Opini HARLAH KE-91 NU

Unsur-unsur Tradisional di Tubuh NU

Sel, 31 Januari 2017 | 09:15 WIB

Oleh Hamzah Sahal
Salah satu kegemilangan Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari dan sahabat-sahabatnya adalah kemampuan menghimpun para ulama, baik yang punya pesantren ataupun ulama langgar/masjid (tidak punya pesantren). Gus Dur menyebutnya kiai kampung, dalam satu wadah yang dinamai Nahdlatul Ulama (NU). NU resmi berdiri di Surabaya, 31 Januari 1926.

NU tumbuh dan berkembang dengan cepat, di samping kharisma dan kemampuan Mbah Hasyim, Mbah Wahab, dan sahabat-sahabatnya, juga karena banyak ulama/pesantren memiliki kesamaan, utamanya di bidang ilmu (nasab guru juga keluarga), kesamaan "nasib", dan tradisi keagamaan (madzhab).

Kesamaan pertama nasab guru. Kesamaan ini diyakini sudah berjalan sangat lama, mulai dari berdatangannya penyebar Islam dari India, China, Maghrib, hingga abad ke-18 saat orang Nusantara mulai pergi haji dan mukim di Haramain untuk mencari ilmu. Gelombang orang Nusantara mencari ilmu di sana makin besar pascaperang Jawa hingga awal abad ke-20 (kapal laut dengan mesin uap dan dibukanya terusan Suez juga melancarkan perjalanan). Di negeri nan jauh itu, orang-orang Nusantara, baik yang kenal ataupun belum, bertemu dan saling berguru.

Setelah pulang kampung mereka bikin pesantren di kampungnya masing-masing dan berjejaring (saling mengirimkan santrinya dan menikahkan keturunannya atau santri/kader utamanya). Yang menetap di Haramain juga rajin berkirim surat dan menerima karya santri di Nusantara untuk diterbitkan di pusat-pusat ilmu di Arabia.

Kita tahu, pesantren-pesantren bermunculan bak jamur di musim hujan awal abad 20. Mereka para pendiri pesantren itu, sebagian alumni Haramain dan sebagian lagi alumni pesantren yang sudah berdiri sekitar tahun 1800an. (Lain waktu kita bahas lagi secara panjang lebar dan detil).

Yang kedua, selain nasab, adalah kesamaan nasib. Ulama pesantren, baik yang sudah menyatu dengan NU maupun yang belum, bukanlah orang-orang yang mengitari penguasa zaman itu, yakni kaum penjajah dari Eropa. Salah satu dampak besarnya adalah, keluarga ulama, tidak banyak yang menempuh pendidikan di sekolah milik kaum penjajah. Kita tahu siapa yang duduk di bangku sekolah Belanda.

Rakyat yang tidak mampu (tidak boleh) sekolah milik Belanda, masuk pesantren, "sekolah" milik kiai dan ulama. Di sinilah kiai/ulama, (salah satunya) lewat pendidikan, mulai mengidentifikasi komunitasnya. Di kemudian hari, pesantren dan masyarakatnya menjadi laskar-laskar yang melawan penjajah. Di zaman Belanda, mereka nonkooperatif. Di zaman Belanda, mereka mulai "bersiasat" dengan menerima jabatan-jabatan bikinan Jepang.

Ketiga, adalah kesamaan madzhab, Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja). Kesamaan ini lebih tua dari dua kesamaan yang sudah disebut di atas. Madzhab merujuk pada tradisi pemikiran dan praktik keagamaan yang telah dirumuskan dan "dikodifikasi", generasi ketiga dan keempat pasca-Nabi Muhammad. Madzhab ini sekaligus juga menjadi pembeda utama dari komunitas Islam lain.

Karya pertama ulama NU/pesantren dengan Aswajanya berhasil mendorong dan menerapkan kebebasan bermazhab di Mekkah dan Madinah, yang sebelumnya hanya dikuasai Wahabi. (Komite Hijaz)

Tiga kesamaan di atas menguatkan NU bukan hanya menjadi organisasi (jam'iyah) ulama, tapi menjadi jamaah (komunitas). Semua kesamaan di atas menjadikan pesantren memasyarakat, menjadi masyarakat pesantren. Pandangan keagamaan, masyarakat, dan bangsa yang kuat di tengah-tengah mereka seperti yang kita saksikan dan rasakan hari ini. Saya menyebut kesamaan di atas sebagai unsur tradisional NU.

Hari ini, tanggal 31 Januari 2017, adalah hari yang tepat untuk merefleksikan tiga kesamaan di atas. Usia NU yang hari ini mencapai tahun ke-91 tentu berbeda dengan di saat NU pertama dilahirkan, berbeda saat NU berumur 10 tahun, umur 25 tahun, 40 tahun, dan seterusnya. Wallahu a'lam.
Selamat berharlah.

*) Hamzah Sahal, pengurus PP RMI NU