Risalah Redaksi

Meningkatkan Kepekaan Sosial Aktivis Dakwah Islam

Sab, 23 November 2019 | 13:30 WIB

Meningkatkan Kepekaan Sosial Aktivis Dakwah Islam

Islam pernah berjaya dan memberi kontribusi besar kepada peradaban dunia. Prestasi ini penting diukir kembali.

Berdasarkan data BPS, sebanyak 68 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh satu persen penduduk. Penguasaan ini dilakukan melalui kelompok bisnis yang memiliki hak atas jutaan atau ratusan ribu hektar lahan yang dimanfaatkan sebagai perkebunan sawit, karet atau daerah konsesi pertambangan.

Di kota besar seperti Jakarta, pengembang properti tertentu menguasai lahan strategis dengan luas ribuan hektare lahan di kompleks-kompleks elite sementara rakyat biasa hidup berdesak-desakan di daerah kumuh atau berjuang membayar cicilan rumah dengan luas tanah 72 meter persegi selama 15-20 tahun di pinggiran kota. Fakta lain, dari sepuluh orang terkaya di Indonesia tahun 2019 ternyata hanya satu orang yang Muslim, sebagaimana dilaporkan oleh majalah Forbes Indonesia. 

Ketimpangan merupakan persoalan sosial di Indonesia yang mana pemeluk agama dan etnis mayoritas ternyata menjadi minoritas dalam kesejahteraan ekonomi. Situasi ini seperti api dalam sekam, yaitu tidak terungkap di permukaan, tetapi dapat dirasakan dalam kehidupan masyarakat. Suatu ketika, jika momentumnya tepat dapat meletus menjadi persoalan sosial politik jika tidak ditangani dapat menimbulkan kerusakan dahsyat. Eksploitasi isu rasial termasuk yang menjadi bahan kampanye yang laku pada Pilpres 2019, yang menunjukkan kerentanan persoalan tersebut.

Entah mengapa, kesadaran soal persoalan ketimpangan sosial yang dihadapi masyarakat Muslim tersebut masih sangat kurang. Bagi para aktivis dakwah Islam, soal-soal yang mengemuka lebih pada isu penistaan agama dan sejenisnya. Atau bahkan sibuk memperdebatkan persoalan khilafiyah yang sudah berabad-abad lalu dibahas dan sampai sekarang belum selesai. Visi yang dikembangkannya masih seputar Islam dalam kelompoknya saja dengan seperangkat nilai, aliran atau mazhabnya. Yang di luarnya, bahkan ditentang atau dianggap sebagai musuh. Akibatnya, kekuatan Islam sebagai penekan sosial menjadi lemah karena tercerai-berainya kekuatan yang dimiliki bersama. 

Akibat tidak adanya pengawalan yang memadai pada persoalan-persoalan tersebut, kesejahteraan umat Islam tertinggal dibandingkan dengan umat agama lain. Kebijakan-kebijakan yang tidak prokeadilan atau prorakyat miskin kurang mendapat pengawalan. Padahal ketika Islam pertama kali tumbuh di jazirah Arab, salah satunya visinya adalah menghancurkan ketidakadilan sosial yang sebelumnya telah mengakar kuat. Rasulullah menghapuskan berbagai macam ketidakadilan yang telah mengakar kuat dalam masyarakat. Eksploitasi terhadap masyarakat bawah dihilangkan Perbudakan pelan-pelan dihapuskan, derajat perempuan ditingkatkan dan banyak lagi dalam bidang lainnya. 

Kini, dakwah agama yang sering disampaikan kepada para tokoh agama cenderung berkutat pada ibadah yang sifatnya personal seperti shalat, puasa, haji dan umrah. Belakangan, kampanye soal pentingnya berzakat atau wakaf meningkat pesat. Tentu hal tersebut harus diapresiasi, namun ajakan dakwah untuk mengatasi persoalan ketidakadilan dan ketimpangan sosial ekonomi yang terjadi sekarang ini, yang sebenarnya telah muncul sejak era kolonial, belum memadai. 

Kemiskinan bisa disebabkan oleh dua faktor. Pertama, tentu karena kemalasan. Kedua, karena kebijakan yang tidak berpihak kepada kelompok masyarakat tertentu. Seringkali yang disampaikan kepada masyarakat adalah faktor malas, padahal sebagian besar penyebab kemiskinan disebabkan oleh kesalahan kebijakan. Indonesia, Nigeria, dan Korea Selatan pada tahun 1960-an berada pada tingkat ekonomi yang sama. Saat ini, Korea Selatan telah menjadi negara yang maju. Indonesia tertinggal jauh di belakang Korea, sementara Nigeria menghadapi persoalan yang lebih kompleks lagi. Tentu hal tersebut disebabkan perbedaan kebijakan oleh pemerintah di masing-masing negara. 

Jika kita analisis tingkat kesejahteraan negara-negara Muslim, maka negara-negara yang kaya dikarenakan berkah alam yang diberikan kepada mereka berupa minyak bumi, gas, atau hasil tambang lainnya, bukan karena kemampuan inovasi produk tertentu. Pihak-pihak tertentu mencari kambing hitam atas kondisi umat Islam saat ini karena konspirasi Barat. Tetapi jika pola pikirnya seperti itu, tidak ada upaya untuk melakukan evaluasi internal untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada.

Ada banyak sekali ajaran Islam, baik dalam Al-Qur’an atau hadits yang memerintahkan kita mencari ilmu, berinovasi, atau bekerja keras. Islam pernah berjaya dan memberi kontribusi besar kepada peradaban dunia. Sebagian umat merasa bahwa dengan melakukan ibadah yang sifatnya ubudiyah, akibatnya kehidupan sosial kurang mendapatkan perhatian. Mereka disibukkan dengan urusan-urusan ubudiyah, bahkan sibuk menilai tata cara peribadatan kelompok lain. Yang tidak sesuai dengan tafsir yang diyakininya dianggap bid’ah, bahkan sesat. 

Kini saatnya mengubah cara pendang kita dalam berislam dengan melihat bahwa berislam yang baik tidak cukup memenuhi ketentuan ibadah ubudiyah dan sunah-sunah yang mengikutinya, tetapi ada peran-peran besar yang harus dijalankan, yang Al-Qur’an menggambarkannya sebagai fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Ini berarti menciptakan bumi yang aman dan damai, yang layak ditinggali oleh semua makhluk hidup, manusia, hewan, dan tumbuhan. Yang menghargai keseimbangan alam. Yang melindungi dan melestarikan alam.

Semua hal tersebut masing menjadi persoalan di dunia Muslim di mana ketimpangan sosial terjadi secara nyata antara yang kaya dan miskin, di mana keseimbangan alam terganggu karena keserakahan manusia yang sedang berkuasa, di mana alam dieksploitasi secara habis-habisan tanpa mempertimbangkan dampaknya kepada kehidupan. 

Untuk itu penting untuk memberi pengajaran di seluruh jenjang pendidikan Islam, dalam berbagai majelis taklim, dalam ceramah-ceramah keagamaan bahwa ibadah tidak cukup sekadar ibadah ubudiyah lalu mengabaikan persoalan sosial yang terjadi. Tetapi perlu menegaskan bahwa perubahan sosial menuju kondisi yang lebih baik menjadi tanggung jawab umat Islam. Jika proses pendidikan ini berhasil, maka akan melahirkan para aktivis Islam yang kritis dan berani membela kepentingan masyarakat luas yang hingga kini terus saja berlangsung. Soal ketimpangan sosial ekonomi sebuah persoalan besar yang tidak bisa diatasi sendirian atau sekadar disampaikan dalam ceramah di atas panggung. penyelesaiannya harus dilakukan secara bersama-sama dan dalam bentuk aksi nyata. Ormas Islam seperti NU dapat menjadi sarana perjuangan tersebut di samping lembaga lainnya tentu saja. (Achmad Mukafi Niam)