Pustaka

Syaikhona Kholil Gurunya Para Kiai

Sen, 28 November 2011 | 00:50 WIB

Judul: KH. M. Kholil Bangkalan Biografi Singkat 1835-1925
Penulis    : Muhammad Rifa’i
Editor: Meita Sandra
Penerbit: Garasi Yogyakarta
Cetakan: 2010
Tebal: 148 hlm.
Peresensi: Moh. Riwann Rifa’I, S. Pdi
<>
KH Mustafa Bisri (Gus Mus) menyebutnya, kekeramatan atau karamah yang memancar pada diri Kiai Kholil Bangkalan bukan datang secara tiba-tiba, namun lahir dari proses penempaan diri yang sangat panjang. Semenjak remaja, beliau terbiasa menjalani pola hidup yang sederhana dan memprihatinkan, pahit manis, suka dan duka dalam perjalanan hidupnya ia pernah jalani. Maka tidak berlebihan jika banyak orang memuji Kiai Kholil. Zamakhsyari Dhofier dalam penelitiannya tentang jaringan intelektual Islam Indonesia, Syaikhona Kholil Bangkalan adalah termasuk salah satu tokoh yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.

Selain itu, Syaikhona Kholil termasuk salah satu gurunya para Kiai se  Jawa dan Madura bahkan seluruh Indonesia. Adapan diantara murid-muridnya yang pernah berguru adalah, KH. Hasyim Asy’ari pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (organisasi terbesar di Indonesia), Kiai Abdul Wahab Hasbullah (Jombang), Kiai Bisri Syansuri (Jombang), Kiai Abdul Manaf (Lirboyo-Kediri), Kiai Maksum (Lasem), Kiai Munawir (Krapyak-Yogyakarta), Kiai Bisri Mustofa (Rembang Jateng), Kiai Nawawi (Sidogiri), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Kiai Abdul Majjid (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Abi Sujak (Astatinggi Kebun Agung, Sumenep), Kiai Usymuni (Pandian Sumenep), Kiai Muhammad Hasan (Genggong Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kiai Khozin (Buduran Sidoarjo). Bahkan Ir. Soekarno Presiden RI pertama, menurut penuturan Kiai Asa’ad Samsul Arifin, Bung Karno meski tidak resmi sebagai murid Kiai Kholil, namun ketika sowan ke Bangkalan, Kiai Kholil memegang kepala Bung Karno dan meniup ubun-ubunya (hal.51-53).

Dalam mendidik santri-santrinya, Kiai Kholil sangatlah luar biasa dalam mengemban sebuah amanah dan tanggung jawab sebagai seorang guru. Dari beberapa santri di atas, mayoritas semua menjadi tokoh publik dan bisa dipertanggung jawabkan intergritas keilmuannya sebagai seorang santri. Juga mayoritas santri Kiai Kholil menjadi orang  yang sukses, menjadi seorang Kiai, dan pengasuh pesantren. Dalam mendidik santrinya, Kiai Kholil yang terkenal menekankan sikap zuhud dan ikhlas dalam menuntut ilmu, beliau juga memiliki metode tersendiri dalam menggembleng para santrinya. Sebagai seorang pendidik, beliau tidak mau hanya mengajar biasa saja, yaitu membacakan kitab kuning, menyuruh santri mendengarkan dan menulis pelajaran, kemudian mempelajarinya, ataupun menghafalnya.

Pengabdian dan perjuangan Kiai Kholil sangatlah luar biasa, beliau salah satu Kiai yang ikut membantu membidani berdirinya Jam’iyah Nadlatul Ulama (NU). Walaupun Kiai Kholil tidak pernah masuk dalam struktural NU, tetapi semua tokoh NU mengetahui terhadap sumbangsih Kiai Kholil atas berdirinya organisasi terbesar di Indonesia (NU). Jadi posisi Kiai Kholil dalam sejarah proses berdirinya Nahdlatul Ulama adalah inspirator. Karena latar belakang sejarah berdirinya NU tidaklah mudah. Untuk mendirikannya, para ulama meminta izin terlebih dahulu kepada Allah SWT. Adapun permohonan pertama diprakarsai oleh Kiai Hasyim Asy’ari yakni melalui salat istikharah. Namun petunjuk itu tidak langsung melalui Mbah Hasyim, melainkan melalui Kiai Kholil Bangkalan.

Buku biografi singkat Kiai Kholil Bangkalan ini, juga menjelaskan beberapa karamah-karamah yang beliau miliki. Di antara karamah yang beliau miliki, ke Makkah Naik Kerocok (sejenis daun aren yang dapat mengapung di atas air). Suatu sore di pinggir pantai daerah Bangkalan, Kiai Kholil ditemani oleh Kiai Syamsul Arifin ayahanda dari Kiai As’ad Situbondo. Bersama sahabatnya itu, mereka berbincang-bincang tentang pengembangan pesantren dan persoalan umat Islam di daerah pulau Jawa dan Madura. Persoalan demi persoalan dibicarakan, tak terasa, saking asyik dan enaknya berdiskusi, matahari hampir terbenam. Padahal Kiai Kholil dan Kiai Syamsul Arifin belum melaksanakan kewajiban shalat asar, sementara waktunya hampir habis. Kata Kiai Kholil, tidak mungkin kita melaksanakan shalat asar dengan sempurna dan khusyuk. Akhirnya Kiai Kholil memerintah Kiai Syamsul Arifin untuk mengambil “kerocok”, untuk kita pakai perjalanan ke Makkah. Setelah mendapatkan kerocok, lantas Kiai Kholil menatap ke arah Makkah, tiba-tiba kerocok yang ditumpanginya berjalan dengan cepatnya menuju ke arah Makkah. Sesampainya di Makkah, adzan shalat asar baru saja dukumandangkan. Setelah mengambil wudlu, Kiai Kholil dan Kiai Syamsul Arifin segera menuju shaf pertama untuk melaksanakan shalat asar berjamaah di Masjidil Haram (hal.105).

Dalam buku ini, juga dijelaskan tentang pemikiran kerakyatan Kiai Kholil. Sebagai seorang Kiai dan seorang pemimpin yang dihormati di daerah Bangkalan, Madura bahkan di Jawa, Kiai Kholil menampilkan diri sebagai sosok pemimpin yang memikirkan rakyatnya. Oleh karena itu, beliau tidak menjadi seorang pemimpin dan tidak menjadi seorang intelektual yang hanya berada dalam pesantrennya saja. Beliau terjun langsung untuk mengetahui seperti apa keberadaan rakyatnya dan sedang menghadapi kesulitan seperti apa masyarakatnya. Sosok Kiai Kholil inilah, justru mampu menampilkan sebagai pemimpin yang merakyat, dan mengayomi semua kalangan.

Sejarah biografi Syaikhona Kholil Bangkalan telah banyak orang yang menulisnya, seperti yang ditulis Oleh KH. A. Aziz Masyhuri (99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara), Muhammad Hasyim (Khazanah Khatulistiwa, Potret Kehidupan dan Pemikiran Kiai-Kiai Nusantara). Dan penulis buku ini, kebanyakan data-datanya mengambil dari buku-buku yang telah terbit sebelumnya. Namun buku ini tetaplah menarik untuk dibaca oleh semua kalangan khususnya para santri pondok pesantren. Dengan harapan bisa mentauladani dan mengambil hikmah apa yang pernah dilakukan, diperjuangkan oleh Syaikhona Kholil Bangkalan.  Wallahu  a’lam

Staf Pengajar Nasy’Atul Mutallimin Candi Dungkek Sumenep Madura