Risalah Redaksi

NU Suportif Kritis terhadap Pemerintah

Ahad, 27 Oktober 2019 | 13:15 WIB

NU Suportif Kritis terhadap Pemerintah

Bila loyalitas NU terhadap Indonesia adalah mutlak, tidak demikian bila terhadap pemerintah. Kemaslahatan umat adalah tolok ukur utama. (Ilustrasi: NU Online)

Pemerintahan Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin telah dilantik, demikian pula para menteri anggota kabinetnya. Kini saatnya mereka bekerja menjalankan program yang telah direncanakan sebelumnya dalam kampanye. Dalam hal ini NU akan bersikap mendukung segala kebijakan yang memberi maslahat kepada kebaikan publik, tetapi akan tetap bersikap kritis jika kebijakan yang dibuat memberikan dampak sebaliknya. 

Dalam berbagai kesempatan selama kepemimpinannya mulai 2010, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menjelaskan NU bukan anggota koalisi atau oposisi karena NU bukan partai politik. Sebagai contoh, pada 2017, NU menolak keras rencana pemerintah untuk memberlakukan sekolah sehari penuh (full day school) sekalipun waktu itu banyak anggota kabinet yang berlatar belakang NU dan hubungan NU dengan Presiden Joko Widodo berjalan baik. Presiden bahkan secara rutin berkunjung ke pesantren NU. Namun, hal tersebut tidak mengurangi sikap kritis NU jika ternyata kebijakan pemerintah tidak berpihak pada masyarakat. 

Kebijakan-kebijakan lain yang berpotensi merugikan masyarakat tetap saja bisa muncul di masa mendatang karena kebijakan di tingkat kementerian yang dibuat secara sentralistik dari atas mungkin saja tidak tepat sasaran dengan realitas yang ada di lapangan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi munculnya sebuah kebijakan yang ditetapkan oleh para menteri yang berlatar belakang dari berbagai partai. Termasuk di dalamnya kepentingan kelompok tertentu yang belum tentu untuk kebaikan bersama. Jika hal tersebut terjadi, maka NU akan mengawal suara masyarakat. 

Penunjukan menteri yang dianggap kontroversial di antaranya adalah Menteri Agama Fachrul Razi dan Mendikbud Nadiem Makarim. Banyak kiai mempertanyakan penunjukan politisi berlatar belakang militer untuk posisi kementerian agama yang di luar kapasitasnya. Hal yang sama juga terjadi pada Nadiem yang merupakan pendiri Gojek. Sektor pendidikan tidak hanya urusan teknologi baru, tetapi menyangkut sejumlah masalah yang kompleks. Pertanyaan lain soal kapasitas juga muncul terhadap figur yang menjabat di kementerian lain, sekalipun tidak sesanter kedua kementerian tersebut. 

Para menteri sudah ditunjuk. Kini saatnya membuktikan, apakah pilihan Presiden terhadap figur-figur tersebut tepat. Joko Widodo bertanggung jawab terhadap keseluruhan kinerja pemerintahannya. Kesalahan menempatkan orang karena bukan orang yang tepat di tempat yang tepat dan pada saat yang tepat akan menyebabkan sektor tertentu kinerjanya tidak sesuai dengan harapan. Sesungguhnya, memilih orang yang tepat berarti telah menyelesaikan setengah pekerjaan. 

Dalam pidato pelantikannya, Jokowi telah menegaskan akan memecat para pejabat yang kinerjanya tidak baik. Hal tersebut sudah seharusnya begitu, tetapi tentu lebih baik jika dari awal sudah terdapat proses seleksi yang baik sehingga setiap orang mendapatkan posisi yang tepat. Tak mudah untuk mengakomodasi keinginan banyak pihak sementara posisi yang tersedia terbatas. 

NU memiliki sejarah panjang terkait dengan politik dan kekuasaan. Dalam konteks negara, NU menegaskan diri setia dan memperjuangkan Indonesia. Tetapi dalam konteks pemerintahan NU bersikap lentur, yaitu bisa mendukung pada konteks tertentu tetapi pada saat berbeda bersikap kritis. Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 yang kemudian diperingati menjadi Hari Santri merupakan salah satu bentuk komitmen NU terhadap Indonesia. 

Jika perjuangan fisik yang mengorbankan nyawa dan harta saja mampu dijalani, apalagi sekedar berbeda sikap politik. Pada era 50an, ketika NU tidak mendapatkan apresiasi sebagaimana mestinya dalam Partai Masyumi, NU berani keluar dan menyatakan diri sebagai partai baru. Dan terbukti dalam pemilu 1955 NU menjadi partai ketiga terbesar. Selama Orde Baru, NU juga bersikap kritis terhadap sejumlah kebijakan pemerintah. Bahkan, ada upaya intervensi pemerintah dalam muktamar NU di Cipasung 1994 agar Gus Dur tidak terpilih kembali karena sikap kritisnya tersebut. Toh dengan semua tekanan selama Orde Baru NU mampu melewatinya dengan baik. 

Ketika muncul reformasi yang membuka keran kebebasan, maka posisi NU dengan jumlah massanya yang sangat besar menjadi kekuatan politik nonpartai. Sejak periode tersebut, banyak kader NU yang meraih jabatan politik dan jabatan publik, baik melalui partai tertentu atau karena dukungan dari masyarakat. Di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Gus Dur merupakan tokoh NU yang terpilih menjadi presiden. Kini KH Ma’ruf Amin terpilih sebagai wakil presiden. Salah satunya juga karena modal sosialnya yang besar sebagai tokoh NU. Akses kepada kekuasaan menjadi terbuka dengan jumlah capaian posisi yang berbeda-beda tiap periodenya. 

Beragam situasi yang terjadi selama rentang sejarah yang panjang tersebut, yang menjadi pelajaran bagi NU untuk menyikapi berbagai persoalan. Sekalipun dekat dengan kekuasaan, dukungan dan kritik tetap disampaikan. Namun, hal tersebut dilakukan dengan cara-cara yang santun, yaitu melalui dialog dan pertemuan yang lebih kondusif untuk bertukar pikiran. Hal ini karena karena pada prinsipnya, perjuangan NU sebagai organisasi keagamaan adalah memperjuangkan nilai-nilai agama, kebangsaan, dan masyarakat. 

Kini saatnya kita memberi kesempatan para menteri untuk membuktikan dirinya bahwa mereka layak dan mampu menjalankan amanah yang dipercayakan kepadanya. Jangan sampai mereka menyalahkan publik ketika berkinerja buruk karena diganggu. Jika mereka meminta bantuan, mari kita bantu. Jika dalam periode tertentu menunjukkan gelagat tidak mampu menjalankan tugasnya, maka perlu dipertimbangkan untuk mengganti dengan orang yang tepat karena jabatan sekelas menteri bukan untuk belajar dan coba-coba. Dampak buruk yang ditimbulkannya bisa berakibat fatal karena menyangkut nasib banyak orang. (Achmad Mukafi Niam)