Pustaka

Mbah Moen, Mutiara Ilmu dan Kebangsaan dari Sarang Rembang

Kam, 18 Maret 2021 | 05:00 WIB

Mbah Moen, Mutiara Ilmu dan Kebangsaan dari Sarang Rembang

Cover buku biografi KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) Sarang Rembang. (Foto: NU Online/Syarif)

Dua tahun lalu, tepatnya pada 6 Agustus 2019, bangsa Indonesia kehilangan ulama kharismatik sekaligus tokoh bangsa panutan masyarakat, yakni KH Maimoen Zubair atau akrab disapa Mbah Moen. Ia wafat di Makkah Arab Saudi ketika menjalani ibadah haji. Mbah Moen adalah mutiara ilmu dan kebangsaan dari Sarang, Rembang, Jawa Tengah.


Mbah Moen adalah sosok kiai yang sangat dihormati. Ia menjadi salah satu ulama rujukan dalam bidang Fikih. Ia juga sering menjadi referensi ketika terjadi masalah besar atau isu yang sedang menjadi bahasan banyak orang. Jejak hidupnya penuh keteladanan meniru kekasihnya, Nabi Muhammad SAW.


Buku ini dirangkai dengan dua belas tulisan yang cukup sederhana, mengalir, dan sistematis. Mulai dari latar belakang keluarga hingga quotes inspiratif.


Kiai Maimoen bin Kiai Zubair bin Kiai Dahlan bin Warijo bin Munandar lahir di Karang Mangu, Sarang, Rembang pada Kamis Legi bulan Sya'ban 1347 H yang bertepatan dengan 28 Oktober 1928.


Ayahnya, KH Zubair Dahlan adalah sosok guru yang melahirkan banyak ulama di Indonesia meski tidak mempunyai pesantren sendiri. Kiai Zubair merupakan murid pilihan Syekh Said al-Yamani serta Syekh Hasan al-Yamani al-Makki.


Ibunda Kiai Maimoen, yaitu Nyai Mahmudah adalah putri Kiai Ahmad Syu'aib, ulama kharismatik asal Sarang. Dengan demikian, Kiai Maimoen Zubair merupakan keturunan ulama dari jalur ayahanda maupun ibundanya.


Maimoen kecil mendapatkan bekal pendidikan agama dari sang ayah, Kiai Zubair. Kematangan ilmunya tidak dapat diragukan karena sedari kecil Kiai Maimoen dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum beranjak remaja, ia diasuh langsung oleh ayahandanya untuk menghafal dan memahami ilmu shorof, nahwu, mantiq, balaghah, dan berbagai ilmu syara' lainnya. (hlm 3)


Anom Whani Wicaksana (AWW), penulis buku ini menginformasikan bahwa pada usia 17 tahun, Mbah Moen sudah mampu menghafal kitab Jurumiyah, Imrithi, Alfiyah Ibnu Malik, Matan Jauharatut Tauhid, Sullamul Munauraq, dan Rahabiyyah fil Faraid. (hlm 5)


Mendirikan pesantren
Pada 1977, KH Maimoen Zubair mengembangkan tradisi pesantren dengan mendirikan Pesantren Putri Al-Anwar. Ia memulainya dengan membuat sebuah bangunan di atas sebidang tanah yang dimilikinya dan hasil pembelian tanah milik tetangga.


Ia termotivasi untuk mendirikan pesantren setelah melihat kondisi masyarakat sekitar pada saat itu yang belum rutin mengerjakan shalat lima waktu serta minimnya kemampuan mereka dalam membaca Al-Qur’an.


Mbah Moen menunjukan keramahan, kesederhanaan, dan keislaman yang baik. Ia juga tetap aktif mengajar dan banyak menghasilkan karya, seperti: al-Ulama al-Mujaddidun Rahimahullahu Ta'ala wa Mujal Tajdidihim wa Ijtahadihim, Taqrirat, Masalakut Tanassuk, Nusushul Akhyar, Tarajim Masyayikh al-Ma'had ad-Diniyyah bi Sarang al-Qudama'. (hlm 95)


Buku setebal 160 halaman ini juga menguraikan tentang pesan dan nasehat KH Maimoen Zubair. Banyak pesan Mbah Moen yang sangat berguna bagi kehidupan kita. Pesan-pesannya itu sederhana, bijak, dan menyentuh kalbu. Beberapa pesannya terasa menohok, tetapi tetap disampaikannya secara santun dan menyejukkan.  


Mbah Moen menyampaikan bahwa manusia hidup hanyalah untuk ibadah. Esensi dari ibadah itu sendiri adalah cara manusia melakukan taqarrub (pendekatan) kepada Allah SWT. (hlm 100)


Mbah Moen memberikan penjelasan tentang kelanggengan cinta. Menurutnya, pernikahan adalah ibadah yang persyariatannya telah dimulai sejak manusia pertama, yakni Nabi Adam AS dengan Hawa. Allah SWT yang menjadi wali Hawa dalam pernikahan pertama manusia tersebut.


Pernikahan menjadi contoh suatu ibadah yang mengandung dua unsur sekaligus, yakni lahir hingga batin, sejak dunia hingga akhirat. Dengan demikian, berbeda dengan ibadah lainnya, yaitu legitimasi syariat pernikahan tidak mengenal tanggal kadaluwarsa. Bahkan, usianya lebih panjang daripada usia sejarah manusia di muka bumi. (hlm 102)


Mbah Moen sering mengingatkan agar kita tidak mengabaikan kebaikan kecil. Beliau berkata," jika engkau melihat seekor semut terpeleset dan jatuh di air, maka angkat dan tolonglah. Boleh jadi, itu menjadi penyebab ampunan bagimu di akhirat. Jika engkau menjumpai batu kecil di jalan yang bisa mengganggu jalannya kaum muslimin, maka singkirkanlah. Barangkali, itu menjadi penyebab dimudahkannya jalanmu menuju surga.


Jadi, kata Mbah Moen, jangan pernah meremehkan kebaikan. Bisa jadi, seseorang itu masuk surga bukan karena puasa sunahnya atau panjang shalat malamnya. Akan tetapi, bisa jadi karena akhlak baik dan sabarnya ketika musibah datang melanda. (hlm 104)


Quotes inspiratif
Buku ini terasa indah dan menyejukkan ketika pembaca memasuki bagian tulisan quotes inspiratif. Kata-kata Mbah Moen yang inspiratif dan penuh kebajikan. (hlm 107)


Ora kabeh wong pinter kuwi bener (tidak semua orang pintar itu benar).
Ora kabeh wong bener kuwi pinter (tidak semua orang benar itu pintar).
Akeh wong pinter, ning ora bener (banyak orang pintar, tetapi tidak benar).
Akeh wong bener, senajan ora pinter (banyak orang yang benar, meskipun tidak pintar).


Menjadi guru tidak perlu dengan niat membuat pintar orang lain. Nanti, engkau hanya marah ketika melihat muridmu tidak pintar, ikhlasnya pun hilang. Terpenting, niat menyampaikan ilmu dan mendidik dengan baik. Apakah muridmu kelak menjadi pintar atau tidak, serahkanlah kepada Allah SWT. Doakan saja terus menerus agar muridmu mendapat hidayah. (hlm 117)


Sampeyan sekolah model apa wae, seng penting ojo ninggalno ngaji (Kau sekolah yang bagaimana pun, yang penting jangan tinggalkan mengaji).


Al-Qur’an keterangane kadang dibolan-baleni. Mulane wong kok bosen karo Al-Qur’an berarti lemah imane (terkadang, keterangan Al-Qur’an diulang-ulang. Maka jika ada orang yang bosan terhadap Al-Qur’an, maka berarti lemah imannya) (hlm 147)


Ora do iso moco kitab kok arep gawe khilafah (tidak bisa membaca Kitab Kuning, kok mau membuat khilafah).


Omah nek dinggoni sholat sunnah jembar rizqine (Rumah itu dipakai untuk shalat sunnah, maka rezekinya luas) (hlm 153)  


Penerus perjuangan
Kini, perjuangan dan pengabdian Mbah Moen diteruskan oleh putra-putri beliau, antara lain: KH Abdullah Ubab, KH Muhammad Najih, KH Madjid Kamil, Gus Abdul Ghofur, Gus Abdul Rouf, Gus M Wafi, Gus Yasin, Gus Idror, Ning Sobihah, dan Ning Rodhiyah. (hlm 156)


KH Maimoen Zubair aktif berorganisasi di tengah masyarakat. Beberapa jabatan yang pernah diembannya, yaitu: Mudir ‘Aam Madrasah Ghazaliyah dari awal berdirinya hingga sekarang. Nadhir Masjid Jami' Sarang. Ketua Badan Pertolongan atau Sosial di Sarang (1967-1975). Anggota DPRD Tingkat II Rembang (1971-1978), Anggota MPR RI utusan Jawa Tengah (1987-1999).


Kemudian, Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah (1985-1990). Ketua Jam'iyyah Thariqah NU sejak 2000. Ketua Majelis Pertimbangan PPP (1995-1999). Ketua Majelis Syariah PPP sejak 2004. Utusan Indonesia untuk Majelis Ijtima Ulama Nusantara II di Malaysia pada 2007. Anggota International Conference of Islamic Scholars (ICIS) dari Indonesia yang diutus ke Uzbekistan pada 2010. (halaman 157.


Buku ini merupakan gambaran kehidupan Mbah Moen yang bersahaja dan penuh pencerahan. Pencerahan dari Mbah Moen itu selalu dinantikan banyak orang. Nasihat-nasihatnya selalu terasa menyejukkan dan mendinginkan suasana. Ia bukan saja dihormati di kalangan pesantren. Akan tetapi, beliau juga disegani di kalangan pemerintahan.    


Buku sederhana nan istimewa ini sangat dibutuhkan dan dijadikan rujukan bagi para santri, alumni pesantren, aktivis, akademisi. Bahkan, pemerhati pesantren serta semua kalangan latar belakang sosial apapun di Indonesia. Buku ini juga bisa dijadikan sumber spirit motivasi oase kehidupan. Selamat membaca!


Peresensi: Akhmad Syarief Kurniawan
Warga NU, tinggal di Kabupaten Lampung Tengah


Identitas Buku

Judul        : Mbah Moen, Kiai Kharismatik Penuh Inspirasi
Penulis     : Anom Whani Wicaksana
Tebal        : iii + 160 Halaman
Cetakan   : 2019
Penerbit   : C – Klik Media, Bantul, Yogyakarta
ISBN        : 978-623-7333-15-9