seperti bahasa, pakaian, tutur kata, atau konsep-konsep yang memang menjadi perhatian bagi umat Islam. Akhirnya masyarakat menjadi percaya. 

Untuk meyakinkan korban, biro travel menggandeng tokoh agama dengan menjadikan mereka tenaga pemasaran. Para jamaah percaya saja karena yang mengajak adalah tokoh yang secara rutin mengajari jamaahnya. Tak tahunya, tokoh tersebut juga menjadi korban, bahkan setiap saat berhadapan dengan jamaah yang menagih kapan diberangkatkan sementara pemilik perusahaan bisa bersembunyi entah di mana serta menyewa pengacara untuk membelanya.  

Tanpa sikap kritis dan berhati-hati saat membeli produk atau jasa terkait dengan ibadah atau yang mengusung konsep syariah, maka potensi terjadinya penipuan akan terus berulang di masa mendatang. Sikap kehati-hatian tersebut salah satunya dengan memperhatikan harga dan kualitas produk atau jasa yang ditawarkan. Jika harga yang ditawarkan terlalu murah, kita perlu kritis mengapa mereka mampu menjual lebih murah dari harga normal. Pada kasus First Travel, harga yang ditawarkan hanya 14 juta per jamaah. Abu Tour mampu meraih minat jamaah karena adanya paket promo umrah seharga 15 juta.  Padahal, harga normal yang dipatok oleh biro travel umrah lainnya sekitar waktu itu sekitar Rp20 juta. 

Pendekatan informal ketika berurusan dengan transaksi yang terkait dengan agama karena dilandasi kepercayaan juga harus dihindari karena adanya risiko masalah di kemudian hari. Sejumlah kasus harta wakaf yang hanya disampaikan secara lisan saja akhirnya menimbulkan masalah hukum akibat tiadanya bukti. Adanya legalitas hukum pada lembaga yang bertransaksi dan kontrak yang jelas akan meminimalisasi kemungkinan adanya penipuan. 

Yang perlu diwaspadai adalah penipuan untuk tujuan yang lebih abstrak seperti agenda politik kekuasaan. Atas nama sentimen agama, maka isu-isu  tertentu digulirkan agar Muslim awam mendukung tindakan tertentu atau memusuhi kelompok lain. Padahal di balik isu agama yang ramai dibicarakan di permukaan, terdapat agenda tersembunyi yang hanya diketahui oleh mereka-mereka yang merancang isu tersebut. 

Penipuan atas produk atau layanan jasa, jelas sekali korban dan kerugian yang ditimbulkannya, tetapi manipulasi agama untuk kepentingan tertentu yang sifatnya abstrak, menjadi sulit untuk membuktikannya. Tetapi efek yang ditimbulkannya bisa lebih dahsyat karena adanya kerusakan dalam masyarakat seperti disintegrasi yang ada dalam masyarakat karena polarisasi akibat perbedaan pendapat yang sengaja dikembangkan untuk kepentingan tertentu. Kesadaran mungkin muncul di belakang hari ketika semuanya sudah terlambat. 

Tentu tidak mudah untuk menilai agenda duniawi yang menggunakan kedok agama karena sifatnya yang abstrak. Menumbuhkan sikap kritis dan terbuka dapat meminimalisasi kemungkinan-kemungkinan manipulasi agama. Terus belajar akan menumbuhkan kepekaan terhadap adanya indikasi  manipulasi tersebut. Tak heran, Islam lebih menghargai orang yang belajar daripada sekadar menghabiskan waktunya untuk beribadah.

Para tokoh agama memiliki kewajiban untuk mengedukasi umat Islam agar tidak terjebak pada simbol-simbol agama yang kemudian digunakan untuk melakukan penipuan. Di sisi lain, aparat keamanan berkewajiban melakukan tindakan hukum agar kejadian tersebut tidak berulang di masa mendatang. Aturan-aturan yang lebih ketat akan mencegah kemungkinan terjadinya penipuan. Industri perbankan merupakan sektor yang paling banyak aturannya karena menyangkut dana milik masyarakat. Pengawasan yang ketat oleh OJK dilakukan untuk mencegah terjadinya penipuan. Untuk menghindari terulangnya kasus penipuan jamaah umrah, beberapa aspek dari industri perbankan ini bisa diterapkan oleh Kementerian Agama sebagai pihak yang mengelola perjalanan haji dan umrah. (Achmad Mukafi Niam)