Risalah Redaksi

Kamus Sejarah Indonesia dan Problem Buku Proyek Pemerintah

Ahad, 25 April 2021 | 09:45 WIB

Kamus Sejarah Indonesia dan Problem Buku Proyek Pemerintah

Kesalahan dalam pembuatan "Kamus Sejarah Indonesia" kali ini mestinya tak hanya menjadi momen pembenahan isi buku melainkan juga sistem dan manajemen di kementerian. 

Bulan Ramadhan 1442 H ini, kita dikejutkan dengan temuan bahwa Kamus Sejarah Indonesia yang diterbitkan oleh Kemendikbud yang tidak memuat lema KH Muhammad Hasyim Asy’ari, pahlawan nasional yang juga pendiri Nahdlatul Ulama. Setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut, nama KH Abdurrahman Wahid juga tidak ada, sementara yang muncul malah nama Abu Bakar Baa’syir yang menolak setia pada Pancasila. 


Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid memberikan klarifikasi bahwa buku tersebut masih berupa draf yang belum final. Namun, dalam kamus yang sebelumnya sudah tersedia dan dapat diunduh—yang kemudian hilang—di rumahbelajar.id, situs sumber belajar terbuka. Buku tersebut sudah memiliki ISBN-nya; terdapat kata pengantar dan tanda tangan Direktur Sejarah Triana Wulandari; dan kata pengantar serta tanda tangan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid. Pertanyaan lain, jika statusnya masih draf, buku diselesaikan dalam tahun anggaran 2017, mengapa tidak diteruskan programnya pada tahun 2018 atau tahun-tahun selanjutnya sampai akhirnya menjadi kontroversi di tahun 2021? Kamus tersebut juga sudah ditawarkan di sejumlah lokapasar, seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee.


Kamus ini memang tidak memuaskan banyak pihak. Sejumlah aktivis gerakan Islam memprotes banyaknya lema tokoh-tokoh yang berafiliasi dengan PKI. Kalangan nasionalis mencurigai penulisan buku ini disusupi oleh pejuang khilafah dengan munculnya entri Abu Bakar Ba’asyir yang ditulis dengan nada netral dalam kalimat Abu Bakar Ba’asyir dituduh menjadi salah satu pemimpin gerakan Jamaah Islamiyah yang dianggap memiliki hubungan dengan Al Qaeda sementara pengadilan telah menjatuhkan vonis karena mendukung terorisme. Sebagai kamus yang diterbitkan oleh lembaga resmi pemerintah, diksi dituduh dan dianggap jelas tidak tepat. 


Kontroversi tersebut mengalami amplifikasi karena berbarengan dengan isu pergantian kabinet sekaligus penggabungan Kementerian Riset dan Teknologi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Isu ini menjadi amunisi untuk memberikan tekanan supaya Nadiem Makarim diganti, sekalipun penulisan kamus ini dilakukan sebelum dia menjabat. 


Soal keriuhan buku yang isinya tidak sesuai dengan paham kebangsaan, ini bukan kali ini terjadi. Beberapa waktu lalu, Kementerian Agama menyatakan merombak ulang isi 155 buku pelajaran agama di sekolah karena ada yang mengandung konten radikalisme dan narasi khilafah yang rentan disalahpahami peserta didik. Beberapa kali juga terjadi kegaduhan terkait ujian sekolah yang soalnya tidak tepat. 


Buku-buku terbitan lembaga pemerintah biasanya dibuat oleh tim ad hoc dari yang memiliki keahlian dalam bidang keilmuan tersebut. Persoalan pertama muncul ketika ada anggota tim yang pandangan hidupnya tidak sesuai dengan ideologi negara. Hal ini terjadi pada penulisan buku-buku yang memiliki potensi multitafsir terkait dengan perbedaan keyakinan atau ideologi seperti buku agama atau sejarah. 


Sebagai contoh, terkait dengan pandangan Islam dalam hubungan antara agama dan negara, kelompok Islam konservatif, liberal, dan moderat memiliki pandangan yang berbeda. Kelompok konservatif mendukung perjuangan negara Islam. Kelompok liberal bahkan sebaliknya, ingin membuat pemisahan yang tegas antara agama dan negara, sementara Islam moderat berusaha mencari titik temu dari dua pandangan ekstrem tersebut. Para penulis, dengan sengaja atau tanpa disadari akan memasukkan pandangannya ke dalam buku resmi pemerintah tersebut. 


Dalam kamus ini, keberagaman anggota tim ini tercermin dari konten yang tidak selaras. Spektrum kiri diwakili oleh kemunculan tokoh-tokoh PKI sementara ideologi kanan direpresentasikan oleh Abu Bakar Ba’asyir. Di sini pentingnya melakukan proses edit konten—mana yang harus diperbaiki, ditambah, dikurangi, bahkan dihapus—yang sayangnya tidak dilakukan dengan baik. 


Halaman sampul yang ada foto KH Hasyim Asy’ari dan Gus Dur tetapi di dalamnya tidak ada dua nama tersebut juga menunjukkan tidak adanya koordinasi yang baik dalam satu tim. 


Anggota tim dengan nama-nama besar yang direkrut biasanya merupakan orang sibuk dengan posisi penting di kampus atau lembaga lainnya. Penulisan buku sejarah ini hanya sebagian kecil dari kesibukannya sehari-hari, bahkan bukan menjadi fokus utama. Demikian pula, para pejabat setingkat dirjen atau direktur di sebuah kementerian, jadwal mereka sudah sedemikian padat. Tak ada waktu untuk membaca secara detail buku setebal 700 halaman. 


Persoalan kedua terkait dengan kapan tanggung jawab berakhir. Dalam perspektif birokrasi negara, buku dianggap selesai jika proses pembuatan selesai dan pejabat yang berwenang sudah menandatanganinya. Aparat birokrasi disibukkan dengan laporan bukti tiket perjalanan, tanda tangan bukti kehadiran, kuitansi honor, dan sebagainya. Jika semuanya lengkap, berarti sudah bisa dipertanggungjawabkan ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 


Pada buku-buku yang disusun oleh penerbit swasta, ukuran keberhasilan sebuah buku ada pada tingkat penjualannya. Selesai cetak adalah sebagian dari awal proses panjang tersebut. Karena orientasinya penjualan, maka penerbit memikirkan kualitas konten, editing, cover, dan lainnya. Promosi juga menjadi bagian penting dari proses tersebut. Kegagalan dalam penjualan, berarti kerugian yang harus ditanggung penerbit.


Pada buku pemerintah, anggaran berasal dari pajak rakyat. Tak ada kerugian apa pun yang ditanggung pejabat jika buku tersebut yang tersebar sedikit dan hanya menumpuk di gudang atau hanya sedikit yang mengunduhnya di internet. Karena buku tersebut disusun oleh tim, maka komitmen penyusun juga tidak sebesar buku yang disusun secara pribadi yang mempertaruhkan integritas personal. 


Dengan demikian, problem buku Kamus Sejarah Indonesia tersebut tidak cukup hanya dengan merevisi total konten yang ada, tetapi juga membenahi sistem supaya kemungkinan kesalahan yang sama tidak terulang kembali di masa depan. Jangan sampai buku pemerintah isinya tidak mencerminkan ideologi dan dasar negara; jangan sampai setelah selesai juga hanya teronggok di gudang berdebu atau hanya sedikit yang mengunduh karena sosialisasi dan promosi yang kurang atau akibat kualitas isi yang buruk. 


Buku-buku terbitan Kemendikbud yang diunggah di rumahbelajar.id memiliki tingkat unduhan yang kecil, banyak yang di bawah 100 unduhan, bahkan tak sedikit yang nol (0) unduhan. Kondisi seperti ini patut dievaluasi ketika para pelajar lebih memilih belajar melalui perusahaan rintisan yang berbayar untuk mendampingi proses mereka belajar dibandingkan dengan mencari sumber gratis dari laman pemerintah.


Terkait dengan Kamus Sejarah Indonesia, jika dibuat dalam format digital dengan sistem pencarian yang mudah dan akses yang cepat hal ini akan sangat membantu para pelajar mengakses materi yang mereka butuhkan. Format Pdf tentu kurang nyaman untuk pencarian dan membutuhkan ukuran file yang besar. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam format daring atau aplikasi yang bisa dibaca secara luring sangat memudahkan masyarakat mencari arti kata yang dibutuhkan. Al-Qur’an digital juga telah banyak tersebar dalam berbagai versi aplikasi. Artinya, masyarakat sudah akrab dalam formal digital. 


Kamus daring, memudahkan penambahan informasi dalam sebuah lema, penghapusan, atau penambahan entri baru yang penting. Dengan demikian tidak dapat dikelola berbasis proyek, namun suatu produk berkelanjutan yang semakin lama entrinya semakin banyak dan kualitasnya semakin baik. Pencetakan fisik, cukup dilakukan pada periode tertentu ketika terdapat perubahan signifikan untuk disebarkan di daerah-daerah yang akses internetnya masih susah. 


Aturan-aturan birokrasi juga perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman, tidak lagi sekadar ada laporan acara, foto dan video, serta tiket dan honornya, melainkan perlu mempertimbangkan dampak dari uang pajak dari rakyat yang dikeluarkan tersebut. Dengan demikian, para birokrat juga akan mengubah cara kerjanya, yang akhirnya akan berdampak lebih baik pada kesejahteraan umum. (Achmad Mukafi Niam)