Opini

Ulama NU, Benteng Kokoh NKRI

NU Online  ·  Sabtu, 28 Juli 2018 | 08:00 WIB

Ulama NU, Benteng Kokoh NKRI

Pendiri NU (Ilustrasi: Tirto)

Oleh Fathoni Ahmad

Mendengar istilah ulama, yang terbersit dalam benak masyarakat ialah seseorang yang mumpuni dalam bidang agama, menguasai ilmu agama, dan bertugas mendakwahkan agama. Namun, anggapan tersebut perlu disempurnakan dalam konteks peran ulama di negeri Indonesia. Sebab, para ulama di Indonesia tidak hanya ‘alim dalam pemahaman agama, tetapi juga sangat mencintai bangsa dan negaranya.

Cinta akan bangsa dan negaranya ini tidak hanya berhenti di dalam dada dan perasaan para ulama, tetapi juga dalam praktik kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dijelaskan dalam banyak catatan-catatan sejarah perihal pengabdian dan perjuangan jiwa serta raga para ulama demi membebaskan rakyat Indonesia dari kungkungan penjajah Inggris, Portugis, Hindia-Belanda, dan Jepang di bumi Nusantara.

Segala daya dan upaya mereka lakukan untuk melakukan perlawanan terhadap ketidakperikemanusiaan penjajah. Bahkan, para ulama tidak hanya berhenti dalam tataran diplomasi tinggi, tetapi juga melakukan sejumlah perlawanan kultural melalui Pesantren sebagai wadah penanaman cinta tanah air, juga sebagai wadah pergerakan nasional selain tempat menempa ilmu agama bagi para santri.

Perjuangan tidak berhenti dalam lingkup Pesantren saja, namun memperluas pergerakan nasional dengan mendirikan perkumpulan atau organisasi. Para kiai pesantren yang dikomandoi oleh KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1945) mendirikan organisasi bernama Nahdlatul Ulama (NU), artinya Kebangkitan Ulama. Organisasi ini tidak berdiri secara ujug-ujug (tiba-tiba), tetapi melalui proses panjang yang komprehensif, baik lewat upaya lahiriah maupun batiniah para ulama untuk kemaslahatan umat.

Makna Kebangkitan Ulama sendiri mempunyai spirit bahwa perjuangan tidak hanya berhenti dalam tataran memberikan pemahaman keagamaan kepada para santri di pesantren, tetapi juga memperjuangkan rakyat Indonesia yang kala itu dalam kondisi terjajah. Bahkan, Kebangkitan Ulama dalam konteks zaman ke zaman tidak surut, sebab berbagai problem masyarakat memerlukan peran ulama, bahkan masyarakat dan negara nyata-nyata membutuhkan ulama. Di titik inilah ulama wajib mempunyai jiwa bangkit seperti yang dilakukan oleh Kiai Hasyim Asy’ari, dan para sahabatnya, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, dan lain-lain.

Spirit memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia menjadi pondasi kokoh bagi para ulama untuk terus menjaga dan merawat perjuangan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasar Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945. Cinta terhadap tanah air Indonesia bukan semata cinta buta, tetapi cinta yang dilandasi agama. Bahkan, Fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 menyatakan dengan tegas bahwa membela Tanah Air merupakan kewajiban agama.

Sebab, bangsa Indonesia merupakan kumpulan orang-orang beragama sehingga seluruh komponen umat beragama kala itu bergerak mengusir agresi militer Belanda II pada 1945. Khusus umat Islam, kewajiban agama ini mempunyai konsekuensi bagi siapa saja yang gugur di medan perang melawan penjajah, maka ia adalah mati dalam kondisi syahid. Sekilas, ini merupakan aktualisasi ajaran fiqih di pesantren untuk menyikapi realitas penjajahan saat itu.

Dari proses perjuangan yang panjang tersebut, NU telah diakui oleh masyarakat Indonesia sebagai benteng kokoh NKRI dan setia menjaga serta merawatnya. Logika sederhananya, siapa pun akan setia menjaga dan merawat sesuatu jika nyata-nyata memperjuangkan dan mendirikan sesuatu itu. Pengakuan terhadap peran NU dari sejumlah lapisan masyarakat tertuang dalam buku NU Penjaga NKRI terbitan Kanisius (2018).

Buku yang berisi kumpulan tulisan dari 22 tokoh nasional itu mempertegas bahwa NU sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan) bukan ’penjaga biasa’, melainkan memperkuat dan merajut berbagai elemen bangsa untuk menyadari bahwa cinta tanah air merupakan salah satu upaya aktualisasi nyata keimanan seseorang. Sehingga cinta tanah air berlaku untuk seluruh kaum beragama di Indonesia. Ini dicetuskan langsung oleh pendiri NU KH Hasyim Asy’ari yang menyatakan, hubbul wathani minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman).

Jika tanah air tempat berpijak dalam kondisi aman dan damai, maka prinsip lita’arafu (saling mengenal, bersaudara, bersatu) bisa berjalan dengan baik karena bangsa Indonesia merupakan masyarakat majemuk, baik dari sisi agama, etnis, suku, bahasa, seni, pakaian adat, dan lain-lain. Selain itu, dakwah Islam juga bisa dilakukan.

Mana mungkin Islam bisa memperluas dakwahnya jika tanah airnya dalam kondisi terjajah, tidak aman, dan lain-lain. Karena itu, prinsip hubbul wathani minal iman berlaku sepanjang zaman, apalagi di tengah radikalisme dan terorisme global, krisis kebangsaan dari generasi muda, dan kenyataan bahwa sejumlah negara hancur sebab perang saudara.

Buku tersebut juga menjelaskan sikap tegas NU dalam menjaga, merawat, dan mempertahankan NKRI tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan sudah sejak kelahirannya. Bahkan sebelum NU dideklarasikan, perjuangan para kiai dan santri melawan penjajah sudah dilakukan dan banyak menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Soekarno, Jenderal Soedirman, Bung Tomo, dan lain-lain. Ulama pesantren tempat meminta nasihat serta perlindungan lahir dan batin bagi para tokoh tersebut sebelum melakukan perjuangan melawan penjajah.

Berbagai gagasan, pemikiran, dan inovasi gerakan yang dilakukan oleh NU menunjukkan bahwa perjuangan organisasi Islam terbesar di dunia menyesuaikan kondisi zaman. Konsep Islam Nusantara yang digagas oleh NU dijelaskan salah satu penulis Agus Sunyoto secara historis terkait ajaran para Wali Songo dalam menyebarkan Islam di Nusantara lewat tradisi dan budaya sebagai instrumen dakwah kultural. Agus Sunyoto ingin menegaskan bahwa masyarakat Indonesia harus memahami tradisi dan budayanya agar NKRI makin kokoh dengan kuatnya identitas tersebut.

Corak khas Islam Nusantara yang memiliki sifat moderat, terbuka (inklusif), memperkuat kebersamaan di tengah perbedaan, semangat untuk memahami agama secara komprehensif dan tidak instan, tradisi dan budaya sebagai instrumen dakwah untuk melahirkan peradaban yang lebih baik inilah yang ditebarkan oleh NU ke berbagai penjuru dunia. Antusiasme dunia internasional tidak hanya pada konsep Islam Nusantara itu sendiri, tetapi juga pada kenyataan bahwa NU telah berhasil merawat kebinekaan.

Terkait prinsip-prinsip keagamaan dan kemasyarakatan yang dikembangkan oleh NU, negara seperti Australia yang cukup plural, berasal dari suku bangsa dan etnik di dunia, Islam yang dikembangkan oleh NU sangat mungkin diterima oleh masyarakat Australia karena sifatnya yang moderat (tawassuth), berimbang (tawazun), netral (ta’adul), toleran (tasamuh), dan setia bediri pada kebenaran dan kebaikan terhadap sesuatu yang munkar (amar ma’ruf nahi munkar). Australia merupakan salah satu negara saja, Amerika Serikat, dan negara-negara di Eropa juga bersifat plural sehingga Islam model NU bisa dikembangkan di seluruh dunia.

Peran global NU juga tidak terlepas dari perjuangan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Hal ini dijelaskan oleh Cendekiawan Kristen Trisno S. Sutanto. Ia menjadi saksi bahwa Gus Dur bukan hanya sosok perekat, tetapi perajut bangsa. Perjuangan Gus Dur bukan cuma dalam lingkup nasional, tetapi juga global sehingga ia dikenal luas oleh dunia internasional. Berbagai tulisan, pemikiran, gagasan, gerakan serta perlawanannya, misal terhadap rezim otoritarianisme Orde Baru banyak menginspirasi anak-anak muda untuk bersuara dan berkiprah untuk bangsa dan negaranya.

Selepas Gus Dur mangkat pada 30 Desember 2009 silam, kini pemikiran dan perjuangan Gus Dur berupaya diteruskan dan diaktualisasikan oleh Komunitas Gusdurian yang dipimpin langsung oleh putri sulung Gus Dur, Alissa Wahid. Alissa Wahid menegaskan bahwa Jaringan Gusdurian terbentuk untuk terus menghadirkan sosok Gus Dur dalam menghadapi sejumlah problem kemanusiaan, intoleransi, perdamaian dunia, dan lain-lain dengan model gerakan-gerakan sosial secara mandiri. Jaringan Gusdurian yang tersebar di 85 kota juga aktif menyelenggarakan Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG). 

Namun demikian, dari perjuangan NU, baik melalui tokoh-tokohnya maupun perjuangan secara struktural dan kultural, Cendekiawan Katolik Franz Magnis Suseno memberikan beberapa penjelasan tentang tantangan-tantangan baru yang harus dihadapi oleh NU. Ia melihat bahwa saat ini NU juga harus dihadapkan pada fenomena ekstremisme agama dan kebusukan korupsi dari para elit politik.

Romo Magnis bukan tanpa alasan manjatuhkan sorotannya pada dua tantangan tersebut. Sebab, ekstremisme agama dan praktik korupsi mengancam eksistensi bangsa dan negara, selain tergolong sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang merupakan problem serius bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa.

Para tokoh nasional dari berbagai elemen dan lapisan masyarakat saat ini sepakat bahwa negara bangsa (nation state) selama ini berhasil diperkuat oleh gerakan-gerakan civil society, seperti NU dan ormas Islam moderat lainnya. Tentu saja perjuangan menjaga NKRI harus terus dijaga dan dipertahankan oleh seluruh anak bangsa. Wallahu’alam bisshowab.


Penulis adalah warga NU kelahiran Brebes, Jawa Tengah