Ramadhan

Puasa Ramadhan, Qais bin Shirmah, dan Turunnya Al-Baqarah 187

Sel, 7 Mei 2019 | 14:00 WIB

Qais bin Shirmah al-Anshari adalah sahabat Nabi dari kalangan Anshar. Dia sehari-harinya bekerja sebagai seorang buruh di kebun kurma. Meski demikian, Qais bin Shirmah merupakan sahabat yang menjadi ‘penyebab’ turunnya Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 187 tentang ketentuan dan batasan boleh dan tidaknya mengerjakan suatu hal ketika berpuasa di bulan Ramadhan. 

Dikisahkan, suatu ketika Qais bin Shirmah sedang berpuasa Ramadhan. Ketika waktu berbuka tiba, dia pulang ke rumahnya. Ia bertanya kepada istrinya apakah ada makanan atau tidak untuk dibuat berbuka puasa. Istri Qais menjawab bahwa pada saat itu tidak ada makanan sama sekali di rumahnya.

“Maafkan aku, suamiku. Hari ini kita tidak punya makanan apapun. Tunggulah sebentar, aku akan mencarikan makanan untukmu,” kata istri Qais, dikutip buku Pesona Ibadah Nabi (Ahmad Rofi’ Usmani, 2015).

Seketika itu, istri Qais keluar rumah dan mencari sesuatu untuk dimakan suaminya. Sementara Qais bin Shirmah yang seharian sudah bekerja keras tertidur, tanpa sempat menelan sesuap makanan pun. Beberapa saat kemudian, istri Qais datang dengan membawa makanan. Namun melihat suaminya yang sudah tertidur pulas, istri Qais tidak jadi membangunkannya.

“Kasian engkau, suamiku,” gumam istri Qais.

Keesokan harinya, Qais bin Shirmah yang tidak makan dan minum sejak sehari sebelumnya, pingsan. Kejadian ini kemudian dilaporkan kepada Nabi Muhammad. Tidak lama berselang, lalu turunlah Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi:

“Dihalalkan bagi kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian pada malam hari bulan puasa. Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kalian tidak bisa menahan nafsu kalian. Karena itu, Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka kini campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. Dan, makan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datang) malam, tetapi janganlah kalian campuri mereka, sementara kalian sedang beri’tikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah. Karena itu, janganlah kalian mendekatinya. Demikian Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa.”
Memang, belum ada ketentuan yang jelas mengenai batasan-batasan kapan boleh makan-minum dan kapan tidak boleh pada saat awal-awal diwajibkannya puasa Ramadhan. Ada sebagian sahabat yang berpuasa tertidur sebelum berbuka hingga sepanjang malam. Bahkan, ada yang tidurnya kebablasan sampai waktu sahur. Akibatnya, mereka tidak sempat berbuka dan sahur namun harus berpuasa di hari berikutnya sebagaimana yang dialami Qais bin Shirmah tersebut.

Turunnya QS. al-Baqarah ayat 187 tersebut menjadi pedoman bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Terutama tentang waktu berpuasa Ramadhan, yaitu dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Di dalam surat tersebut juga dijelaskan perihal diperbolehkannya berhubungan suami-istri pada malam hari bulan Ramadhan. (Muchlishon)