Opini

Wabah dan Tatanan Dunia

Sen, 6 April 2020 | 12:45 WIB

Wabah dan Tatanan Dunia

Ilustrasi NU Peduli Covid19

Oleh Warsa Suwarsa 

Asumsi yang berkembang selama tiga bulan terakhir sejak penyebaran coronavirus disease 2019 pertama terjadi di Kota Wuhan, Provinsi Hubei sangat beragam. Di kampung saya sendiri berkembang asumsi bahwa kemunculan wabah tersebut disebabkan oleh faktor kesengajaan yang diakibatkan oleh kebocoran gudang senjata biologis buatan China.

Asumsi lain yang berkembang selama ini yaitu kemunculan wabah (virus corona baru) tidak lepas dari peran kelompok iluminasi yang secara telaten menginginkan terbentuknya tatanan dunia baru. Tentu saja asumsi ini merujuk kepada para penganut teori konspirasi yang selalu meyakini perubahan-perubahan yang terjadi di dunia setelah revolusi Prancis dan Industri di Eropa tidak lepas dari pengaruh peran para konspirator yang bernaung di dalam organisasi rahasia, semacam freemason, iluminasi, dan ksatria templar.

Dua asumsi di atas memang sangat gurih dinikmati sebagai bahan obrolan di warung kopi. Tetapi bagi siapapun terutapa orang-orang yang memusatkan perhatian dalam penelitian, sebuah asumsi jarang dijadikan landasan berpijak dalam proses pengambilan kesimpulan. Sampai saat ini, para ahli dan peneliti lebih memilih untuk mengeluarkan sebuah hipotesa bahwa struktur virus corona sangat alamiah, tidak dihasilkan oleh upaya manusia dalam proses pembuatannya.

Kenapa Terjadi Wabah?
Sejak fajar sejarah manusia lahir, entah sudah puluhan atau ribu kali wabah pernah menerjang planet Bumi. Entah itu dalam skala besar yang menimbulkan pandemi atau dalam skala kecil  berupa endemi di satu kawasan. Para penganut teori evolusi tentu saja meyakini bahwa proses alamiah munculnya wabah merupakan bentuk struggle for life, pertarungan spesies mana yang paling unggul dan mampu bertahan untuk tetap menjadi penghuni planet mungil ini.

Penganut keyakinan (theis) lebih memandang datangnya wabah dan bencana dari sudut keilahian, ujian dan cobaan bagi kaum beriman atau sebaliknya merupakan hukuman bagi para pembangkang. Terlepas dari pandangan tersebut, toh antara orang-orang beriman dan para pembangkang ketika terinfeksi oleh virus atau terkena wabah tetap saja akan diperlakukan sama melalui upaya perawatan hingga dinyatakan sembuh.

Asumsi dan hasil dari penelitian ilmiah pun pada dasarnya tetap menempati posisi yang sama, benar dan tidaknya masih samar. Tetapi setiap orang memang memercayai bahwa saat ini penyebaran coronavirus disease 2019 telah menjadi bencana dunia yang telah meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan; etiket sosial, perekonomian, dan tatanan kehidupan manusia itu sendiri.

Awalnya memang ada saja sekelompok orang yang masih bertanya-tanya: apakah benar virus corona itu ada? Atau kemunculannya hanya dibesar-besarkannya saja oleh media? Pertanyaan seperti ini sangat identik dengan seorang atheis yang sering menanyakan eksistensi Tuhan, apakah benar Tuhan itu ada? Eksistensi keberadaan hal-hal yang tidak kasat mata akan baru dirasakan jika manusia mengalaminya sendiri. 

Eksistensi dan keberadaan Tuhan akan diyakini secara haqqul yaqiin saat manusia telah mengalami ledakan epifani dalam bentuk ekstase, benar-benar merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya. Sama halnya dengan kehadiran virus, orang akan percaya jika dialami langsung secara pribadi, dan tentu saja tidak akan pernah ada manusia meskipun digolongkan ke dalam jenis  manusia angkuh menginginkan dihinggapi oleh virus mematikan.

Alasan lain kenapa wabah sering muncul di planet ini yaitu tidak terlepas dari hukum-hukum alamiah (sunnatullah), sebab dan akibat, tentang kesanggupan planet bumi dalam menampung sejumlah populasi manusia, seberapa besar kekuatan bumi dan lapisan-lapisan atmosfer dalam menaham gempuran polusi yang dihasilkan oleh manusia. Jika manusia bersikap serakah, tingkat konsumsi telah melebihi kebutuhan dasar dalam hidup, jenis binatang apa saja dimakan, sudah dapat dipastikan alam akan melakukan cara sendiri untuk mengembalikan kembali struktur kehidupan yang telah dipenuhi oleh kerakusan dengan kelemahan yang ada dalam diri manusia. 

Bayangkan, gempuran alamiah itu tidak hanya berupa bencana alam saja, manusia dipaksa harus berjibaku dengan mahluk renik dan mikrobilogis seperti virus. Walhasil, KH Mustofa Bisri (Gus Mus) telah menyoal hal ini dalam salah satu puisinya: wabah Covid-19 harus menyadarkan manusia yang selalu tampak angkuh merasa diri lebih besar dan berkuasa, sekalipun dengan amalan-amalan ritual yang kasat mata.

Wabah Mengubah Tatanan Dunia    
Pemimpin Sunda Empire dan para pengikutnya dapat saja merasa bangga bahwa kemunculan wabah baru ini sebagai akibat ditangkapnya Rangga Sasana. Hal ini tentu saja tidak dapat dijadikan landasan pemikiran secara serius. Faktanya, ada atau tidak adanya Sunda Empire pun berbagai wabah dan bencana pernah melanda dunia. Kehadiran wabah Justinian pada tahun 541 M terjadi ribuah tahun lalu sebelum Sunda Empire terbentuk.

Wabah Justinian yang berlangsung di abad pertengahan, dari tahun 541 – 750 M menerjang kawasan Mediterania disebabkan oleh bakteri bernama Yersenia Petis  yang ditularkan kepada manusia melalui tikus. Dalam kurun waktu 250 tahun telah mengakibatkan kematian 25 – 100 juta manusia. Wabah ini memiliki dampak sangat besar terhadap perekonomian saat itu. Kekuasaan Bizantium yang membentang dari Konstantinopel sampai Laut Mediterania dilanda krisis ekonomi hebat. Tatanan dunia berubah, terjadi peralihan kekuasaan dari Romawi dan Sasanid kepada kerajaan Islam. 

Perluasaan kekuasaan kerajaan Islam menyisir wilayah-wilayah yang dilanda wabah, orang-orang merasa yakin kekhalifahan dapat memulihkan keadaan karena saat itu di dunia Islam sendiri merupakan puncak keemasan, berbagai ilmu pengetahuan dilahirkan oleh para peneliti termasuk di dalamnya bidang kedokteran. Artinya, saat terjadi wabah, krisis, dan bencana kemanusiaan, spesies manusia akan tetap bertahan saat mereka meyakini adanya sang penolong. 

Tidak berbeda dengan saat ini, Gubernur New York, Andrew Cuomo lebih memilih mengucapkan terima kasih kepada China karena telah memberikan bantuan pengiriman APD di saat Donald Trump lebih banyak menyelenggarakan konferensi pers di Gedung Putih. Menurut Coumo, penanggulangan Covid-19 bukan ditempuh dengan memperbanyak opini, tapi tindakan nyata.

Era keemasan kekhalifahan Islam setelah wabah Justinian ditandai oleh pertumbuhan pada bidang lainnya, bukan hanya politik. Namun, di saat kemajuan dialami oleh kekhilafahan tersebut terjadi wabah tho’un yang melanda Bashrah pada tahun 69 H (648 M). Tho’un yang berlangsung selama 4 tahun berturut-turut ini telah merenggut 210 ribu nyawa manusia dalam hitungan hari. Dalam hal ini, kemajuan dan kemapanan yang dialami oleh manusia sering membawa manusia kepada sikap sembrono. 

Kita jangan memiliki pikiran selama era kejayaan kekhalifahan bahwa kehidupan umat Islam benar-benar memperlihatkan ketawadluan. Malahan sebaliknya, yang terjadi adalah pamer kemewahan, pesta pora, seperti yang selalu dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad dalam prediksi propethiknya: saat kekuasaan Islam telah membentang dari Barat ke Timur yang muncul justru penyakit wahan, dan akan membawa umat pada cara-cara jahiliyah baru.

Di Eropa sendiri, setelah wabah Justinian selesai, mereka berusaha bangkit dari keterpurukan. Menyusutnya jumlah populasi akibat wabah telah melahirkan para pemilik lahan baru karena pemilik lahan lama meninggal akibat wabah. Para OKB (orang kaya baru) di Eropa, selama abad ke 8- 14 menciptakan  tatanan sosial baru: feodalisme. 

Status sosial tertinggi diberikan kepada kelompok yang memiliki lahan berhektar-hektar (tuan tanah). Kemitraan sosio-politik terjadi antara kelompok ksatria (vassal) dengan para tuan tanah. Kemampuan rakyat jelata diukur atas dasar kemampuan mereka mengolah lahan milik para tuan tanah. 

Kesejahteraan terlihat sangat jomplang, di saat para bangsawan dan tuan tanah berpesata pora saat musim panen, masyarakat feodal tetap berjibaku melawan iklim yang ganas. Di saat para bangsawan dan pemilik lahan hidup di rumah-rumah megah, penataan kota di sebagian besar wilayah Eropa justru terbengkalai. Jalanan dipenuhi sampah, masyarakat feodal menempati pemukiman kumuh. Puncak kekumuhan itu akhirnya menjadi malapetaka bagi Eropa, wabah maut hitam menyapu bersih Eropa pada abad ke-14. Hampir 75 juta nyawa melayang. Feodalisme hancur karena tidak dapat memberikan solusi dan jalan keluar terhadap wabah hitam.

Saya pikir dengan beberapa contoh bencana kemanusiaan yang telah terjadi sudah seharusnya menyadarkan umat manusia bahwa wabah selalu muncul bersamaan dengan puncak kekuasaan sedang dinikmati secara serampangan. Coronavirus Disease 2019 pada awal endemi  tidak terjadi di perkampungan-perkampungan tradisional China, justru bermula di daerah perkotaan seperti Wuhan, sebuah kota modern baru yang lahir setelah negeri tirai bambu ini melewati revolusi kebudayaan dan menerapkan sistem lompatan jauh ke depan dalam bingkai penguasaan teknologi, informasi, dan industri. 

Sikap dan mental manusia terutama masyarakat OKB memang selalu sulit menghidar dari godaan kerakusan seperti yang pernah dialami oleh umat Islam di masa keemasan kekhalifahan, feodalisme Eropa di abad pertengahan, dan kemajuan negara super-power dengan industrialisasinya.

Jika saja setiap negara berpikir seperti ini, mereka akan menghempaskan keangkuhan, meninggalkan perang dagang. Dan yang sangat dibutuhkan dalam penanganan wabah Covid-19 adalah kerjasama setiap negara, ketawadluan masyarakat, dan mengedepankan semangat kemanusiaan kita. Bencana kemanusiaan yang disebabkan oleh wabah telah mengajarkan kita hal paling penting dalam kehidupan: tetaplah mengedepankan kesederhanaan di saat kita mengalami kejayaan. Perlu kita ketahui, kekuasaan Ramses II runtuh, salah satunya, disebabkan oleh wabah.

Penulis adalah guru MTs-MA Riyadlul Jannah Cikundul, Sukabumi, Jawa Barat