Fragmen

Gus Im dan NU Online (Bagian 1)

Sel, 18 Agustus 2020 | 06:00 WIB

Gus Im dan NU Online (Bagian 1)

Menurut Gus Im, dengan mengakses NU Online, Nahdliyin akan merasa dekat dengan ulama

KH Hasyim Wahid atau Gus Im (1953-2020 M) yang wafat waktu subuh pada Sabtu 1 Agustus 2020 tidak dapat dilepaskan dari NU Online. Adik bungsu Gus Dur ini memiliki hubungan dekat dengan pengelola NU Online mulai dari zaman Pemred NU Online H Abdul Mun‘im DZ di bawah 2010 hingga era Direktur NU Online Savic Ali di atas 2010.


Dalam kaitannya dengan NU Online, Gus Im menulis pandangannya secara jelas dalam artikel epilog pada buku Teknologi sebagai Sarana Pengembangan Teologi dan Ideologi karya Pemred NU Online H Abdul Mun‘im, (Jakarta, NU Online: 2008 M), halaman 37.


Gus Im yang juga menaruh minat pada sejarah pemikiran Eropa melihat individualisasi masyarakat sebagai dampak modernisasi. Ia melihat peluang yang dapat diambil NU Online untuk mengatasi bahaya individualisme masyarakat modern. Bahkan menurutnya, NU Online harus menjadi ujung tombak modernisasi warga NU tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasar ke-NU-an.


Dalam artikel berjudul, Dimensi Politik dan Ekonomi dalam Pengembangan IT, Gus Im pada 2008 menulis, “Saat ini NU Online bisa menjadi alternatif modernisasi. Kalau modernisasi menjadikan masyarakat mengalami disintegrasi dan individualisasi, maka NU Online bisa menjadikan orang modern tapi sekaligus terintegrasi, sebab orang NU di seluruh dunia bisa diintegrasikan dan diorganisasir oleh NU Online.” (KH Hasyim Wahid dalam Abdul Mun‘im DZ, Teknologi sebagai Sarana Pengembangan Teologi dan Ideologi, [Jakarta, NU Online: 2008 M], halaman 37).


Menurut Gus Im, dengan mengakses NU Online setiap hari warga NU yang ada di Amerika, Inggris, Jepang, bisa merasa dekat dengan ulama NU seperti warga NU di Pacitan dan Tangerang.


Gus Im mengatakan, NU Online harus mengedepankan konten-konten yang mewakili konservatisme NU yang tertuang dalam Qanun Asasi Nahdlatul Ulama, yaitu berpegang teguh pada aqidah Ahlussunnah wal Jamaah yang diformulasikan Imam Asy’ari dan Imam Maturidi; pada empat mazhab fiqih, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali; dan pada prinsip tasawuf Imam Junaid Al-Baghdadi.


“Nah kalau dikembangkan ke depan, NU Online harus kita kembangkan secara benar yang menampilkan ajaran para ulama NU… NU Online harus bisa mewakili ortodoksi NU, agar melalui media ini orang NU bisa melihat NU yang sebenarnya. Karena di tengah masyarakat yang sibuk, orang susah mencari referensi, maka media website ini paling mudah diakses orang modern.” (Hasyim Wahid, 2008 M: 37).


Tetapi bagi kami kru redaksi NU Online, ortodoksi NU bukan hanya menyangkut pandangan keagamaan berdasarkan prinsip-prinsip dasar dalam Qanun Asasi Nahdlatul Ulama, tetapi juga meliputi sikap NU sebagai putusan organisasi yang bersifat kolektif dalam forum-forum NU seperti Muktamar, Munas, Pleno, putusan rapat pengurus harian PBNU, dan putusan lembaga atau banom NU terkait yang otoritatif terkait isu tertentu.


Oleh karena itu, garis kebijakan keredaksian NU Online mengacu pada putusan organisasi yang bersifat kolektif-institusional, bukan pada pengurus NU yang bersifat individu-personal. Dengan demikian, garis kebijakan NU Online menginduk pada NU sebagai organisasi-kolektif, bukan pada pengurus NU yang mungkin saja bersifat subjektif-spekulatif-personal. Pijakan ini yang menurut kami kurang dipahami oleh sebagian orang termasuk pengurus NU sendiri sehingga kebijakan keredaksian sesekali disalahpahami.


Di luar itu, Gus Im juga menaruh perhatian pada pencarian artikel NU Online pada Google. Gus Im berpikir bagaimana NU Online mudah terindeks Google untuk kata pencarian tertentu sehingga pandangan Islam-NU tampil dan mendominasi pada halaman pertama Google agar mudah ditemukan.


“Strategi ‘Googleisasi’ itu yang harus dilakukan NU Online sehingga orang berislam sama dengan ber-NU, sehingga NU Online akan selalu menjadi rujukan orang.” (Hasyim Wahid, 2008 M: 37).
 

Penulis: Alhafiz Kurniawan
Editor: Abdullah Alawi