Nasional

Catatan Kritis PBNU soal Kebijakan Vaksinasi Pemerintah pada Kelompok 18-59 Tahun

Sab, 12 Desember 2020 | 04:15 WIB

Catatan Kritis PBNU soal Kebijakan Vaksinasi Pemerintah pada Kelompok 18-59 Tahun

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Kesehatan Syahrizal Syarif. (Foto: dok. pribadi)

Jakarta, NU Online

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Kesehatan Syahrizal Syarif mengungkapkan bahwa vaksin memang sangat diharapkan karena orang yang telah sembuh dari Covid-19 tidak memberikan kekebalan permanen, sehingga harus dibuat kekebalan buatan. 


Menurutnya, dari sisi epidemiologi, tujuan vaksinasi ada dua. Pertama, soal cara untuk menurunkan angka kematian. Sebab, ia menegaskan bahwa kematian merupakan kerugian besar bagi suatu negara.


Sedangkan yang kedua adalah untuk menurunkan angka kasus Covid-19. Pandemi akan selesai, katanya, kalau tidak ada kasus sama sekali dalam dua kali masa inkubasi. Namun situasi dan indikator seperti itu akan lama.


“(Tujuan) yang kedua ini diharapkan dicapainya herd immunity yang kita tahu sudah banyak bahasannya dan itu tentu saja memakan waktu lama,” katanya, dalam sebuah galawicara bertajuk Bincang Aspirasi Rakyat yang ditayangkan 164 Channel, pada Jumat (11/12) malam.


Ia mengaku telah melihat peta jalan (road map) dan petunjuk teknis soal vaksinasi Covid-19. Menurutnya pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengacu pada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengatasi dua hal yakni menurunkan angka kematian dan angka penularan. 


“Tapi terlihat sekali bahwa anjuran WHO itu kemudian disertai anjuran dari ITAGI (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization). Jadi sebetulnya ITAGI inilah yang tampak terlihat memberikan rekomendasi sehingga pemerintah Indonesia memberikan prioritas vaksinasi Covid-19 pada usia 18 sampai 59 tahun,” ungkap Ahli Epidemiolog Universitas Indonesia ini.


Menurut Syahrizal, kebijakan Kemenkes yang direkomendasikan ITAGI itu salah. Pertama, asumsi yang diajukan untuk memberikan vaksinasi kepada kelompok berusia 18-59 tahun adalah karena mereka adalah kelompok paling menular dan porsi penularan sangat besar.


“Tapi mereka (kelompok usia 18-59 tahun) adalah yang kasus tanpa gejala dan ringan,” katanya.


Asumsi yang kedua, kata Syahrizal, pilihan pada kelompok 18-59 tahun itu karena memang hanya dilakukan uji klinis kepada mereka. Dalam hal ini, ia menganggap sebagai asumsi mitos atau mengada-ada karena tidak ada dasarnya.


“Tanyakan saja pada enam produsen vaksin lainnya yang sudah ada. Katakan kepada mereka, apakah mereka memang membuat vaksin untuk kelompok 18-59 tahun?” katanya, mempertanyakan.


Menurut Syahrizal, anjuran WHO dan Joint Commission di United Kingdom (UK) bahkan Korea Selatan juga baru mengajukan prioritas yang pemberian vaksin itu memprioritaskan pada kelompok tenaga kesehatan dan lansia serta komorbid (pasien dengan penyakit penyerta).


Ia meyakini bahwa lansia dan komorbid bukan kontraindikasi vaksin. Ada beberapa alasan pemerintah harus memikirkan prioritas itu. Pertama karena mesti mampu menurunkan angka kematian. Hal tersebut bisa dicapai kalau pemberian vaksin diprioritaskan kepada kelompok lansia dan komorbid.


“Alasan kedua adalah mampu mengurangi pembiayaan. Biayanya akan turun kalau kita memberikan vaksin pada kelompok ini. Ketiga, tentu menurunkan beban pelayanan kesehatan. Keempat, tentu promosi mengenai vaksin,” katanya.


Sebagai contoh, Syahrizal menyatakan bahwa Ratu Elisabeth di Inggris akan menerima vaksin pada usia 94 tahun. Hal tersebut merupakan promosi terbesar bahwa vaksin Covid-19 aman. 


“Jadi saya lihat roadmap atau peta jalan Kemenkes RI yang direkomendasi oleh ITAGI bisa-bisa adalah jalan yang salah,” ungkapnya.


Penjelasan Kemenkes


Menanggapi hal itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2ML) Direktorat Jenderal (Ditjen) P2P Kemenkes RI dr Siti Nadia Tarmizi memberikan penjelasan di dalam kesempatan yang sama. 


Menurut Siti, pemberian vaksinasi kepada kelompok usia 18-59 tahun itu merujuk pada laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang menyatakan bahwa sekitar 20-30 persen memiliki komorbid. Namun ia mengakui, data tersebut akan dicek kembali keabsahannya.


“Makanya data sasaran ini sedang divalidasi bersama BPJS dan data dari Dinas Kesehatan. Harapannya pada saat pelaksanaan nanti, kita akan menggunakan sistem satu data sehingga yang akan mendapatkan vaksin itu akan mendapatkan e-tiket yang tentu bisa digunakan pada saat mendatangi pelayanan kesehatan untuk mendapatkan vaksin,” bebernya. 


Siti menjelaskan pula soal uji klinis. Menurutnya ada tahapannya. Mulai satu hingga tahap ketiga. Ia menjelaskan bahwa uji klinis vaksin Covid-19 ini seringkali dipertanyakan karena sangat cepat dilakukan. Berbeda dengan vaksin-vaksin pada wabah atau pandemi sebelum Covid-19.


“Jadi memang pada saat pandemi ini secara paralel uji klinis ini, pada tahap satu hingga tiga dapat dilaksanakan. Tapi kalau kemudian uji tahap satu itu tidak menunjukkan hasil baik, tentu uji klinis di tahap kedua tidak dapat diakui hasilnya,” katanya.


Siti menekankan bahwa terdapat banyak faktor untuk mempercepat uji klinis vaksin. Sebab, katanya, dalam keadaan darurat dan kondisi kegawatdaruratan yang sifatnya global. Dengan demikian, segala sumberdaya difokuskan untuk menemukan dan memastikan vaksi harus benar-benar efektif dan efisien. 


“Uji klinis ini tetap sesuai dengan protokol dan metodologi yang memang seharusnya dilakukan dan dikawal juga oleh berbagai ahli, sehingga kita bisa pastikan kalau vaksin ini ketika sampai tahap ketiga, aman,” ujarnya.


Karena di dalam WHO sendiri, lanjut Siti, dinyatakan bahwa ada 51 jenis vaksin yang sedang dalam tahap studi dan sekitar 21 yang sudah masuk ke tahap dua dan tiga. “Dari sana, kita ketahui kalau WHO ini yang melakukan penilaian karena memiliki multiahli,” katanya.


Program vaksinasi pemerintah sendiri akan dilakukan dengan skema 30-70. Artinya 30 persen adalah program vaksinasi yang dibiayai pemerintah yakni diberikan kepada tenaga kesehatan dan pelayan publik seperti bandara, pemadam kebakaran, pelabuhan, Satpol-PP, aparat hukum, masyarakat rentan lainnya termasuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS. Kemudian 70 persen adalah vaksinasi yang dilakukan secara mandiri alias berbayar.  


Skema pemberian vaksin


Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Senayan pada Kamis (10/11) malam, mengusulkan kepada Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto mengusulkan agar skema tersebut dibalik. 


“Kemarin kita mendiskusikan bagaimana kalau posisinya di balik? Jadi 70 persen ini adalah program vaksinasi yang dibiayai pemerintah sementara 30 persen yang mandiri. Kita berfikir ini untuk masyarakat. Jadi negara tidak boleh menjadikan ini sebagai jual-beli atau komersialisasi,” kata Ninik, demikian sapaan akrabnya.


Dari RDP tersebut, terjadi kesepakatan antara DPR dengan Kemenkes RI. Bahwa akan ada perhitungan kembali terkait proporsi atau skema pemberian vaksin antara program yang dibiayai pemerintah dengan mandiri alias berbayar. 


Kemenkes RI pun kembali menegaskan bahwa pihaknya akan tetap memperhatikan aspek-aspek yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Seperti tenaga kesehatan, pelayan publik, dan kelompok rentan. Semua itu yang oleh pemerintah akan dijadikan prioritas utama.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad