Opini

UU Informasi dan Transaksi Elektronika untuk Siapa?

NU Online  ·  Rabu, 2 April 2008 | 23:00 WIB

DPR telah mengesahkan Undang-undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE). Di kalangan masyarakat masih banyak keraguan atas UU tersebut. Tak heran jika tanggapan atas hal itu menjadi topik hangat akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, promosi sebagai pembukaan atau publikasi UU ITE itu dimaksudkan untuk menutup akses pada situs-situs porno dan melindungi transaksi yang menggunakan sarana Teknologi Informasi (TI). Tapi, ternyata materi UU itu tidak cukup itu saja, bahkan wilayah pribadi pun bisa menjadi sasarannya. Makin membuat masyarakat ciut hati manakala sehari setelah UU disahkan, aparat kepolisian proaktif menggelar razia di warnet-warnet seperti diberitakan di media kaca.

Tak kalah serunya diberitakan pada beberapa media bahwa situs resmi Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo)—www.depkominfo.go.id—menjadi korban pertama reaksi para peretas (hacker) Tanah Air atas disahkannya UU ITE dan rencana Depkominfo memblokir situs-situs berbau pornografi. Tak tanggung-tanggung, yang ditampilkan adalah gambar pakar yang diunggulkan dalam dunia telematika, Roy Suryo, disertai dengan kata-kata yang menantang: "Buktikan UU ini dibuat bukan untuk menutupi kebodohan pemerintah. cihuyyyyyyyyyyy.....".<>

Keraguan mulai muncul dan kekhawatiran di masyarakat semakin memadat terhadap pemberlakuan UU ITE. Apakah benar UU ITE bisa melindungi kepentingan kaum alit atau elit atau bahkan disusun atas ego individu menjadi patut dipertanyakan. Selanjutnya, meski belum bisa dikatakan sebagai reaksi atas perilaku peretas dan keraguan masyarakat, potongan film “Fitna” yang menayangkan penghinaan terhadap Islam dan Nabi Muhammad ditemukan beredar di internet. Maka, semakin membingungkan kita sebagai audien tentang sebenarnya peretas tersebut berpihak pada pada siapa? UU itu sendiri juga untuk siapa? Mulai nampak adanya tarik-menarik penciptaan opini masyarakat atas pro dan kontra terhadap pemberlakuan UU itu.

Memang, UU itu sangat diperlukan untuk satu bagian tertentu. Namun, ternyata luasnya cakupan materi UU ITE ini justru mengundang banyak keraguan dan bahkan kekhawatiran publik akan beberapa masalah, setidaknya bisa dicermati oleh penulis dari beberapa materi UU ITE yang ada pada pemberitaan sebagai berikut.

Dalam Bab XI Pasal 51 tentang ketentuan pidana yang terjadi dalam penyalahgunaan ITE. Dalam pasal itu disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana yang tercantum dalam Pasal 35 dan 36, maka akan dikenakan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak 12 miliar rupiah. Pasal 35 yang dimaksud berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengerusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah data yang otentik.”

Sedangkan dalam pasal 36 berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai dengan pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap sistem elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 sampai 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain."

Sedangkan dalam pasal 27 hingga 34 tertuang ketentuan yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, memiliki muatan perjudian, memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, atau memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.”

Mari kita sedikit mengkaji yang sedikit ini. Pertama, promosi/sosialisasi Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Muhammad Nuh pada masyarakat hanya menutup akses pada situs porno dan sebagai payung hukum dari transaksi menggunakan sarana tehnologi informasi untuk mendapat dukungan publik. Tapi, yang dilakukan bukan itu saja. Pendapat beberapa kalangan di televisi ternyata sudah banyak yang mencoba dan hasilnya tidak ada jaminan sukses 100 persen bisa memblokir gambar porno. Tapi, kalau tulisan, iya. Pertanyaannya, “mengapa materi sosialisasi/promosi tidak terbuka dengan mengulas inti dari UU itu?”

Kedua, pada hal lain yang diatur sanksi pidananya, seperti setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, memiliki muatan perjudian, memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, atau memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Ini masih terkesan untuk melindungi elit saja. Kita ambil contoh kasus Zainal Ma'arif yang dihukum karena dianggap melakukan penghinaan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara pribadi, apakah hal serupa bisa dilakukan aparat hukum pada semua orang yang menjadi korban? Sementara, kita tahu, untuk mencari keadilan saja masih rumit dan mahal. Bukankah itu bisa terjadi karena yang menjadi korban seorang Presiden atau pejabat negara?

Ketiga, akibat positif dari UU itu adalah akan terjadinya transaksi atau hidupnya bisnis di dunia maya/internet plus segala perangkatnya, dalam artian peluang bisnis dunia ini bukan jasa warnet dan penjualan peranti keras (hardware) saja. Nah, masalahnya jika ini terjadi, apakah kita sudah siap? Bukankah kita baru bisa merakit dan membuat aplikasi dengan komputer saja? Seberapa hebatkah kita bisa menguasai bisnis di dunia ini jika dibanding raksasa asing yang siap mencaplok pasar Indonesia hulu dan hilir?

Keempat, selama ini, memang banyak saluran aspirasi masyarakat sebagai kontrol sosial pada pemerintahan menggunakan sarana internet. Karena itu dirasa mudah, murah atau bahasa jawanya efektif dan efisien. Lalu, transaksi dengan sanksi hukuman sebegitu itu, bukan berarti kritik sosial tidak bisa berjalan melalui sesi ini, tapi apa tidak mungkin mengakibatkan biayanya akan menjadi mahal dibanding saat ini.

Kelima, kenapa sanksi pidana dalam UU tersebut tidak dibuat menjadi delik aduan saja? Bukankah area ini bisa dibilang privat bagi publik? Artinya, belum ada yang menayangkan situs porno, atau forum diskusi sebagai kritik publik secara gratis di jalan-jalan, seperti televisi iklan, misalnya. Jika UU itu memakai delik biasa, maka peran pemerintah, melalui penegak hukum, lebih dominan daripada perorangan yang telah menjadi korbannya, atau bisa dibilang pola state/government control jauh lebih dominan dari social control dan tidak berimbang. Fakta awal akan hal ini bisa kita lihat dari proaktifnya Kepolisian yang merazia warnet-warnet. Lalu, dapatkah Depkominfo memberikan arah pada penerapan UU tersebut, sementara, pelaksananya bukan dalam lingkup departemen ini, bahkan tidak dalam satu lingkup koordinasi. Bukankah biasnya akan jauh lebih lebar dari tujuan fokusnya?

Keenam, sanksi-sanksi di atas hanya menunjuk pada setiap orang, lalu bagaimana jika dilakukan sebuah badan? Bukankah kasus Munir (aktivis HAM) atau banyak lagi yang lain, sampai saat ini sulit diungkap karena ada indikasi peran sebuah/beberapa badan/lembaga dalam negara? Ternyata, pemerintah selalu menjadi subyek dan merasa paling bisa dari kenyataan sebenarnya.

Ketujuh, sanksi denda dan pidana yang sangat tinggi seolah menjadi simbol bahwa kita harus taat. Demikian pula dijelaskan Menkominfo pada acara Perspektif Wimar (ANTV, 28/03) bahwa pesan sebenarnya di balik sanksi tersebut adalah tumbuhnya kesadaran kita. Tapi, di sisi lain, kita tahu sampai saat ini, sistem pengadilan pada tindak kriminal kita banyak dibilang seperti sapu kotor. Bukankah selama ini semakin tinggi bobot masalah, maka semakin tinggi pula ongkos suap? Fakta Jaksa Urip yang suapnya sudah dikalkulasi dolar.

Kedelapan, UU yang dibuat pemerintah selama ini untuk menyelesaikan semua masalah melalui undang-undang dengan subtansi, selalu menempatkan pemerintah sebagai subyek dan rakyat sebagai obyek. Seolah-olah pemerintah bisa menyelesaikan semua ini dengan UU, bukankah banyak kepentingan publik yang tak berarah dan tanpa ada hasil sama sekali karena UU, sehingga harus menyibukkan Mahkamah Konstitusi dengan masalah-masalah kecil yang dibesarkan?

Selanjutnya, berkaitan dengan beredarnya film “Fitna” yang merupakan penghinaan terhadap agama Islam melalui internet ini pun, jika kita kaji lagi, ternyata bukanlah UU yang menjadi solusinya. Karena, terbukti bukan UU yang dapat menyelesikan masalah, tetapi kinerja aparat dan dukungan masyarakat terhadap kinerja tersebut yang menjadi kunci keberhasilan mengatasi masalah. Karena, UU yang memuat tentang penodaan terhadap agama sendiri sebenarnya juga sudah ada dan pada masalah beredarnya film itu, yang menjadi kunci adalah mencari siapa yang mengedarkan bukan bagaimana memberlakukan UU. Dengan kata lain, yang kita perlukan adalah teknis penanganan masalah dan bukan apa yang menjadi ancaman hukuman atau sanksinya. Lebih sederhana, bisa dikatakan bahwa kita jangan terjebak membeli buaya dengan alasan banyak tikus. Karena tikus belum tentu habis dan bisa bersembunyi di lubang kecil.

Penerbitan UU adalah hasil kinerja pemerintah dan dewan yang patut kita berikan apresiasi. Pemerintah banyak membangun sarana/cara dalam menyelesaikan persoalan dengan UU, pembentukan lembaga-lembaga baru dan lain-lain. Tapi, kenyataannya, sampai saat ini, apakah berhasil? Jika kita menanyakan hal ini, maka yang ditunjukkan adalah hasil saja. Sehingga, bisa dibilang jalan kehidupan kita ini semakin banyak, tapi tujuannya tidak ada sehingga berputar di situ saja. Itu pun kalau tidak terjadi tabrakan.

Lalu, apakah tujuan sebenarnya itu tidak pernah ada? Saya yakin pasti ada. Hanya kita tidak pernah tahu dan merekalah yang tahu. Mungkin tujuan itu milik mereka?

Yang sangat kita perlukan adalah yang sudah menjadi kebutuhan, dan kebijakan serta peraturan memang bukan jaminan pengentasan dari suatu permasalahan, dan keberpihakan pada kepentingan publik, terutama masyarakat bawah adalah hal krusial yang dibutuhkan saat ini. Mohon maaf jika saya salah menafsirkan karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman pribadi, mudah-mudahan kekhawatiran tersebut tidak terjadi.

Budi E.P.

Pemerhati Teknologi Informasi, tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur