Opini

Trilogi Ukhuwah: Fondasi Pembangunan Indonesia

Kam, 2 Februari 2017 | 01:30 WIB

Oleh Slamet

Realitas Indonesia sebagai bangsa yang plural merupakan sebuah fitrah yang harus disyukuri keberadaanya. Kekayaan akan khazanah budaya, agama, ras, bahasa dan lainnya merupakan bukti bahwa manusia memiliki keanekaragaman dan memang harus hidup dalam kemajemukan. Namun sayangnya, kondisi ini oleh sebagian kelompok dianggap sebagai sesuatu yang “mengancam”, padahal tidaklah demikian. Nyatanya, Rasulullah hidup dalam kemajemukan suku dan agama di Madinah, namun dapat membangun kehidupan yang harmonis antar suku dan agama yang dituangkan dalam Piagam Madinah. Piagam Madinah atau yang disebut dengan Madina Charter ini merupakan bentuk komitmen bersama untuk saling menghargai kemajemukan.

Namun, melihat kondisi hubungan antarumat beragama di Indonesia dewasa ini, penulis merasa perlu untuk membuka sebuah pemikiran ulama Indonesia yang sangat brilian dan futuristik yang harus kembali digaungkan untuk menjawab tantang kebangsaan. Pemikirannya tidak saja menjadi tepat untuk menjawab permasalahan umat ketika itu, namun juga tepat untuk diaplikasikan pada saat ini dan masa-masa selanjutnya. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa pemikiran ulama Islam di Indonesia mampu “melampaui zamannya”.

Tentu saja yang dimaksud adalah konsep “Trilogi Ukhuwah” yang awalnya dikenalkan oleh tokoh Nahdlatul Ulama (NU), KH Ahmad Shiddiq (1926-1991). Konsep trilogi ukhuwah adalah menyatukan antara ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan dalam ikatan kebangsaan) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama umat manusia). Singkatnya, KH Ahmad Shiddiq ingin menyatukan antara Ukhuwah Islamiyah, nasionalisme dan pluralisme. Pemikiran brilian ini dikemukakannya menjelang Muktamar NU ke-28 di Krapyak, Yogyakarata pada tahun 1989. Dasar pemikirannya tidak lain adalah rangka menjaga hubungan baik antara masyarakat, agama dan negara.

Ukhuwah Islamiyah, dalam hal kehidupan manusia merupakan modal untuk melakukan pergaulan sosial sesama umat Islam. Dengan modal ini, maka perbedaan-perbedaan yang tidak prinsip antar umat Islam tidak perlu menjadi perpecahan. Prinsip ukhuwah ini menjadikan hubungan antar sesama umat Islam menjadi harmonis dan mampu menjadi sebuah kekuatan besar untuk bersama-sama membumikan nilai-nilai Islam. Ukhuwah Islamiyah menjadi sebuah ikatan, tidak saja secara emosional, namun juga secara sprititual.

Kemudian, ukhuwah wathaniyah, dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan modal dasar untuk melakukan pergaulan sosial dan dialog dengan pelbagai komponen bangsa Indonesia yang tentu saja tidak terbatas pada satu agama semata. Namun lebih dari itu, ukhuwah wathaniyah adalah sebuah komitmen persaudaraan antar seluruh masyarakat yang terdiri dari bermacam-macam agama, suku, bahasa dan budaya. Bangunan ukhuwah wathaniyah tidak boleh tidak harus menjadi sebuah prinsip bersama dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai dan saling menghargai satu sama lain.

Sementara, ukhuwah basyariyah atau ukhuwah insaniyah adalah sebuah prinsip yang dilandasi bahwa sesama manusia adalah bersaudara karena berasal dari ayah dan ibu yang satu, yakni Adam dan Hawa. Hubungan persaudaraan ini merupakan kunci dari semua persaudaraan, terlepas dari status agama, suku bangsa atau pun skat geografis, karena nilai utama dari persaudaraan ini adalah kemanusiaan. Hal ini mengingatkan kembali pada Sahabat Ali bin Abi Thalib yang mengatakan bahwa “dia yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudara dalam kemanusiaan.” Artinya, bahwa kemanusiaan adalah nilai tertinggi dalam posisinya sebagai manusia.

Tantangan Kehidupan Beragama Indonesia


Kehidupan berbangsa dan bernegara yang sudah dibingkai dalam Bhineka Tunggal Ika, lambat laun semakin mengkhawatirkan. Tak sekali dua kali, konflik antar masyarakat di Indonesia. Mulai dari konflik antar suku hingga konflik antar agama atau yang mengatasnaakan agama terjadi. Hal ini tentu menjadi tantangan yang serius yang harus dihadapi bersama demi mengembalikan tantanan kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis, dan yang juga telah dicita-citakan para pendiri bangsa.

Bahkan, utamanya di internal umat Islam, upaya labelisasi status “bukan Islam” kepada sesama pemeluk agama Islam juga telah mewabah di Indonesia. Fenomena ini tentu saja mengindikasikan bahwa persaudaraan di antara umat Islam semakin rendah dan hal-hal yang bersifat furu’iyah lebih diutamakan ketimbang hal-hal yang bersifat ushuliyah. Alhasil, hanya karena terjadi perbedaan dalam pandangan keagamaan yang bersifat furu’iyah, satu kelompok dengan mudahnya menghakimi kelompok lainnya dengan label salah. Atau lebih dari itu, “sesat” bahkan “kafir.” Atau bahkan, pelabelan terhadap status “bukan Islam” bukan didasari oleh hal-hal yang bersifat keagamaan, namun juga karena perbedaan pandangan politik semata. Kenyataan ini tidak bisa dipungkiri dan terus terjadi seiring dengan tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok Islam radikal di Indonesia.

Logikanya sangat sederhana. Jika dengan sesama Islam yang Tuhannya, Nabinya dan Al Qur’annya sama saja, mereka berani mengkafirkan dan terus menyerang, maka bagaimana dengan sikap mereka yang bukan Islam? Tentu ini adalah hal yang sangat mudah untuk dijawab. Fenomena yang semacam ini, secara sadar maupun tidak sadar telah menodai komitmen bersama para pendiri bangsa yang telah disatukan dalam Pancasila sebagai landasan ideologinya. Parahnya, kelompok-kelompok ini selalu mengatasnamakan Islam untuk memayungi kepentingan politik mereka, sehingga tidak sedikit masyarakat yang “terjebak” dalam isu-isu yang didengungkan karena selalu membawa-bawa nama Islam. Artinya, masih banyak masyarakat yang belum sadar bahwa “baju agama” yang dipakai adalah kamuflase dari kepentingan politik yang diusung.

Oleh karena itu, dalam rangka menjawab tantangan kehidupan beragama di Indonesia dan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, konsep “Trilogi Ukhuwah” yang dicetuskan oleh KH Achmad Sidiq harus digaungkan kembali. Konsep ini tidak hanya menjadi jawaban atas kondisi internal umat Islam saat ini, namun juga menjadi jawaban atas pelbagai masalah keagamaan dan kemanusiaan yang terjadi di Indonesia dan bahkan dunia. Ukhuwah Islamiyah akan menjadi sebuah ikatan di kalangan umat Islam , sehingga umat Islam menjadi kuat. Kemudian, ditambah dengan Ukhuwah wathaniyah yang akan menjadi fondasi bagi hubungan antar masyarakat yang majemuk, sehingga menciptakan negara yang bermartabat. Dan ukhuwah basyariyah atau ukhuwah insaniyah akan menjadi kunci perdamaian antar sesama manusia.

Akhirnya, konsep “Trilogi Ukhuwah” yang merupakan gabungan dari ukhuwah Islamiyah, nasionalisme, dan pluralisme harus menjadi semangat baru untuk membangun dan menatap Indonesia ke depan yang sesuai dengan Islam Nusantara yang moderat, humanis dan akulturatif terhadap kebudayaan-kebudayaan lokal. Hal ini sangat penting demi mewujudkan tatanan kehidupan Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Selamat Hari Lahir NU ke-91, merawat tradisi, mengupayakan inovasi, menjaga NKRI.

Penulis adalah Direktur Penyaluran NU Care- LAZISNU, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.