Opini

Visi NU : Kenapa tidak harus Maju

NU Online  ·  Senin, 3 Oktober 2011 | 05:44 WIB

Oleh : Ernawi Sya’bi*


Organisasi terbesar di Indonisia, NU memiliki peranan yang sangat signifikan dalam membagun negara yang pluralis di tanah air Indonesia, eksistensi NU selalu diterima di elemen manapun. Sehinggah muncul asumsi bahwa NU organisasinya para kiai yang diakui banyak umat di Indonesia dan mayoritas adalah Islam. Awal organisasi NU didirikan para kiai beserta santri-santrinya berkumpul di salah satu tempat yang kebetulan adalah Surabaya pusat strategis untuk menyerap berbagai aspirasi dari para kiai yang bertepatan pada 31 Januari 1926 M.
<>
Dalam catatan sejarahnya, NU dijadikan sebuah organisasi semata-mata hanya untuk mendampingi kesejatraan masyarakat, baik yang bertempat di desa sekalipun kota adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Artinya NU tetap akan memberikan yang terbaik pada nusa dan nangsa, walau bagaimanapun hambatan dan rintangan masuk dengan tampilan yang berwarna warni. Sebab, NU diorentasikan sebagai wadah representatife oleh sejumlah kiai terpopuler pada zamannya. Salah satunya adalah KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahab Chasbullah pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang.

Suatu ketika Kiai As’ad Samsul Arifin waktu masih di pesantren Syaikhana Khalil Bangkalan, pernah di perintah untuk menyampaikan tasbih dan tongkat kepada kiai Hasyim Asy'ari selaku tokoh ulama se-Jawa dan pemeran utama tentang didirikannya sebuah organisasi yang lazim di sebuat NU. Maksud dua benda itu ditujukan kepada kiai Hasyim Asy'ari oleh kiai Khalil Bangkalan, tidak lain, sebagai cermin atas perjalanan NU dalam menghadapi bermacam tantangan ke depan.

Tasbih yang disampaikan kiai Khalil Bangkalan isyarat sudah mendapatkan restu untuk mendirikan sebuah organisasi, dan memang sudah waktunya gerakan para kiai muncul kepermukaan terus membentengi umat Islam dari segala kerusuhan dan ketidak adilan yang mengontaminasi karakter umat Islam pada mulanya. Pertanda yang kedua, penyerahan tasbih itu merupakan simbol NU akan disegani kawan maupun lawan.

Artinya kesemangatan dan kekompakan para kiai turut melaju lebih jauh tentang kemaslahatan dan memberdayakan umat adalah bagian dari para kiai sebagai promotor dalam menyebarluaskan nilai-nilai keislaman. Sebab, sesuai keputusan muktamar ke 32 yang mencetuskan bahwa NU, tidak akan lepas dari peran Ahlussunah Waljama'ah yang berasaskan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniah, ukhuwah basyariyah yang ditetapkan sebagai ciri khas NU di Indonesia.

Kaitannya dengan tongkat dari kiai Khalil Bangkalan itu, merupakan senjata pamungkas NU untuk menghadapi bermacam kerusahan yang diperkirakan akan mengacaukan Negara atau membumikan orang-orang Islam hanyut dalam kerasukan, misalnya korupsi merasa lelah. Hampir mayoritas pemerintah kita saat ini, melakukan penggelapan uang negara, berarti sudah waktunya NU tampil dengan mempraktekkan keampuhan tongkatnya untuk menumpas orang-orang pengecut cepat ditiadakan. Sebab, eksistensi tongkat itu yang tak ubahnya tongkatnya nabi Musa yang bisa menjelma jadi ular, membelah lautan jadi jalan, (tongkat itu mu’zijat).

Kemarin NU juga pernah membuktikan keampuhan tongkat itu, meruba NU jadi partai politik melawan gerakan 30.S PKI, ternyata gerakan itu kewalahan, tumbang di tengah jalan nyaris tidak berdaya menghadapi NU. Dalam kondisi sudah tidak menentu saat ini, Negara Indonesia diperlakukan tidak sopan (cacat moral) oleh pembesar negara Indonesia sendiri. Artinya pemerintah terlalu ambisius tidak mau kalah untuk menyebut dirinya bagian dari orang-orang miskin, layak mendapat bantuan pemerintah. Akhirnya mereka berani membenarkan segala cara menjadikan negara Indonesia laiknya rumah kedua dari rumah pribadi dan leluasa berbuat sewenang-wenang.

Tragedi diatas dapat dibuktikan dengan banyaknya tersangka kasus penggelapan uang negara (korupsi),  belum lagi lumpur Lapindo yang banyak menghabiskan korban. Sala satu di antara mereka orang-orang NU sendiri. Sepertinya mereka sudah tidak kerasan mengemban NU dengan baik, buktinya berani mengotori prinsip ke-NU-annya, mereka masih ikut andil turut memperkaya diri, kalau terbukti menjadi dalang penggelapan uang negara.

Selaku warga NU selalu saja timbul beragam pertanyaan tentang bagaimana nasib umat Islam lebih-lebih di bagian pedesaan, terkait penulis muncul dari desa yang mayoritas adalah warga NU. Dan pertanyaannya adalah apakah NU turut membiarkan tikus-tikus belang terus berkelana di dunia kepemerintahan, jika benar-benar terbukti sebagai pelaku yang tidak bermoral itu. Sejatinya menghadapi warganya sendiri dalam keadaan cacat moral, NU tidak harus mendahulukan perasaan.

* Santri Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin Sumenep Madura