Parlemen

Komisi IX DPR Desak Pemerintah Tingkatkan Proporsi Skema Vaksin Covid-19

Sab, 12 Desember 2020 | 07:00 WIB

Komisi IX DPR Desak Pemerintah Tingkatkan Proporsi Skema Vaksin Covid-19

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh. (Foto: dpr.go.id)

Jakarta, NU Online

Wakil Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Nihayatul Wafiroh mengatakan bahwa pengadaan vaksin tidak murni hanya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI yang bekerja. Tetapi juga ada keterlibatan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).


Oleh karena itu, pada Kamis (10/12) lalu, Komisi IX mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Senayan. Pada RPD tersebut hadir pula Menkes RI, Ketua Satgas Penanganan Covid-19, Ketua Satgas Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Direktur Utama PT Bio Farma. 


“Jadi Komisi IX baru rapat ketiga kalinya soal vaksin. Kami sempat terkaget-kaget juga saat kemarin tiba-tiba vaksin sudah datang. Makanya kami memanggil Kemenkes, BPOM, BNPB, Bio Farma, dan Wamen BUMN,” kata Ninik, sapaan akrabnya, dalam tayangan galawicara bertajuk Bincang Aspirasi Rakyat, di Kanal Youtube 164 Channel, pada Jumat (11/12) malam. 


Ia kemudian membacakan hasil kesimpulan dari RPD dengan berbagai pemangku kebijakan soal vaksin. Pertama, Komisi IX mendesak Kemenkes RI serta Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk meningkatkan proporsi skema vaksin. 


Untuk diketahui, kebijakan pemerintah soal pemberian vaksinasi ini cukup kontroversi dengan skema 70-30. Artinya 70 persen vaksin akan dilakukan secara mandiri alias berbayar dan 30 persen lainnya adalah program pemerintah bersubsidi.


“Kemarin kita mendiskusikan bagaimana kalau posisinya di balik? Jadi 70 persen ini adalah program vaksinasi yang dibiayai pemerintah sementara 30 persen yang mandiri. Kita berfikir ini untuk masyarakat. Jadi negara tidak boleh menjadikan ini sebagai jual-beli atau komersialisasi,” tutur Ninik.


Selain itu, dalam rangka persiapan vaksinasi Covid-19, Komisi IX DPR mendesak Kemenkes RI untuk mengupayakan berbagai hal. Pertama, memperluas target populasi yang akan divaksinasi. Termasuk kelompok umur 18 tahun dan di atas 59 tahun.


Sebab diketahui, hal lain yang menjadi kebijakan pemerintah dalam melakukan vaksinasi adalah dengan memprioritaskan kelompok usia 18 hingga 59 tahun. Kebijakan ini dirasa kurang tepat sehingga mesti dilakukan peninjauan ulang.


Kedua, Kemenkes juga harus memastikan kesiapan sistem pemantauan (surveilans) Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) secara efektif. Ketiga, Kemenkes diminta untuk memastikan validitas dan realibilitas data penerima vaksin yang dikumpulkan dalam sistem Satu Data Vaksinasi Covid-19, bersama dengan pemangku kepentingan yang lain. 


Komisi IX DPR RI meminta kepada seluruh seluruh pihak yang terlibat dalam RDP pada Kamis lalu itu untuk memberikan jawaban tertulis untuk disampaikan paling lambat pada 17 Desember mendatang.


Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2ML) Direktorat Jenderal (Ditjen) P2P Kemenkes RI dr Siti Nadia Tarmizi menyatakan, pihaknya akan melakukan perhitungan kembali terkait skema vaksinasi antara program pemerintah bersubsidi dengan mandiri. 


“Tentu kita tetap memperhatikan aspek-aspek yang menjadi tanggung jawab pemerintah seperti tenaga kesehatan, pelayan publik, serta kelompok rentan akan menjadi prioritas utama,” tuturnya. 


“Artinya akan ada peninjauan kembali dari porsi skema 70-30 (menjadi 70 persen program bersubsidi pemerintah dan 30 persen mandiri). Pak Menkes juga sudah janji dengan Komisi IX,” lanjut Siti.


Kemenkes, kata Siti, sedang menunggu uji klinis tahap ketiga. Sebab, pihaknya tidak ingin bahwa akses vaksin untuk rakyat justru menjadi kendala pada waktu pelaksanaannya nanti. Proses vaksinasi didasarkan pada Perpres Nomor 99 Tahun 2020 tentang  Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Covid-19.


“Lalu pelaksanaan vaksin ini menunggu dari persetuan BPOM dan sertifikasi terkait kehalalannya. Kami dari Kemenkes, dua hal ini, sebagai pelaksana vaksinasi menunggu hasil-hasil itu diputuskan,” katanya. 

Target road map atau peta jalan vaksin hingga mendapatkan izin edar, kata Siti merujuk pernyataan Kepala BPOM yaitu akan diperkirakan beredar pada Januari 2021. 


“Sebagai tahap awal, insyaallah vaksin ini bisa segera fatwa halalnya. Tentu sudah kita sampaikan bahwa yang akan menjadi prioritas ini adalah tenaga kesehatan di tujuh provinsi di Jawa dan Bali,” ungkapnya.


Tujuh provinsi itu adalah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Siti beralasan bahwa di tujuh provinsi tersebut memiliki kasus Covid-19 yang sangat tinggi dan sebagian besar adalah zona merah. 


“Jadi tenaga kesehatan di tujuh provinsi ini yang akan menjadi prioritas utama dari vaksinasi ini,” jelasnya.


Rencana vaksinasi Covid-19


Siti menjelaskan bahwa vaksinasi Covid-19 akan dilakukan dua kali per hari dengan jarak minimal 14 hari. Namun ia menyatakan bahwa rentang waktunya itu pun masih menunggu dari hasil uji klinis tahap ketiga dari BPOM. 


“Tetapi yang pasti dengan sistem informasi satu data ini dan kita menggunakan atau bekerja sama juga dengan sistem picker yang dimiliki BPJS, sehingga orang yang akan mendapat vaksinasi pertama akan terdata,” terang Siti. 


“Nanti dari vaksinasi yang pertama ini akan tercatat secara elektronik, yang selanjutnya bersama dengan Kemkominfo untuk mengingatkan kembali saat vaksinasi kedua. Jadi kita memanfaatkan teknologi informasi untuk menjadi pengingat atau proses vaksinasi yang kedua,” ungkap Siti. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad