Pustaka

Mal-Hayat li Ahlil Mamat, Polemik Wahdatul Wujud di Nusantara Abad Ke-17

Kam, 16 Februari 2017 | 00:30 WIB

Ini adalah halaman pertama dan kedua dari kitab “Mâl-Hayât li Ahlil-Mamât” karangan ulama besar Nusantara di Kesultanan Aceh asal Rander (Gujarat, India), Syaikh Nûr al-Dîn Muhammad ibn ‘Alî ibn Hasanjî ibn Hamîd al-Rânîrî al-Syâfi’î (dikenal dengan Nuruddin al-Raniri, w. 1069 H/ 1658 M).

“Mâl-Hayât li Ahlil-Mamât” berisi tentang kajian tasawuf berdasarkan “papakem” resmi (sunni), sekaligus meluruskan pandangan tasawuf filsafat (teosofi) yang berkecenderungan pada paham pantheisme (wahdatul wujud) dan pada masa itu berkembang dengan cukup semarak di wilayah Kesultanan Aceh dan wilayah “Buldân Taht al-Rîh” (Negeri Bawah Angin atau Nusantara) lainnya.

Kitab “Mâ al-Hayât” ini, bersama kitab-kitab setema karangan Syaikh Nuruddin al-Raniri lainnya seperti “Hujjah al-Shiddîq li Daf’ al-Zindîq”, “Fath al-Mubîn ‘alâ al-Mulhidîn”, dan “al-Tibyân fî Ma’rifah al-Adyân”, memiliki pengaruh yang sangat besar dalam upaya membendung perkembangan paham Pantheisme di Nusantara, untuk kemudian merubah alur paham dan kajian tasawuf Islam ke arah yang resmi (ortodoks), yaitu tasawuf sunni.

Paham Pantheisme (Wahdatul Wujud, atau bersatunya eksistensi [dzât] manusia dan alam semesta dengan Tuhan) telah berkembang di Kesultanan Aceh dan beberapa wilayah Nusantara lainnya sekitar paruh pertama abad ke-17 M. Di antara ulama Aceh pada masa itu yang menyokong paham ini adalah Syaikh Hamzah al-Fanshûrî (w. ?) dan Syaikh Syams al-Dîn al-Samathrânî (Syamsuddin Sumatrani, w. 1039 H/ 1630 M). Di Jawa, terdapat tokoh yang dikenal dengan Syaikh Siti Jenar yang juga menjadi penghulu paham ini.

Berbeda dari Syaikh Siti Jenar di Jawa yang hingga saat ini keberadaannya masih misterius dan karya-karyanya belum terlacak, kedua tokoh dari Kesultanan Aceh, yaitu Syaikh Hamzah Fansuri dan Syaikh Syamsuddin Sumatrani, sosok dan jejak intelektualnya dapat dilacak dengan sangat baik. Karya-karya keduanya masih dapat dijumpai, sehingga memudahkan peneliti untuk mengkajinya.

Di antara karya Syaikh Hamzah Fansuri yang memuat pandangan-pandangan tentang teosofi dan paham pantheismenya adalah “Syarâb al-‘Âsyiqîn” (Minuman Para Perindu). Sementara pandangan serupa dari Syaikh Syamsuddin Sumatrani dapat ditelisik dalam karyanya yang berjudul “Mirât al-Muhaqqiqîn” (Cermin Para Ahli Kebenaran).

Baik Syaikh Hamzah Fansuri ataupun Syaikh Syamsuddin Sumatrani, kedua-duanya memiliki kedudukan tinggi dan pengaruh besar di dalam Kesultanan Aceh, baik di dalam lingkungan bangsawan kerajaan atau pun masyarakat awam. Syaikh Syamsuddin Sumatrani adalah mufti, qadhi, dan imam besar Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (memerintah 1607-1636 M).

Ketika Syaikh Syamsuddin Sumatrani wafat pada 1630 M, lalu disusul oleh wafatnya Sultan Iskandar Muda pada tahun 1636 M, peran dan pengaruh Syaikh Nuruddin al-Raniri mulai mewarnai dan menancap di Kesultanan Aceh, dengan paham dan pemikiran yang jauh berbeda dari Syaikh Syamsuddin Sumatrani. Syaikh Nuruddin al-Raniri membawa faham tasawuf Islam yang resmi dan “lempang” (sunni), tidak “liyan” dan “meliuk-liuk” seperti Syaikh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani sebelumnya.

Tidak banyak sumber-sumber rujukan yang memuat data dan informasi tentang sosok Syaikh Nuruddin al-Raniri sebelum kedatangannya ke Aceh. Yang jelas, beliau adalah orang India, berasal dari Ranir (Rander), sebuah kawasan pesisir di wilayah Gujarat, India. Melihat jejak intelektual dan karya-karya besarnya, bisa dipastikan jika Al-Raniri adalah sosok ulama yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni, serta menguasai banyak bahasa; Arab, Persi, Gujarati, Melayu, dan Aceh.

Al-Raniri lalu tiba di Kesultanan Aceh pada tahun 1636 M dan mengajar di sana. Reputasinya segera melejit dan gaung intelektualnya membahana. Nama besarnya segera sampai di lingkungan Kesultanan Aceh. Sultan Aceh yang memerintah waktu itu, yaitu Sultan Iskandar Tsani (memerintah 1636-1641 M), mendaulat Syaikh Nuruddin al-Raniri menjadi mufti, qadhi, dan imam besar kesultanan.

Karir al-Raniri sebagai mufti, qadhi, dan imam besar Kesultanan Aceh terus berlanjut selepas kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641 M, yang mana tampuk kekuasaan diteruskan oleh istrinya, Sultanah Tajul Alam Shafiyatuddin Syah Berdaulat Zhillullah fil ‘Alam (Sultanah Shafiyatudin, memerintah 1642-1675 M).

Reformasi besar-besaran dan radikal terhadap paham keagamaan di lingkungan Kesultanan Aceh dilakukan dengan sangat serius oleh al-Raniri. Paham “wahdatul wujud” dibersihkan hingga akar-akarnya. Ia pun banyak menganggit kitab terkait masalah ini, di antaranya adalah “Mâl-Hayât li Ahlil-Mamât” (yang berarti “Mata Air Kehidupan bagi Orang-Orang yang Mata Hatinya Mati Karena Kesalahan Faham Agama”).

Ada beberapa naskah salinan dari kitab “Mâl-Hayât li Ahlil-Mamât” ini. Salah satunya adalah salinan yang tersimpan dan menjadi koleksi Drs. Nurdin AR, salah seorang kolektor manuskrip dan naskah-naskah tua dari Banda Aceh. Nurdin memiliki 3 koleksi naskah salinan atas kitab “Mâ al-Hayât”. Masing-masing dengan nomor kode MINA (Manuskrip Islam Nurdin AR) 20, MINA 24, dan MINA 56.

Nah, gambar di atas adalah gambar dari halaman pertama dan kedua dari naskah bernomor-kode MINA 56. Naskah tersebut berukuran 20x14 cm dan berjumlah 26 halaman di mana terdapat 21 baris di hampir setiap halamannya.

Adalah guru saya, Prof. Dr. Sangidu, guru besar Sastra Arab di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang mengkaji kitab “Mâ al-Hayât” sebagai bahan utama disertasi beliau. Hasil kajian tersebut kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul “Wachdatul Wujud; Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Samatrani dengan Nuruddin ar-Raniri” pada tahun 2003 oleh Gama Media (Yogyakarta). Terdapat beberapa lampiran foto naskah kitab “Mâ al-Hayât” dalam buku tersebut, salah satunya adalah foto beberapa halaman naskah MINA 56. Dari sanalah saya kemudian mengambil gambar halaman naskah tersebut.

“Mâ al-Hayât” ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu beraksara Jawi. Dalam naskah salinan MINA 56, redaksi bahasa Arab ditulis dengan tinta berwarna merah, lalu diterjemahkan secara interlinier dalam bahasa Melayu dan ditulis dengan tinta berwarna hitam.

Syaikh Nuruddin al-Raniri tidak menyebutkan hari, tanggal, dan tahun ditulis dan diselesaikannya kitab “Mâ al-Hayât”. Namun, di sana beliau menyebutkan jika kitab tersebut ditulis atas prakarsa dari Sultanah Syafiyatuddin. Dalam kata pengantarnya, al-Raniri menulis;

فأشارت الي سيدتنا المكرمة ومولاتنا المعظمة بنت السلطان بن السلطان وابنة الخاقان بن الخاقان سر سلطانة تاج العالم صفية الدين شاه بردولت ظل الله في العالم

(Maka telah memerintahkan kepadaku tuan ratu kita yang mulia, junjungan kita yang agung, anak puteri dari seorang sultan anak seorang sultan, anak putri dari seorang khâqân [penguasa, bahasa Turki] anak seorang khâqân, Seri Sultanah Tajul Alam Shafiyatuddin Syah Berdaulat Zhillullâh fil ‘Alam [Bayang-Bayang Allah di Dunia]).

Al-Raniri kemudian melanjutkan;

أن أجمع رسالة تبين مذهب الصوفي الموحدي من مذاهب الوجود الملحد، ليظهر الحق من الباطل وتميز المشبهة والعاطل. فألفت هذه الرسالة ولو هي في الحجمة القليلة المقدار ولكنها في الفوائد جليلة الأنوار.

(Agar aku mengarang sebuah risalah yang menjelaskan duduk perkara madzhab sufi muwahhidî [wahdatul wujud/ pantheisme], dari madzhab wahdatul wujud yang mulhid [atheis]. Agar yang haq menjadi tampak daripada yang batil, dan agar yang samar dan kabur pun menjadi jelas. Maka aku pun menulis risalah ini yang meskipun ukurannya kecil, namun faidahnya sangat agung dan sejelas cahaya).

Sebelumnya, al-Raniri menjelaskan jika paham “wahdatul wujud” yang dipandangnya menyimpang itu telah banyak tersebar di kalangan umat Muslim di kawasan “Negeri Bawah Angin” (Nusantara). Banyak pula para penyokong paham ini, hingga menjadikan masyarakat awam pun kebingungan akan pandangan keagamaan mereka. Al-Raniri menulis;

فلما ظهر قوم من الوجودية الملحدة الزنادقة شاع مذهبهم في كثير بلدان تحت الريح، وادعو كما ادعى شداد ونمرد وفرعون بل أقبح من ذلك. وقالوا إن الله نفسنا ووجودنا و(نحن) نفسه ووجوده.

(ketika sekelompok orang penganut paham wujudiyyah [wahdatul wujud] yang mulhid dan zindiq, dan pandangan mereka ini telah tersiar di banyak negeri bawah angin. Mereka mengajarkan apa yang dikatakan oleh Syadad, Namrud, dan Fir’aun, bahkan mereka lebih buruk dari itu semua. Mereka berkata bahwa Allah adalah diri kami dan wujud kami, dan [kami] adalah diri Allah dan wujud Allah).

Sayangnya, karir al-Raniri terjegal di tengah jalan, dan proyek reformasi pemikiran keagamaannya pun tersendat. Beliau kembali tergeser oleh sebagian tokoh paham “wahdatul wujud” yang masih tersisa, dan kembali mendapatkan panggung di lingkungan kesultanan. Al-Raniri pun memutuskan untuk pulang ke kampong halamannya di Rander, India. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1054 H (1644 M). Beliau meninggal di India pada 22 Dzulhijjah 1068 Hijri (21 September 1658 M).

Meski demikian, proyek reformasi keagamaan al-Raniri yang hendak mengembalikan paham keagamaan kepada jalur resmi (Sunni) dilanjutkan kembali oleh penerusnya, yaitu Syaikh Abdul Rauf Singkel (Syaikh ‘Abd al-Raûf ibn ‘Alî al-Fanshûrî al-Sinkilî al-Jâwî, 1615-1693 M). (A. Ginanjar Sya’ban)