Fragmen JELANG MUKTAMAR KE-34 NU

Muktamar NU dan Catatan Sejarahnya dari Masa ke Masa

Ahad, 7 November 2021 | 15:00 WIB

Muktamar NU dan Catatan Sejarahnya dari Masa ke Masa

Suasana kemeriahan acara NU. (Foto: Istimewa)

Muktamar Nahdlatul Ulama merupakan forum permusyawaratan tertinggi NU yang dilaksanakan untuk berbagai agenda, yakni mengevaluasi kinerja kepengurusan, menyusun program baru, dan memilih pengurus untuk periode selanjutnya.


Dalam Muktamar NU juga dibahas masalah keagamaan dalam forum yang dinamakan Bahtsul Masa'il. Mengingat luasnya permasalahan saat ini, forum bahtsul masa’il dibagi menjadi sejumlah komisi seperti Komisi Waqi’iyah, Qanuniyah, dan Maudluiyyah sesuai temanya.


Muktamar NU diikuti oleh kepengurusan pusat yakni Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), kepengurusan tingkat provinsi yakni Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU), dan kepengurusan tingkat kabupaten yakni Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU).


Dalam kondisi normal, kepesertaan di tingkat PWNU dan PCNU diwakili oleh lima orang yakni Rais Syuriyah, Ketua Tanfidziyah, Katib, Sekretaris, dan Bendahara. Ada juga peserta tambahan yang bisa diusulkan untuk menjadi peserta muktamar. Status peserta muktamar (muktamirin) terdiri dari tiga jenis yakni peserta, peninjau, dan pengamat.


Peserta terdiri dari Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Cabang. Mereka berhak mengemukakan saran dan pendapat terhadap masalah-masalah yang berkembang di dalam persidangan. Sementara untuk peninjau juga berhak menyampaikan saran dan pendapat. Akan tetapi, tidak memiliki hak suara.


Sedangkan pengamat biasanya merupakan intelektual atau akademisi yang mengikuti jalannya persidangan dalam muktamar. Mereka mengikuti persidangan yang digelar dalam berbagai komisi sesuai dengan minat mereka.


Dalam Ensiklopedia Nahdlatul Ulama: Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren
yang ditulis oleh M. Imam Aziz disebutkan bahwa Muktamar NU pertama diselenggarakan di Surabaya pada 21 Oktober 1926, tak lama setelah NU berdiri dan tetap terselenggara di kota tersebut sampai muktamar ketiga. Pada tahun-tahun berikutnya, muktamar secara berurutan semakin ke barat, mulai ke Semarang (1929), Pekalongan (1930), Cirebon (1931), Bandung (1932), dan Jakarta (1933) yang kemudian pindah ke Banyuwangi (1934). Selanjutnya terselenggara secara acak.


Muktamar di luar Jawa pertama kali diselenggarakan di Banjarmasin (1936). Muktamar 1941 direncanakan di luar Jawa untuk kedua kalinya, yaitu di Palembang. Akan tetapi, gagal karena situasi Perang Asia Pasifik. Selama enam tahun masa pendudukan Jepang, tidak diselenggarakan muktamar. Muktamar NU pertama pascakemerdekaan RI diselenggarakan di Purwokerto (1946).

 

 


Mengurai masalah
Tempat penyelenggaraan muktamar selalu terkait upaya NU membantu umat Islam yang mengalami masalah. Muktamar di Semarang (1929) dikarenakan perpecahan dalam tubuh Syarikat Islam (SI) menjadi SI putih dan SI merah yang didominasi kelompok komunis.


Demikian pula, Muktamar Pekalongan (1930) diselenggarakan setelah terjadi konflik hebat antara penduduk dan etnis Tionghoa sehingga NU merasa perlu meredamnya. Muktamar Cirebon (1931) merupakan upaya mengatasi perpecahan umat Islam dalam masalah-masalah keagamaan. Muktamar Bandung (1932) merupakan strategi pengembangan NU di wilayah Priangan.


Dari dulu sampai sekarang, Muktamar NU bukan hanya acara persidangan para pengurus. Warga NU selalu memeriahkan penyelenggaraan muktamar melalui rapat umum yang dihadiri ribuan massa. Biasanya diselenggarakan di masjid besar di kota tersebut, atau di lapangan jika diperkirakan jumlah massa yang datang sangat besar. Pada kesempatan tersebut, dai-dai populer dan dihormati masyarakat tampil.


Pada muktamar pertama, rapat umum diselenggarakan di Masjid Sunan Ampel yang dihadiri tak kurang dari 10 ribu jamaah, suatu kejadian yang belum pernah dialami Surabaya. Pada muktamar kedua, rapat umum yang diselenggarakan di Masjid Sunan Ampel dihadiri puluhan ribu orang.


Muktamar ke-4 digelar di Semarang, sementara rapat umum dilaksanakan di Masjid Besar Semarang yang luar biasa meriah. Pada Muktamar Pekalongan, rapat umum dilaksanakan di Masjid Besar Pekalongan, yang mendapatkan sambutan mengagumkan.


Ketika Muktamar ke-6 digelar di Cirebon, sempat terjadi kesulitan untuk menggelar rapat akbar di Masjid Besar kota tersebut. Tetapi akhirnya dapat diatasi KH Wahab Hasbullah dengan melobi Adviseur voor Inlandsche Zaken di Jakarta. Muktamar ke-7 digelar di Bandung. Rapat umum diadakan di Masjid Besar Bandung dengan para pembicara ulung, di antaranya KH Wahab Hasbullah, yang akhirnya mampu menumbuhkan banyak cabang di Jawa Barat.


Berikutnya adalah Muktamar Petamburan, Jakarta Pusat. Rapat umum diselenggarakan di depan lokasi muktamar karena Masjid Besar Tanah Abang tidak muat untuk penyelenggaraan rapat. Banjarmasin sebagai penyelenggara muktamar ke-11 juga memperlakukan peserta dengan sangat istimewa. Rapat umum diselenggarakan sampai tiga kali. Pertama, di arena kongres. Kedua, di masjid besar Kota Banjarmasin. Ketiga, atas permintaan cabang Martapura, diadakan sekali lagi di kota tersebut.


Seluruh peserta diangkut perahu. Sementara itu, resepsi penutupan diselenggarakan di rumah hartawan Martapura, KH Abdurrahman ,dengan penyelenggaraan mewah serta menurut adat asli Martapura dalam seni kasidah dan bacaan Al-Qur'annya. Acara ini meninggalkan kesan mendalam bagi peserta muktamar.

 

 

Semakin meriah
Pada muktamar di Menes Banten, penyelenggaraan semakin meriah karena sudah terbentuknya GP Ansor dan Muslimat NU yang turut serta dalam acara tersebut. Muktamar ke-14 di Magelang dihadiri hampir semua wakil organisasi seperti PB Muhammadiyah, PII, PDPP, JIB, wakil pemerintah, pamong praja, polisi, dan wakil Adviseur Voor Inlandcsche Zaken dan para priyayi. Rapat umum yang digelar di Lapangan Tidar dihadiri lebih dari 50 ribu orang.


Muktamar di Medan tahun 1956 diliputi suasana mencekam mengingat saat itu Kota Medan dikuasai Dewan Gajah yang dipimpin Kolonel Simbolon. Akan tetapi, dapat selesai dengan baik. Demikian pula Muktamar Cipasung (ke-29) di bawah bayang-bayang upaya intervensi penguasa Orde Baru sehingga suasana muktamar juga sangat “panas”.


Sampai tahun 1951, muktamar diselenggarakan tiap tahun, kecuali antara 1941-1946 ketika pendudukan Jepang. Tidak setiap muktamar pada masa itu dilakukan pergantian pengurus. Akan tetapi, lebih untuk membahas masalah keagamaan dan kemasyarakatan.


Awalnya, penyelenggaraan muktamar menggunakan pedoman bulan Hijriyah dan ditetapkan pada bulan Rabi'uts Tsani. Jika ini dihitung dalam bulan Masehi, penyelenggaraan muktamar kurang dari satu tahun.


Karena penyelenggaraan muktamar dilakukan setiap tahun, maka sudah ditunjuk ketua NU penyelenggara muktamar yang tugasnya bekerja menyukseskan muktamar tersebut. Umumnya biaya penyelenggaraan acara ini tidak menj adi masalah mengingat dukungan masyarakat yang sangat besar.


Panitia menerima sumbangan mulai dari sayuran, kelapa, beras, sapi, kambing, kayu bakar, sampai rumah penginapan, untuk kesuksesan acara. Sering kali masyarakat tidak mau disebut namanya sebagai pemberi sumbangan karena takut riya’ dan takabur, semata mata IiIIahi ta’aIa. 


Setelah tahun 1951, waktu penyelenggaraan muktamar tidak terjadwal secara periodik. Tetapi melihat situasi dan kondisi yang dibutuhkan. Penyelenggaraan muktamar berjalan dalam rentang 5 tahunan setelah Muktamar ke-26 di Semarang tahun 1979 sampai sekarang.


Sebagai kota kelahiran NU, Surabaya merupakan kota tempat penyelenggaraan muktamar paling banyak (6 kali), diikuti Jakarta (3 kali), Solo (3 kali), Semarang (2 kali), Bandung (2 kali), sedangkan kota lainnya baru satu kali. Sebagian besar acara muktamar diselenggarakan di pesantren dari ulama yang paling dihormati di daerah tersebut.

 

 

Kembali ke Khittah
Pada Muktamar ke-13 di Menes, ada usulan menggemparkan agar NU menaruh wakilnya di Volksraad (dewan rakyat) yang menunjukkan adanya hasrat sebagian anggota untuk terjun ke politik. Usulan ditolak dengan suara 54-4 yang artinya NU memutuskan untuk tidak mencampuri politik. Tetapi bergerak dalam bidang keagamaan dan pendidikan sesuai AD/ ART 1926 yang belum diubah waktu itu.


Muktamar ke-19 di Palembang tahun 1952 menjadi titik penting NU dengan keputusan memisahkan diri dari Masyumi dan menjadi partai tersendiri. Titik baliknya pada Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984, dengan keputusan kembali ke Khittah 1926 sebagai organisasi keagamaan. Sejak kembali ke khittah hingga kini, NU tetap menjadi ormas keagamaan.


Belakangan, untuk meramaikan muktamar, tak hanya digelar rapat umum. Tetapi juga terdapat bazar yang berlangsung dari awal sampai akhir muktamar yang menjual produk dan unit usaha warga NU. Juga ditampilkan berbagai macam seni islami untuk menghibur muktamirin.


Gelaran Muktamar selalu dihadiri ribuan orang mulai dari peserta maupun ‘penggembira’. Tercatat Pada Muktamar NU ke-32 di Makassar (2010), jumlah muktamirin yang hadir sekitar 4.000 orang dan mencapai sekitar 8.000 orang jika ditambah dengan para penggembira.


Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Musthofa Asrori