Tugas Intelektual Dunia Islam: Revolusi Elit Sebelum Revolusi Massa
NU Online · Selasa, 4 Juli 2006 | 05:52 WIB
Oleh : Dedy W. Sanusi *
APAKAH artinya pertemuan para intelektual muslim di tengah dunia Islam yang sedang bergolak di hadapan kita?
Irak masih diduduki Amerika dan sekutunya. Faksi Hamas dan Fatah bertikai di Palestina. Somalia masih jadi arena perang saudara. Ketegangan Siria dan Lebanon pasca kematian Rafiq al-Hariri belum juga reda. Uni Emirat Arab dan Iran masih berebut daerah sengketa. Maroko dan Aljazair masih berebut pengaruh di Sahara. Afganistan masih jadi ladang pertempuran pasukan Taliban dan tentara Amerika.
Mauritania jatuh bangun dengan kudeta. Saudi Arabia, Jordania dan Maroko masih di bawah kekuasaan para raja. Mesir masih memberlakukan hukum gawat darurat di bawah kekuasaan Presiden Husni Mubarak yang perkasa. Sudan belum lagi sembuh dari luka perang saudara. Qatar well come saja jadi pangkalan Amerika di perang teluk ketiga yang merontokkan rezim Saddam Hussein yang kini masih dipenjara.
<>Memang Abu Mus’ab az-Zarqawi sudah tiada. “Patah satu tumbuh seribu”, kata pribahasa. Selama ketidakadilan masih ada, mereka akan terus bekerja dengan ideologi yang kuat bagai baja. Jangan heran jika besok lusa, berita kematin dan kehancuran yang mengerikan masih mengoyak rasa kemanusiaan kita. Osama Benladen dan Aiman az-Zawahiri boleh timbul tenggelam di layar kaca, namun anak-anak muda yang terkena racun ideologinya siap jadi martir hidup kapan saja dan di mana saja, ---sebagaimana yang sudah pernah ada-- dari Inggris hingga Amerika, dari Jakarta hingga Casablanca.
Laporan UNDP tahun 2002, rata-rata pertumbahan perkapita di negeri-negeri Arab hanya 1 % per tahun sepanjang 20 tahun sebelumnya. Dua dari lima orang Arab, hidup per hari hanya dengan kurang dari 2 dolar Amerika. 15 % kekuatan kerja di negeri-negeri Arab tidak bekerja dan pada tahun 2010 diperkirakan berlipat dua. Hanya ada 1 % penduduk yang memiliki komputer pribadi dan hanya setengah persen yang tersambung di jagat maya. Separuh dari perempuan Arab tidak bisa membaca.
Kalau ke Sudan kita mengarahkan mata, ada Darfur yang menjadi arena tragedi kemanusiaan yang luar biasa. Konflik, kelaparan dan orang-orang yang tinggal di pengungsian menjadi pemandangan sehari-hari di sana. Laporan PBB menyebutkan, dalam rentang 1994-2003, ada 13 juta orang mati karena konflik, 12 juta-nya ada di kawasan Asia Barat, Asia Selatan dan Sub Sahara Afrika. ¾ dari 37 juta pengungsi juga berada di kawasan ini, berkelindan dengan angka kelaparan yang naik tangga.
Bagaimana dengan negeri kita?. Kabar baik berhembus bersama reformasi, Mei 1998, yang didesakkan massa dan mahasiswa. Momentum ini membawa perubahan mendasar berupa: demokrasi dengan pemilihan langsung, amandemen UUD 1945 dan desentralisasi kekuasaan ke pemerintah daerah tingkat I dan tingkat II. Namun, 26 Desember 2004, tsunami menghantam Aceh dan Nias, meminta korban hampir 200 ribu jiwa dan kerja rekonstruksi yang luar biasa. Luka masih menganga ditinggalkan oleh Jogja yang dihantam gempa.
Atas alasan inilah, katanya, pemerintah berhutang lagi untuk kesekian kalinya. Hutang yang menambah beban yang harus dibayar oleh anak cucu bangsa. Sementara pengangguran sudah mencapai angka 40 juta jiwa. Flu burung masih juga mengancam jiwa dan sedang diusahakan solusi tuntasnya. Anak-anak kurang gizi masih ada dan pernah ramai jadi berita. Pemaksaan kehendak dengan kekerasan oleh kelompok-kelompok tertentu mengancam integrasi bangsa.
DALAM kondisi dunia Islam macam inilah, para intelektual dari 57 negara berbasis muslim berkumpul di Jakarta. Banyak yang diharapkan dari mereka. Setidaknya, kalau elit berubah, massa pasti mengikutinya. Revolusi di tingkat elit, akan sangat menentukan revolusi di tingkat massa.
Tetapi bagaimana itu bisa?. Bagaimana ilustrasinya?. Mohamed Arkoun, Profesor di Universitas Sorbon Perancis, menuntut intlektual Islam untuk membuka diri dan menguasai produk terbaru di dunia ilmu-ilmu humaniora. Hanya dengan begitu, peradaban Islam akan kembali ke peran kesejarahannya. Arkoun mengambil inspirasi dari para intelektual abad ke-4 H semisal Abu Hayyan at-Tauhidi dan Ibnu Maskawaih yang lengkap, terbuka, menyerap segala produk peradaban di zamannya dan memberi kontribusi dunia Islam bagi kemajuan dunia manusia. Arkoun meminta intelektual Islam mengadopsi peran Maskawaih di zamannya dalam konteks zaman kita. Dalam hal ini, Arkoun mencoba mengambil peran pelopor dengan karya-karyanya yang dalam, multi perangkat metodologis dan menggebrak imaginasi kolektif umat yang menurutnya sudah kadung ideologis, berwatak keras dan tidak terbuka.
Dalam semangat mencari jawaban Islam terhadap kebuntuan zaman kita, Dr. Abu Ya’rab al-Marzuqi, intelektual Tunisia, menemukannya pada Ibnu Taymiyah dan Ibnu Khaldun setelah menemukan titik terang pada al-Gazali, tokoh intelektual Islam abad V. Al-Marzuqi menemukan persamaan “Ihya’ Ulumuddin”-nya al-Gazali sama dengan “Ihya al-Hadlarah al-Islamiyah” karena pada
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
4
PBNU Rencanakan Indonesia Jadi Pusat Syariah Dunia
5
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
6
Sejarawan Kritik Penulisan Sejarah Resmi: Abaikan Pluralitas, Lahirkan Otoritarianisme
Terkini
Lihat Semua