Daerah

Pengajian Ushul Fiqih dan Tasawuf adalah Metode Dakwah Moderat

Sel, 19 November 2019 | 07:30 WIB

Pengajian Ushul Fiqih dan Tasawuf adalah Metode Dakwah Moderat

Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Modul Model Pengembangan Masyarakat Muslim Inklusif Berbasis Masjid diselenggarakan Lakpesdam PWNU Banten dan Direktorat Bimas Islam Kemenag. (Foto: NU Online/Nuri Farikhatin)

Banten, NU Online
Saat ini negara Indonesia tengah menghadapi situasi semangat keberagamaan yang begitu kuat. Berbagai macam pengajian digalakkan untuk melayani orang-orang yang haus akan pemahaman keagamaan. Jika dulu pengajian selalu diidentikkan dengan model sorogan dan bandongan melalui kitab-kitab kuning, kini model tersebut telah bergeser pada bentuk-bentuk seperti talaqi, ta'lim, dan halaqah oleh kelompok-kelompok fanatik arabisme.

Model-model pengajian-pengajian tersebut tak jarang menyuarakan paham-paham puritan, radikal, berwajah politik identitas, conservative turn, literalisme yang akhirnya memungkiri nalar kritis dan terkadang berujung pada konflik antarpaham.

Oleh karena itu Soffa Ihsan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Modul Model Pengembangan Masyarakat Muslim Inklusif Berbasis Masjid menyampaikan perlunya mengembalikan pengajian-pengajian kitab kuning atau turats sebagai alternatif dakwah yang moderat. FGD sendiri diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Banten dan Direktorat Bimas Islam Kemenag.

Menurut Direktur Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Radulku) itu, di antara cabang ilmu yang patut dihadirkan dalam kegiatan-kegiatan pengajian adalah ushul fiqih dan tasawuf.

"Dalam ushul fiqih dikenal istilah al-istiqra' yang dalam penelitian modern disebut sebagai metode induktif, demikian juga metode deskriptif analitis, eksperimental dan lain-lain yang dalam ilmu ushul fiqih dapat ditemukan pada istilah-istilah seperti masalik al-'illah (pencarian sebab-sebab hukum), as sabr wa at taqsim (memilih dan mengklasifikasi hukum), takhrij al manath (menyeleksi maksud hukum), dan seterusnya," paparnya di Wisma Syahida Inn, Ciputat, Tangerang Selatan, Senin (18/11).

Ilmu ushul fikqih, lanjutnya, merupakan metodologi pengambilan hukum syar'i. Dengan ushul fiqih seorang faqih mampu berinteraksi dengan narasi-narasi yang terdapat pada teks (nash) untuk menyimpulkan hukum syar'i dari padanya. Maka dari itu para ulama mensyaratkan ilmu ushul fiqih sebagai dasar menjadi seorang mujtahid.

Adapun tasawuf merupakan alat yang berfungsi sebagai revolusi spiritual. Proses penghayatan dan pengalaman jiwa yang bergerak tiada batas (la nihayata lah) untuk menempuh jalan cinta.

Dalam tradisi kesufian terdapat doktrin tentang etika spiritual (futuwwah) yakni segabung kualitas positif dari kepribadian manusia seperti kejujuran, keterusterangan, dan kejernihan pikiran.

Jika dalam ushul fiqih memiliki fungsi sebagai 'penata ulang' pola pikir masyarakat dalam memahami agama, maka tasawuf bertugas untuk 'mendetox' jiwa manusia dari sikap tercela.

Soffa menegaskan bahwasannya banyak sekali kitab-kitab ushul fiqih dan tasawuf yang bisa dikaji dalam pengajian. Begitupula cara-cara penyajian yang bisa ditempuh, tergantung pada sasaran yang sedang dihadapi.
 
"Misal dengan model tradisional seperti bandongan dan sorogan, atau model agak milenial, bahkan kitab-kitab babon seperti Al-Hikam atau Ihya juga bisa didaur ulang dengan semisal pembuatan komik dan banyak kreasi yang bisa dihadirkan untuk menunjang pemahaman masyarakat yang inklusif," ujarnya.
 
Kontributor: Nuri Farikhatin
Editor: Syamsul Arifin