Syariah

Puasanya Orang-orang Shalih menurut Imam Al-Ghazali

Rab, 5 Mei 2021 | 09:00 WIB

Puasanya Orang-orang Shalih menurut Imam Al-Ghazali

Ilustrasi puasa. (Foto: NU Online)

Dalam pandangan Imam Al-Ghazali, secara spiritual, manusia dibagi dalam tiga strata. Semakin tinggi stratanya, semakin tinggi pula bobot spiritualnya. Strata pertama untuk kalangan awam, strata kedua untuk kalangan khusus (orang-orang shalih), dan strata ketiga (tertinggi) untuk khususul khusus (wali, nabi).


Pada tiap-tiap strata, Al-Ghazali memberikan spesifikasi masing-masing. Sesuai standar spiritual yang cocok dalam menjalankan ibadah, termasuk dalam menjalankan ibadah puasa.


Dalam ibadah puasa, masih menurut Al-Ghazali, level awam adalah puasanya orang yang hanya menahan lapar dan dahaga sampai waktu maghrib tiba. Sementara level khusus adalah mereka yang tidak sebatas menahan lapar dan dahaga, tetapi juga seluruh anggota tubuh dari segala perbuatan maksiat. Al-Ghazali mengistilahkan, ini adalah puasanya orang-orang shalih (shalihin).


Sedangkan puasa bagi level ketiga, kalangan khususul khusus bukan hanya menjaga diri dari perbuatan maksiat secara zahir, tetapi juga harus menjaga diri dari maksiat batin. Jelasnya, hati dan pikiran tidak boleh memikirkan perkara-perkara duniawi. Pikiran dan hatinya tidak boleh berpikir apapun kecuali tertuju kepada Allah swt.


Pada level ini, sekali saja hati dan pikiran terbersit hal-hal selain Allah, maka puasanya batal. Puasa tingkat ini adalah puasa para kekasih Allah, termasuk para nabi-Nya.


Menariknya, penjelasan tiga strata puasa yang ditulis rinci dalam magnum opusnya, Ihya ‘Ulumiddin, tidak terlalu panjang membahas strata pertama dan strata ketiga. Sementara strata kedua (puasanya orang-orang shalih) Al-Ghazali membahas detail.


Menurut Al-Ghazali, orang-orang shalih berpuasa dengan tidak sebatas menahan lapar dan dahaga. Al-Ghazali menjelaskan enam spesifikasi puasanya orang-orang shalih, berikut penjelasannya:


Pertama, bagi orang-orang shalih, dalam berpuasa harus menjaga pandangan. Harus menjaga kedua mata agar tidak “jelalatan” melihat perkara-perkara maksiat. Bahkan, tidak boleh melihat sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian hati, sehingga lalai dari mengingat Allah.


Al-Ghazali mengutip satu hadits Nabi saw,


النظرة سهم مسموم من سهام إبليس لعنه الله فمن تركها خوفاً من الله آتاه الله عز وجل إيماناً يجد حلاوته في قلبه


Artinya, “Pandangan adalah anak panah yang beracun dari Iblis terkutuk. Barangsiapa yang menjauhinya karena takut kepada Allah, maka Allah akan menganugerahi manisnya keimanan dalam hatinya.”


Kedua, menjaga lisan dari ucapan tanpa makna, berbohong, ghibah, mengadu domba, berkata kasar dan ucapan yang memicu pertikaian.


Untuk poin kedua ini, Al-Ghazali mengutip kisah dua perempuan yang mengadu kepada Rasulullah karena tidak kuat berpuasa. Mendengar laporan tersebut, Nabi berkata bahwa sejatinya kedua perempuan itu sudah batal terlebih dahulu karena telah mengumpat (ber-ghibah).


Benar saja, kemudian kedua perempuan itu memuntahkan segumpal darah dan daging mentah dari mulutnya. Dengan ghibah, keduanya telah memakan daging orang yang di-ghibahi-nya. Muntahlah daging itu dari kedua mulut mereka.


Ketiga, menjaga pendengaran dari hal-hal yang diharamkan. Menurut al-Ghazali, segala sesuatu yang haram diucapkan, juga haram untuk didengarkan. Termasuk di antaranya mendengarkan orang sedang berghibah.


Dalam satu hadits, Rasulullah saw bersabda,


المغتاب والمستمع شريكان في الإثم


Artinya, "Orang yang mengumpat dan orang yang mendegarkannya, sama-sama mendapatkan dosa.”


Keempat, menjaga semua anggota tubuh, tangan, kaki dan lain-lian, dari perbuatan dosa. Termasuk juga menghindari berbuka puasa dari makanan syubhat (tidak jelas status halal atau haramnya).


Menurut al-Ghazali, saat orang berpuasa, berarti sedang berupaya melumpuhkan nafsu dalam diri yang menjadi pintu masuk utama bagi setan. “Buat apa jika seharian menjaga perut agar tetap lapar, tapi saat berbuka, segala makanan disantap sampai kekenyangan!” tegasnya.


Al-Ghazali menganalogikan, orang yang seharian menahan lapar, tapi saat berbuka menyantap segala hidangan secara berlebihan, ibarat orang yang membangun sebuah gedung, tapi ia hancurkan kota di mana gedung itu berdiri.


Al-Ghazali melanjutkan, makanan halal akan berbahanya jika dimakan terlalu berlebihan. Sedangkan puasa adalah upaya untuk meminimalisasi makanan itu. Singkatnya, puasa itu adalah obat. Jika saat berbuka dengan makan berlebihan, sama saja menghindari obat dengan memilih racun.


Kelima, tidak terlalu berlebihan saat berbuka puasa, sekiranya perut tidak sampai kekenyanyan. Menurut al-Ghazali, perut yang paling Allah benci adalah perut yang terlalu kenyang, meskipun dipenuhi oleh makanan halal.


Pada bagian inilah, Al-Ghazali mengritik kebiasaan masyarakat yang jika berbuka puasa menghimpun segala rupa makanan saat berbuka demi memuaskan nafsu perutnya. Rupanya kebiasaan “balas dendam” saat berbuka puasa seperti ini sudah menjadi kebiasaan sekitar 910 tahun yang lalu. Saat al-Ghazali menulis kritik ini.


Keenam, setelah berbuka puasa, hendaklah hatinya berada dalam kondisi dipenuhi rasa harap dan cemas. Jadi, disamping mengharapkan diterima puasanya, juga harus dibayangi rasa cemas jika ternyata puasanya tidak diterima oleh Allah swt. Kita tidak tahu, apakah puasa kita diterima atau tidak.


Terakhir, Al-Ghazali menutup dengan kutipan ulama yang cukup menohok,


كم من صائم مفطر وكم من مفطر صائم


Artinya, “Banyak orang berpuasa, tapi sejatinya tidak. Pun sebaliknya, banyak orang tidak berpuasa, tapi sesungguhnya dialah orang yang berpuasa.”


Dari kutipan di atas, Al-Ghazali memaparkan, orang yang berpuasa tapi sejatinya tidak adalah mereka yang menahan lapar dan dahaga, tapi maksiat masih lancar jaya. Sedangkan mereka yang tidak berpuasa, tapi sejatinya berpuasa adalah mereka yang menghindari dosa, kendati tidak menahan lapar dan dahaga. (lihat Ihya ‘Ulumiddin, juz 1, hal. 272)


Penjelasan Al-Ghazali terkait spesifikasi puasa orang-orang shalih di atas harus menjadi bahan renungan. Selama ini manusia hanya memaknai puasa dari sudut pandang fiqih; sebatas menahan lapar dan dahaga, tanpa menahan puasa dari perbuatan-perbuatan maksiat. Sementara menurut Al-Ghazali, puasa yang demikian tidak mampu meraih dan merasakan esensi puasa itu sendiri.


Muhammad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon