Risalah Redaksi

Mengeksekusi Rencana dan Program NU Menjadi Aksi Nyata

Ahad, 21 November 2021 | 18:30 WIB

Mengeksekusi Rencana dan Program NU Menjadi Aksi Nyata

Gaya pemimpin mempengaruhi program prioritas yang dikerjakan sekalipun sudah terdapat program yang diamanatkan dalam muktamar.

Setiap menjelang muktamar, warga NU selalu antusias menggelar berbagai macam diskusi, baik untuk mengevaluasi perjalanan NU sebelumnya atau bagaimana NU seharusnya merespons tantangan zaman. Ada beberapa isu yang menjadi kesadaran bersama seperti bagaimana NU merespons bonus demografi, tantangan dakwah digital, pendidikan, kesehatan, hingga soal kemiskinan yang masih dihadapi oleh sebagian warga NU.

 

Muktamar ke-33 NU 2015 di Jombang mengamanatkan tiga prioritas program yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Sekalipun terdapat kesadaran bersama beberapa persoalan besar yang dihadapi NU, namun dalam strategi penyelesaiannya terdapat banyak varian. Hal ini tentu dipengaruhi oleh perbedaan keahlian, keterampilan, serta ketersediaan sumber daya.

 

Program pendidikan selama periode 2015 hingga saat ini merupakan program yang paling berhasil dibandingkan dengan yang lainnya. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi NU terus bermunculan. Dalam kepemimpinan KH Said Aqil Siroj, perguruan tinggi mendapat prioritas mengingat latar belakang beliau sebagai intelektual yang memiliki perhatian kuat dalam bidang tersebut. Dan hal ini didukung oleh pemerintah yang memberi afirmasi pendirian perguruan tinggi baru di lingkungan NU supaya tingkat pendidikan warga NU terus meningkat.

 

Jika jumlah lembaga pendidikan tinggi milik NU telah berkembang, maka tantangan selanjutnya adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan tinggi tersebut. Dalam konteks ini, manajemen pengelolaan perguruan tinggi yang dipimpin oleh rektor dan jajarannya menjadi lebih dominan dalam menentukan keberhasilan. Karena itu, ada perguruan tinggi NU yang dengan cepat berkembang, ada yang biasa-biasa saja, namun ada yang masih sulit bertumbuh.

 

Dalam konteks peningkatan layanan kesehatan, beberapa wilayah dan cabang NU telah menginisiasi pendirian rumah sakit dan klinik. Namun, tantangan yang dihadapi cukup besar. Layanan kesehatan mesti dikelola secara profesional karena menyangkut nyawa orang. Terdapat investasi bangunan, peralatan kesehatan, perekrutan tenaga kesehatan, dan lainnya yang membutuhkan biaya besar. Pendekatan kerelawanan dengan komitmen terbatas sesuai dengan waktu luang atau tenaga yang sekadarnya yang biasa diterapkan dalam berkiprah di ormas tidak dapat diterapkan. Toh, jika ormas Islam lain mampu menyediakan layanan kesehatan yang baik dan banyak, NU tentu juga bisa.

 

Dari tiga prioritas program muktamar 2015, permasalahan ekonomi perlu mendapatkan perhatian paling serius untuk penanganannya dalam periode kepemimpinan NU selanjutnya. Secara langsung, perguruan tinggi baru atau rumah sakit baru milik NU jelas terlihat, tetapi program ekonomi yang benar-benar nyata dan dampaknya dapat dirasakan oleh warga NU belum muncul. NU belum memiliki badan usaha besar yang menjadi penggerak ekonomi NU. Ekonomi Indonesia masih dikuasai oleh oligarki yang mendominasi berbagai sektor usaha di Indonesia.

 

Diskursus soal ekonomi dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan di lingkungan NU, namun dunia usaha lebih menekankan aspek praktiknya dibandingkan dengan bicara soal wacana dan teori. Dunia usaha juga terkait dengan kompetisi dengan pihak-pihak lain yang mungkin saja sebelumnya sudah menguasai sektor tersebut. Mereka tentu tidak mau ladang keuntungan yang dimiliki diambil alih oleh pihak lain. Bahkan, jika sudah untung mereka ingin menambah atau memperluas pangsa pasar yang sudah dimiliki. Para oligarki tentu tidak rela kekuasaan ekonominya direbut.

 

Bagaimana dengan program prioritas NU menjelang abad kedua ini? Tim komisi program saat ini sedang bekerja keras menyusun draf yang nantinya akan dibahas di muktamar. Untuk program yang bersifat makro, prioritasnya mungkin tidak jauh-jauh dari tema pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, namun program turunannya yang mungkin akan berbeda karena melihat perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang.

 

Belajar dari masa lalu, kita bisa belajar faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan. Bisa jadi kegagalan melaksanakan program lebih disebabkan oleh rencana yang terlalu ambisius sehingga sulit dilaksanakan. Analisis SWOT yang terdiri dari strength (kekuatan) weakness (kelemahan), opportunity (kesempatan), dan threaten (ancaman) menjadi alat yang cukup populer dalam membuat perencanaan yang mencerminkan kapasitas yang dimiliki, baik internal maupun eksternal. NU pernah punya program ambisius 1.000 kantor BPR Nusumma. Namun program tersebut gagal, bahkan BPR Nusumma harus berpindah kepemilikan.

 

Faktor luar juga dapat mempengaruhi kegagalan menjalankan program. Tak ada yang mengira bahwa pada tahun 2020 terjadi pandemi Covid-19 yang berdampak pada seluruh sektor kehidupan akibat adanya pembatasan dalam berbagai sektor. Otomatis program-program yang direncanakan dengan baik menjadi gagal tereksekusi. Bahkan muktamar ke-34 NU yang rencananya diselenggarakan pada Oktober 2020 pelaksanaannya diundur karena adanya pandemi ini.

 

Gaya pemimpin mempengaruhi program prioritas yang dikerjakan sekalipun sudah terdapat program yang diamanatkan dalam muktamar. Dalam konteks kepemimpinan Indonesia, Joko Widodo dikenal sangat intens membangun infrastruktur sementara Gus Dur semasa pemerintahan sangat memperhatikan ancaman perpecahan di Indonesia yang waktu itu merupakan tantangan serius.

 

Dalam konteks kepemimpinan NU, Kiai Said sangat memperhatikan pengembangan pendidikan, Kiai Hasyim Muzadi sangat memperhatikan konsolidasi warga NU dan hubungan internasional, Gus Dur sangat memperhatikan pengembangan tradisi intelektual di kalangan santri. Pemimpin NU ke depan juga akan memiliki gayanya masing-masing.

 

Keberhasilan NU merupakan buah dari kerja-kerja yang dilakukan oleh para pengurus NU dan peran komunitas NU. Sekalipun tidak menjadi pengurus NU, tetapi Nahdliyin tetap mengurusi dan mengembangkan pendidikan NU di sekolah atau pesantren, memberi pelayanan kesehatan kepada warga NU, mengurusi masalah ekonomi masyarakat, hingga dakwah digital. Kerja para pengurus NU lebih pada mengkoordinasikan, memberi konsultasi, serta membantu memperluas jejaring berbagai potensi yang ada pada warga NU supaya lebih terarah dan maksimal. Jika semuanya diserahkan kepada organisasi, proses pengembangan NU akan terbatas kapasitasnya.

 

Inisiatif untuk membincangkan NU, baik keberhasilan atau tantangan yang masih dihadapi merupakan bukti cinta dan komitmen kepada NU. Sesungguhnya, muktamar bukan hanya acara kumpul-kumpulnya pengurus NU, tetapi berkumpulnya seluruh komunitas NU. (Achmad Mukafi Niam)