Jakarta, NU.Online
PARA kyai maupun tidak sepuh, para petinggi PBNU dan para pengurus NU sampai di anak ranting, para politisi (bukan mainstream), dan tak ketinggalan aktivis NU di pinggiran pelataran publik, masih terus menyinggung, menyuarakan, dan mencoba meyakinkan orang yang sudah tahu mengenai pentingnya khittah sebagai bingkai kiprah-kiprah NU sebagai organisasi maupun warga nahdliyin. Sehingga banyak orang yang bertanya-tanya : kenapa sih mesti terus saja mengangkat soal khittah 1926 sebagai dasar positioning NU? Apa tidak bosan, atau bahkan, membosankan? Untuk apa yang penting ‘kan mengisinya dengan kiprah-kiprah NU yang kongkret? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu wajar muncul, karena khittah tentunya sudah di luar kepala warga nahdliyin, karena garis perjuangan NU itu dicanangkan dan menjadi keputusan sudah hampir 20 tahun. Tetapi sebaliknya, justru karena sudah lama itulah pengingatan kembali semangat khitah itu amat diperlukan. Sebagian untuk internalisasi, membangun imajinasi dan kreativitas untuk memperkuat kekebalan tubuh dari godaan politik jangka pendek.
Pengingatan kembali tentang substansi dan semangat khittah diperlukan setidaknya untuk dua maksud. Pertama, menghitung akumulasi dampak positif (atau bahkan yang negatif) pelaksanaannya. Sejauhmana manfaatnya bagi warga NU dan bagi NU sendiri. Bagaimana pula dampak negatif dan positifnya terhadap kekuatan-kekuatan politik lain atau bangsa dan negara ini secara keseluruhan. Sampai saat ini belum ada evaluasi komprehensif implementasi khittah ini. Satu hal jelas, lebih banyak yang melihat segi positifnya bagi warga, organisasi NU maupun bangsa dan negara secara keseluruhan. Kedua, kalau demikian halnya pengingatan kembali itu juga dimaksudkan untuk selalu mewaspadai urgensi dan relevansinya, tingkat pentingnya dan ketepatannya dengan perkembangan situasi social-politik negeri ini. Tetapi kenyataan yang menunjukkan lebih banyaknya manfaat daripada mudharat khittah selama ini, merupakan bukti kelayakan dan ketepatan khittah sebagai garis perjuangan yang menempatkan NU sesuai dengan watak dasarnya sebagai organisasi dakwah, organisasi social-keagamaan.
<>Kalau demikian halnya, maka yang perlu dilakukan segenap slogarde NU adalah pendalaman (deepening) penggalian akar-akar histroris dan pengembangannya untuk kepentingan NU ke depan. Pendalaman masalah diperlukan supaya kalangan nahdliyin tak terjebak dogmatisme yang menelan mentah-mentah khittah sebagai semacam credo yang tidak boleh diutak-atik, yang akan mematikan maraknya perkembangan pemikiran warga NU. Kajian kesejarahan diperlukan justru untuk mengembangkannya lebih lanjut sehingga ideal-ideal, cita-cita, di balik gerakan politik kembali ke khittah itu bisa diungkap, bisa dipakai mengukur apa yang sudah dicapai, bisa dipakai menterjemahkan lebih lanjut dalam bentuk program dan langkah perjuangan NU. Model berpikir seperti ini menjadi penting agar tidak mengulangi apa yang dilakukan penganut marhaenisme Bung Karno yang cenderung dogmatis sehingga marhaenisme –yang sebenarnya amat relevan untuk realitas sebagian terbesar masyarakat sampai sekarang yang kini mengalami pemiskinan – tidak berkembang dengan baik.
Khittah perjuangan NU 1926, kalau tidak salah sejak awal dicanangkan sebagai semangat, positioning politik NU dalam konfigurasi politik kejayaan Orde Baru, dan reorientasi pemikiran tentang langkah-langkah NU di tengah permasalahan bangsanya. Sejak awal dicetuskan, kembali ke khittah bukan kembali berorientasi masa lalu. Kembali ke khittah bisa diartikan sebagai menggali semangat –yang pernah menjadi ciri dan jati diri – dan mereaktualisasikannya untuk pengembangan organisasi ini ke depan. Dengan kata lain suatu bentuk reorientasi untuk menempatkan NU dalam kerangka masa depan NU sendiri maupun bangsanya. Tentu saja, semuanya serta terbuka terus dikritisi, digali gagasan-gagasan tersembunyi di dalamnya untuk kemudian dikembangkan dan dikongkretkan dalam tindakan kongkret. Khittah 26 adalah jawaban sosial terhadap persoalan politik yang dihadapi NU. Orang boleh melihatnya dari sudut dibentur-benturkannya NU oleh politik Orde Baru. Tersudut dan dihinadinakan.
Pentolan-pentolan politisi NU kehabisan akal dan tidak berdaya. Atau dari sudut mana pun. Pengalaman menunjukkan menjadikan NU sebagai kekuatan politik telah mengorbankan fungsi organisasi ini sebagai kekuatan sosial-keagamaan. Masuknya NU ke gelanggang politik di samping telah meredusir seluruh potensi kekuatan NU menjadi semata-mata kekuatan politik, yang dengan mudah menjadi “bola” pingpong para penguasa Orde Baru. Kembali ke khittah 1926 ibarat merupakan jawaban dalam bentuk permainan ibarat bermain laying-layang “menarik benang” politik, dan menempatkan NU dalam posisi berjarak terhadap organisasi sosial-politik (Golkar, PPP dan PDI) merupakan langkah taktis amat jitu (yang membebaskan NU dari cengkraman otoritarianisme Orde Baru) dan mendorong kekuatan NU menjadi organisasi sosial-keagamaan penyangga perjuangan politik kebangsaan. Taktik-strategi itu telah mengantarkan NU menjadi magnet politik dan menjadi kekuatan perubahan sosial, yang mengatasi politik kepentingan jangka pendek (politik mengejar jatah kursi sesuai perkenan Pak Harto), yang tak mudah caplok (dikooptasi) orbit politiknya oleh yang berkuasa yang waktu itu hampir seluruh kekuatan sosial, politik, ekonomi sudah bertekuk-lutut di haribaan /gengaman kekuasaan Orde Baru.
Mengingat kembali proses-proses dan konteks lahirnya keputusan kembali ke khittah itu, bagi sebagian orang, mungkin bermakna nostalgia atau mengklaim jasa bagi sebagian lainnya. Tetapi bagi generasi masa depan NU, yang serius memikirkannya, akan berarti mencoba menggali pelajaran berharga. Di situ ada kecerdikan. Di baliknya ada analisis masalah atau analisis social politik untuk mehamami konteks dengan tepat. Di situ ada pemikiran mendalam dan berwawasan sejarah. Terkandung juga kreativitas. Di situ ada manifestasi keberanian untuk berbeda dengan kekuasaan yang mencengkram. Terlihat ada tanggungjawab terhadap nasib jam’iyah, tanggungjawab sosial, tanggungjawab NU sebagai komponen dan salah satu penyangga keindonesiaan. Bahwa NU adalah bagian dari Indonesia, dan tum
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
2
Ketum PBNU Buka Suara soal Polemik Tambang di Raja Ampat, Singgung Keterlibatan Gus Fahrur
3
Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU Akan Lantik JATMAN masa khidmah 2025-2030
4
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
5
Khutbah Jumat: Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian di Tengah Kesibukan
6
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
Terkini
Lihat Semua