Risalah Redaksi

Mendorong Inovasi di Dunia Islam 

Ahad, 23 Agustus 2020 | 07:30 WIB

Mendorong Inovasi di Dunia Islam 

Ada banyak analisis dengan berbagai perspektif mengapa negara-negara dengan penduduk Muslim masih tertinggal dibandingkan dengan umat lain.

Kemajuan sebuah bangsa ditentukan oleh seberapa banyak inovasi-inovasi yang dihasilkannya yang mampu membuat dunia menjadi lebih baik. Jika kita berefleksi atas posisi negara-negara Muslim atau dunia Islam, maka kita tertinggal jauh dibandingkan dengan capaian inovasi bangsa lainnya. Negara Muslim sekadar jadi konsumen dari produk yang dibuat oleh pihak lainnya atau bahkan sekadar menjadi penonton.


Umat Islam pernah menjadi pemimpin dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun selanjutnya bangsa-bangsa di Eropa menjadi pusat munculnya inovasi-inovasi baru dan mereka terus terdepan dalam hal ini tanpa kita bisa mengejarnya. Penemuan mesin uap mendorong adanya revolusi industri dengan produksi massal yang memungkinkan masyarakat membeli produk dengan harga murah. Listrik, mobil, radio, serta banyak produk yang saat ini kita pakai sehari-hari merupakan capaian inovasi di Eropa yang kemudian terus disempurnakan.


Kepemimpinan dalam inovasi selanjutnya dipegang oleh Amerika Serikat yang hingga kini masih menjadi negara adidaya. Negeri Paman Sam ini telah menorehkan sejarahnya sebagai negara yang pertama kali mencapai bulan. Mereka memiliki lembah silikon yang menjadi pusat pengembangan teknologi digital. IBM, Microsoft, Intel, dan Apple merupakan deretan perusahaan raksasa yang memimpin dunia dalam bidang teknologi informasi saat ini.


Di Asia, Jepang merupakan bangsa yang pertama kali menyadari pentingnya inovasi. Restorasi Meiji menjadi titik awal anak-anak muda Jepang belajar teknologi di Barat yang kemudian secara bertahap dikembangkan di dalam negerinya. Hingga kini, negeri matahari terbit ini menjadi pusat produksi otomotif global dan produk-produk elektronik. 


Proses kemajuan yang terjadi di Asia Timur berlangsung dengan cepat. Korea Selatan yang sebelumnya luluh lantak akibat perang saudara tahun 50-an, namun hanya dalam lima dekade mampu menjadi negara berpengaruh dengan produk-produk elektronik yang kini tersebar ke seluruh dunia. Bukan hanya itu, negeri gingseng ini mampu melahirkan inovasi budaya yang dikenal Gelombang Korea (Hallyu) yang menjadi rujukan budaya pop, termasuk di dunia Muslim.


China, raksasa yang sebelumnya tidur panjang menunjukkan gebrakan luar biasa yang membuat pihak lain bergidik. Jika sebelumnya mereka hanya menjadi peniru dengan produk berkualitas rendah, kini negeri tirai bambu ini menjadi produsen barang-barang dengan harga murah tetapi memiliki kualitas yang terus meningkat. Mereka juga getol melakukan sejumlah riset baru di bidang teknologi. Dalam 5-10 tahun ke depan, pengaruh China pada bidang inovasi teknologi akan semakin besar.
 
Di sisi lain, beberapa negara di Timur Tengah yang sangat makmur karena rezeki minyak dan gas lebih banyak tampak menghambur-hamburkan uangnya untuk membeli produk mewah atau canggih yang sebenarnya tak perlu-perlu amat. Sangat disayangkan jika kekayaan alam yang suatu saat akan habis tersebut tidak dimanfaatkan untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.


Sebagian negeri Muslim lainnya masih mengalami peperangan yang merusak segala sesuatu yang sebelumnya dibangun dengan susah payah. Suriah, Yaman, Irak, dan Afganistan merupakan contoh kelam dunia Islam yang belum mampu keluar dari cara-cara tak beradab dalam menyelesaikan konflik. Jangankan berpikir untuk maju dan sejahtera, rakyatnya masih berpikir apakah besok selamat atau tidak. Jutaan orang berusaha keluar dari negeri-negeri konflik untuk mencari tempat yang lebih aman. 


Sebagian negara Muslim di Afrika bagian selatan mengalami persoalan lebih mendasar seperti kemiskinan, kesehatan, kebodohan, dan konflik militer yang menyebabkan negara tidak stabil. Di saat bagian lain sudah memikirkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagian umat Islam di benua tersebut berjuang menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan. Jalan masih panjang untuk mencapai posisi setara dengan bangsa lain.


Ada banyak analisis dengan berbagai perspektif mengapa negara-negara dengan penduduk Muslim masih tertinggal dibandingkan dengan umat lain. Perdebatan paling awal adalah pelarangan pengajaran filsafat sebagai penyebab kemunduran Islam. Sebagian ulama takut jika Muslim mempelajari filsafat, maka mereka akan mempertanyakan eksistensi Allah. Namun, sejarah mencatat, sebagian ulama ahli filsafat merupakan ulama yang saleh. Dengan tiadanya kebebasan berpikir yang diajarkan oleh filsafat, maka inovasi-inovasi baru menjadi terlambat yang akhirnya dalam jangka panjang menyebabkan ketertinggalan. 


Secara politik, terjadi perdebatan sengit tentang bentuk negara yang paling ideal untuk mencapai kemajuan, yaitu antara bentuk negara agama atau sekuler. Kelompok sekuler berkeyakinan bahwa urusan publik tidak bisa dicampuradukkan dengan urusan agama. Namun, kelompok agamis berpendapat, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian, agama harus menjadi dasar negara. Toh, dua model ini belum ada yang menunjukkan keberhasilannya dalam membuat negara Muslim maju dan sejahtera. Turki yang menganut sekularisme sejak era Kamal Attartuk berulang kali mengalami kudeta dengan perkembangan yang biasa-biasa saja. Arab Saudi, negara kerajaan yang mengklaim diri telah menyatukan agama dan negara juga tak mampu menjadi mercusuar peradaban Muslim sekalipun diberkahi rezeki minyak yang melimpah. 


Dari perspektif pandangan hidup, sebagian umat Islam berkeyakinan bahwa yang bisa membuat mereka masuk surga adalah ilmu agama. Ungkapan sederhana yang seringkali muncul menjadi sebuah celetukan, “Ngapain belajar matematika, kan malaikat di kubur tidak bertanya soal matematika?” Sains menjadi bidang yang dihindari, padahal ilmu tersebut sangat penting dalam pengembangan pengetahuan dan teknologi. Padahal ulama-ulama zaman dahulu adalah para penemu di bidang sains. Umat Islam zaman kini lebih banyak fokus mengejar ibadah-ibadah mahdhah tetapi melupakan pentingnya mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi. 


Tidak ada solusi tunggal terhadap permasalahan rumit yang telah berlangsung selama berabad-abad. Stabilitas politik, pendanaan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan, pandangan agama yang lebih terbuka dan menghargai rasionalitas, dan tentu saja kerja keras menjadi kunci untuk menciptakan ekosistem yang mendorong lahirnya inovasi di negara-negara Muslim. Jika Korea Selatan hanya dalam 50 tahun mampu menjadi menjadi pusat inovasi dunia, seharusnya negara-negara Muslim lainnya juga mampu. Jika China mampu bangkit menjadi sebuah kekuatan global yang saat ini menggetarkan dunia, negara Muslim memiliki potensi yang sama. 


Terdapat lebih dari 1,6 miliar umat Islam di seluruh dunia. Ini merupakan potensi luar biasa untuk membantu memperbaiki kehidupan manusia sebagaimana telah dibuktikan generasi awal umat Islam yang menjadi pelopor pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi. Inilah tugas kita sekarang untuk turut memberi kontribusi pada peningkatan peradaban manusia. (Achmad Mukafi Niam)