Pustaka

Mengenal al-Amtsilah at-Tashrifiyah, Kitab Dasar Belajar Sharaf

Ahad, 29 Maret 2020 | 07:15 WIB

Mengenal al-Amtsilah at-Tashrifiyah, Kitab Dasar Belajar Sharaf

Kitab ilmu sharaf dasar karangan ulama kelahiran Gresik, Jawa Timur ini mendunia.

Nahwu adalah bapaknya ilmu-ilmu, sedangkan Sharaf adalah ibunya. Ungkapan ini populer di lingkungan pesantren. Seolah-olah aforisma tadi menegaskan kepada kita bahwa untuk mendapatkan dan menyingkap ilmu pengetahuan, khususnya ilmu syariah, kita mesti menguasai ilmu nahwu sebagai bapaknya ilmu-ilmu, sedang seorang bapak tidak lengkap tanpa adanya ibunya. Dengan demikian, ilmu sharaf pun sama pentingnya dengan ilmu nahwu sebagai dua induk gramatika Arab.

 

Untuk membaca kitab turats (tradisi) berbahasa Arab, tentu kita memerlukan ilmu nahwu untuk memastikan ketepatan susunan rangkaian kata yang akan berimplikasi pada makna dari sebuah kalimat. Tanpa ilmu nahwu, kita tak akan pernah bisa mencapai makna dalam teks-teks kitab turats. Kendati demikian, ada ilmu lain yang mesti kita kuasai, yaitu ilmu sharaf sebagai pasangan dari ilmu nahwu. Kedua ilmu ini memang berbeda. Jika ilmu nahwu mempelajari perubahan yang terjadi di akhir-akhir kata, sedang ilmu sharaf mempelajari perubahan bentuk kata dari satu bentuk kepada bentuk lainnya. Keduanya saling melengkapi satu sama lain.

 

Banyak sekali kitab-kitab yang membahas ilmu sharaf secara khusus seperti ‘Ilmu Sharf dan Nadh al-Maqshūd, ataupun yang disatukan dengan ilmu nahwu, seperti Awdhah al-Masâlik ilâ Alfiyah Ibn Mâlik, Syarh Qothrunnadâ, Jâmi’ ad-Durūs, dan lain-lain. Namun, kebanyakan kitab-kitab di atas masuk kepada kategori kitab-kitab “kelas berat”, tidak diperkenankan langsung untuk para pemula. Oleh karena itu, umumnya para pelajar pemula di pesantren akan menggunakan kitab al- Amtsilah at-Tashrifiyah dalam mempelajari ilmu sharaf.

 

Kitab al-Amtislah at-Tasrîfiyyah dikarang oleh KH Muhammad Ma’shum bin Ali saat umur beliau 19 tahun. KH Ma’shum lahir di Maskumambang, Gresik, berasal dari Pondok Pesantren Seblak Jombang. Kiai Ma’shum merupakan menantu dari Hadratussyekh KH Hasyim Asyari. Nama lengkapnya adalah Muhammad Ma’shum bin Ali bin Abdul Jabbar al-Maskumambani. Beliau wafat pada tangal 24 Ramadhan 1351 atau 8 Januari 1933. Kiai Ma’shum merupakan ulama yang produktif, di antara karya-karyanya adalah Al-Amtsilah At-Tashrifiyyah, Fathul Qadir, ad-Durus Al-Falakiyah, dan Badi’atul Mitsal.

 

 

Keistimewaan kitab ini dibanding kitab sharaf lainnya ialah susunannya yang sistematis dari mulai tsulatsi mujarrad hingga seterusnya beruntun, dan diawali dari at-tashrîf al-ishtilâhi hingga at-tashrîf al-lughawi. Susunannya yang simpel dan langsung menampilkan contoh-contoh tanpa banyak teori, maka kitab ini layak dijadikan pedoman awal bagi para santri dalam mempelajari ilmu sharaf, terkhusus mubtadi’in (pelajar pemula). Selain kitab ini menjadi pegangan wajib di sebagian pesantren di Indonesia, al-Amtsilah at-Tashrîyah pun menjadi panduan belajar ilmu sharaf dalam kancah akademi internasional.

 

Bab pertama dalam al-Amtsilah at-Tashrîfiyah

 

Mempelajari perpindahan bentuk kata dari satu ke lainnya dengan menggunakan kitab al-Amtsilah at-Tashrîfiyah akan memudahkan kita untuk menimbang dan melacak perubahan kata-kata lainnya yang tidak tercantum di dalam contoh-contoh kitab ini. Hanya saja, terkadang mempelajari perubahan bentuk kata dari contoh-contoh akan membuat kita agak kesulitan ketika menemukan kata yang asing bagi kita, apakah perubahannya sama dengan contoh ini, atau contoh itu. Ya, meskipun hal ini sedikit sekali terjadi.

 

Meski sistematis dan memudahkan, al-Amtsilah at-Tashrîfiyah hanya memuat sedikit penjelasan, dan hal tersebut dapat dimaklumi dari judul kitab ini, al-Amtsilah at-Tasrifiyah yang jika kita artikan adalah “contoh-contoh tashrif (perubahan bentuk kata)”. Meski penjelasan-penjelasan dalam kitab ini sangat sedikit, namun lumayan mencakup bagian-bagian yang penting. Misalnya, disebutkan dalam kitab ini di bab pertama, ats-tsulâts al-mazîd:

 

ينقل الثلاثي المجرد إلى وزن – فعّل – بزيادة التضعيف ١- للتعدية، نحو: فَرَّحَ زَيْدٌ عَمْرًا، فإنّ مجردَه لازم. ٢- وللدلالة على التكثير، نحو: قَطَّعَ زَيْنٌ الحَبْلَ، أي جَعَلَهُ قِطَعًا كثيرةً، ٣- ولنسبة المفعول إلى أصل الفعل، نحو: كَفَّرَ زَيْدٌ عَمْراً، أي نَسَبَهُ إِلَى الكُفْرِ، ٤- ولسلب أصل الفعل من المفعول، نحو: قَشَّرَ زَيْدٌ الرُّمَّانَ، أي نَزَعَ قِشْرَهُ، 5- ولاتخاذ الفعل من الإسم، نحو: خَيَّمَ القَوْمُ، أي ضَرَبُوا الخِيَامَ.

 

Sambutan dari Menteri Agama RI KH Saifuddin Zuhri.

 

Banyak penerbit yang mencetak kitab al-Amtsilah at-Tashrîfiyyah, salah satu yang terkenal ialah Penerbit Salim Nabhan Surabaya, Jawa Timur, dengan warna sampulnya yang populer: kuning. Kitab al-Amtsilah at-Tashrîfiyyah yang diterbitkan Salim Nabhan Surabaya terdiri dari 60 halaman. Pada halaman pertamanya terdapat sambutan berbahasa Arab dari Menteri Agama RI KH Saifuddin Zuhri, tertanggal 25 Juni 1965.

 

Amien Nurhakim, mahasantri Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darussunnah.