Nasional

Dakwah Simpel dan Logis Mudah Diterima Kaum Urban dan Milenial

Kam, 21 November 2019 | 02:45 WIB

Dakwah Simpel dan Logis Mudah Diterima Kaum Urban dan Milenial

Wakil Sekretaris LD PBNU H Syaifullah Amin saat mengisi Pelatihan Ta’mir, Khatib, dan Dai Nasional di Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Dukuh Puntang, Cirebon. (Foto: NU Online/ Syakir NF)

Cirebon, NU Online 
Modernisasi dan perkembangan teknologi yang semakin pesat menggiring masyarakat untuk hijrah ke kota menjadi masyarakat urban. Kehidupan di kota yang berjalan begitu cepat beradu dengan laju kendaraan dan daya saing yang begitu tinggi membuat waktu mereka semakin sempit.
 
Tak ayal, dalam mendengarkan materi-materi keagamaan, mereka hanya memiliki waktu yang singkat. Pendeknya waktu tersebut tentu mengharuskan para dai yang hendak menyentuh pasar audiens kalangan mereka tentu harus menyampaikannya dengan simpel.
 
“Wahana dakwah itu butuh sesuatu yang simpel,” kata H Syaifullah Amin, Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU) saat mengisi Pelatihan Ta’mir, Khatib, dan Dai Nasional di Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Dukuh Puntang, Cirebon, Jawa Barat, Rabu (20/11).
 
Hal tersebut ia sampaikan mengingat tak sedikit dai-dai NU yang menghabiskan durasi ceramahnya dengan mukadimah yang cukup panjang. Mereka kerap kali membuka pidatonya dengan mukadimah berbahasa Arab yang juga diterjemahkan ke bahasa Indonesia. 
 
Masyarakat urban dan kaum milenial gemar menggunakan media sosial, seperti Instagram dan Twitter. Dua platform medsos ini memiliki batasan waktu yang cukup pendek dalam unggahan videonya, yakni 60 detik untuk Instagram dan 2 menit 20 detik untuk Twitter.
 
Jika dakwah tetap menggunakan mukadimah panjang seperti biasanya tentu tidak akan sampai pada inti materinya karena waktunya habis untuk pembukaan saja. Karenanya, ia meminta para peserta untuk mulai berceramah singkat, simpel tanpa bertele-tele dengan langsung masuk ke inti materinya usai mengawalinya dengan salam. “Kita harus bisa belajar langsung masuk ke tema,” katanya.
 
Sebab, jelasnya, ceramah di Instagram demi menyasar urban dan milenial itu bukanlah khutbah Jumat yang memiliki rukun dan tata aturan khusus. “Kita boleh dan tidak salah tanpa mukadimah dan langsung masuk ke tema,” tegas Direktur Aswaja TV itu.
 
Di samping itu, Amin juga menyampaikan bahwa dakwah harus disampaikan secara rasional dan logis. Pasalnya, hal yang bisa diterima akal lebih mudah diterima oleh masyarakat urban dan generasi milenial mengingat kesibukan kegiatan dan pikiran mereka menjadi salah satu kendala. Belum pikiran mereka tentang beragam angsuran yang harus segera ditunaikan. Hal-hal demikian itulah, menurutnya, membuat pikiran jernih mereka menolak hal-hal yang bersifat irasional.
 
“Kita sering membicarakan sesuatu irasional pada saat mereka butuh penjelasan yang rasional,” ujarnya.
 
Amin mencontohkan dalam peringatan Maulid misalnya, para dai kerap kali menyampaikan mukjizat Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang bersifat irasional. Padahal Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesarnya yang lebih bisa masuk akal tidak dieksplorasi sebagai salah satu materi dakwah dalam Maulid Nabi. “Dia terjadi di luar kebiasaan, tetapi ia bisa masuk akal,” katanya.
 
Pria yang juga Wakil Direktur NU Online itu menegaskan bahwa hal-hal yang di luar nalar mungkin masih menjadi konsumsi favorit masyarakat di desa, tetapi tidak bagi masyarakat kota. Karenanya, Amin menyatakan jika ingin menyasar kelompok tersebut harus beranjak dari hal-hal irasional dan memulai dakwah dengan menggali sisi-sisi yang logisnya.
 
“Kalau kita ingin mereka bisa ikut sesuai dengan apa yang kita inginkan, maka kita harus menyampaikan pesan Maulid, misalnya, dari sisi-sisi yang cukup rasional,” jelasnya.
 
Pewarta: Syakir NF
Editor: Syamsul Arifin