Opini

Waras Beragama, Waras Berpolitik

NU Online  ·  Ahad, 6 Mei 2018 | 08:00 WIB

Oleh M. Zidni Nafi’

Sepanjang peradaban manusia, relasi antara agama, politik dan kekuasan memang sudah menjadi fakta sejarah yang tidak bisa dipisahkan. Relasi tersebut terbentuk dalam beragam corak. Bisa saja agama menjadi spirit politik untuk menduduki kekuasaan, atau penguasaan politik untuk memperkuat praktik dan syiar agama, bahkan bisa juga kedok agama menjadi alat politik serta untuk melanggengkan kekuasaan.

Barangkali sulitnya memisahkan antara agama dan politik itu laksana memisahkan manis dari gula. Hal ini lantaran hampir seluruh agama-agama mempunyai nuansa ajaran yang bersifat pribadi dan publik, lalu disertai juga dengan nilai-nilainya yang universal dan kontekstual. Sehingga politik, bisa dibilang, menjadi salah satu bagian kecil dari agama yang ruang lingkupnya sangat luas.

Namun, apakah memang proses beragama dan berpolitik itu memiliki hubungan yang erat? Dan bagaimana bila agama dan politik mengalami pertentangan dalam proses pelaksanaannya?

Beragama dan Berpolitik

Dalam kajian filsafat, manusia dikategorikan sebagai homo religious dan zoon politicon. Fitrah manusia untuk beragama (bertuhan) dan naluri bekerja sama antarmanusia untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh sebab itu, ekspresi manusia modern dalam beragama dan berpolitik merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Tinggal kemudian apakah ekspresi kedua naluri ini bisa berjalan seirama atau tidak, sehingga pada praksisnya tidak terjadi paradoks dan kontradiksi.

Untuk konteks Indonesia sekarang misalnya, pluralitas agama merupakan proses sejarah dan identitas yang berjalan hingga dewasa ini. Lalu mereka yang beragama bisa mengekspresikan naluri berpolitik melalui organisasi atau partai politik yang dinaungi oleh sistem yang bernama demokrasi. Terkadang proses beragama ditentukan oleh kondisi dan kebijakan politik. Begitu pula sebaliknya, proses berpolitik beserta kebijakannya tidak lepas dari naluri agama yang diyakini.

Dalam perkembangannya, politik menjadi media proses pelayanan masyarakat dalam berbagai aspek melalui 'kekuasaan' yang disebut pemerintah. Sehingga, boleh dikatakan, partai politik menjadi alat utama untuk meraih kekuasaan itu. Kenyataan inilah yang melahirkan berbagai dinamika yang bisa mengatasnamakan apapun untuk berkompetisi melalui pesta demokrasi.

Sedangkan saat ini Indonesia tengah dihadapkan problem yang begitu runyam. Keberpihakan seseorang/kelompok pada partai politik yang cenderung primordial begitu kental dan fanatik. Hal ini bisa dibilang wajar, namun yang tidak wajar ketika sampai fanatik buta apalagi sampai "dalih agama" dilakukan untuk mengemas propaganda dan kampanye sehingga terkesan mendapatkan legitimasi agama. Agama lalu menjadi sebuah komoditas yang bisa 'dijual' demi meraih dukungan masyarakat.

Tidak heran bila menjelang pesta demokrasi, marak fanatisme politik. Seolah-olah partai politik itu sesakral agama serta mendewa-dewakan tokoh atau pemimpin partainya. Tidak sampai di situ, dalil agama ditafsirkan menurut kepentingan kelompok dan partainya, tempat ibadah jadi arena politisasi, orang yang berbeda partai diintimidasi, dihujat dan dibenci setengah mati, meskipun seagama dan seiman. 

Cendekiawan muslim Nurcholis Madjid atau Cak Nur mempertanyakan (1997: 134), “Jika agama tidak dapat mempengaruhi tingkah laku pemeluknya, maka apalah arti pemeluk itu?” Namun, bagi Cak Nur juga, kenyataannya ialah banyak orang yang sangat serius memeluk agamanya, tanpa peduli pada tuntutan nyata keyakinannya itu dalam amal perbuatan dan tingkah laku.

Tentu saja, cara berpolitik di Indonesia bagi Cak Nur, keterbukaan sikap bukanlah segala-galanya. Persoalan kuncinya ialah bagaimana menciptakan "kesalinghormatan" di kalangan elite bangsa, dan di kalangan seluruh rakyat, sebab demokrasi adalah mustahil tanpa hal itu.

Menjadi Umat Waras

Sejarah abad pertengahan di Eropa telah mengajarkan bagaimana Gereja dan kaum agamawan mempunyai kekuasaan penuh. Kitab suci seolah-olah tidak lagi menjadi jalan keselamatan, namun menjadi alat pembenaran. Kaum Gereja 'main mata' dengan politikus dan memonopolinya sedemikian rupa sehingga mereka satu-satu lembaga yang paling benar. Lebih jauh mereka sampai-sampai bisa menjamin masuk surga dengan memberikan tebusan tertentu. 

Umat Islam sendiri juga pernah mengalami sejarah kelam soal 'kekuasaan'. Peristiwa terbunuhnya khalifah Usman ibn Affan yang memicu perbedaan sikap dan ketegangan beberapa kelompok yang pro sahabat Ali ibn Abi Thalib, Muawiyah ibn Abi Sufyan, dan pihak-pihak lainnya, yang melahirkan peperangan dan perpecahan aliran yang berimbas hingga hari ini. Tanpa bermaksud mengkritik dinamika sahabat Nabi, namun peristiwa tahkim (arbitrase) dan peristiwa lain yang menyusul, dapat menjadi pelajaran penting bagi umat Islam saat ini.

Kita merasakan sendiri kalau sudah masuk wilayah politik, segala kemungkinan bisa terjadi, entah tumbuhnya persatuan atau justru malah memicu pecah-belah yang melahirkan kehancuran. Di politik, orang waras bisa menjadi tidak waras, sebaliknya orang kurang waras dipandang sebagai orang waras. 

Makanya KH Musthofa Bisri atau Gus Mus pernah bilang, "Kalau intinya soal dukung-mendukung, maka akal sehat tidak diperlukan dan argumentasi bisa dicari-cari." Hal itu juga berimbas pada pergeseran berpikir layaknya orang waras. Yang diperdebatkan bukan lagi soal benar atau salah, tapi sikap yang ditunjukkan soal selera suka atau tidak suka (benci).

Uraian dinamika sebagaimana di atas seringkali berimbas pada perdebatan yang kurang beretika dan tidak subtansif. Bukannya adu gagasan program tapi malah berusaha saling menjatuhkan lawan melalui nyinyiran, ujaran kebencian, fitnah dan sebagainya. Seakan-akan spirit agama dalam berpolitik sudah tidak kedepankan lagi untuk memperjuangkan keadilan, keamanan dan kesejahteraan masyarakat. 

Oleh sebab itu, di tengah situasi pesta demokrasi seperti demikian, penting untuk mengedepankan sikap toleransi politik, apalagi bagi orang beragama yang ciri utamanya adalah berakal dan waras alias tidak gila! Meminjam semacam kaidah berpolitik ala KH Ma'ruf Amin, Lakum partaikum, wa lana partaiuna, yang artinya "bagimu partaimu, dan bagiku partaiku". Kalau kita sebagai umat mengaku waras dalam beragama, bukankah sepatutnya kita waras juga dalam berpolitik kan?


Penulis adalah santri alumnus Pesantren Qudsiyyah Kudus, penulis buku "Menjadi Islam, Menjadi Indonesia".