Opini

Teologi Kepemimpinan Isra' Mi’raj

NU Online  ·  Rabu, 29 Juni 2011 | 01:22 WIB

Oleh: Imam S Arizal

 

Peringatan Isra' Mi’raj Nabi Muhammad yang jatuh pada 29 Juni 2011 menjadi momen strategis bagi refleksi kepemimpinan kita. Saat ini bangunan kepemimpinan kita berada di ambang kehancuran. Terungkapnya skandal suap sejumlah pejabat negara, baik di tingkatan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif menjadi bukti nyata betapa kian memprihatinkannya para pemimpin bangsa ini. Fenomena tersebut merupakan event of experience yang menyedihkan dan kian meneguhkan citra negatif pemimpin bangsa ini, yang dalam istilah William Change dikatakan telah terjadi “demoralisasi” di lingkungan wakil rakyat.

Para pemimpin kita saat ini telah kehilangan identitas. Kualitas kepemimpinan tertutup oleh kepentingan-kepentingan individu dan kelompoknya semata. Tidak lagi mewarisi nilai-nilai ketulusan, kebenaran, dan keadilan, sebagaimana pernah diperkenalkan dan diimpikan oleh para pemimpin ideal, sejak rasulullah hingga sekurang-kurangnya khalifah yang yang empat. Pemimpin kita sedang berada dalam situasi krisis spiritualitas dan kehilangan fondasi keagamaan.

Krisis spiritualitas para pemimpin membuat suasana kehidupan masyarakat kian goncang, tercekam, ketakutan, dan kemiskinan yang tidak terpikirkan. Kepentingan politik individu dan kelompok telah menelantarkan kemaslahatan masyarakat. Persoalan-persoalan kebangsaan, seperti nasib TKI di luar negeri, para buruh, serta fakir-miskin yang kian terlantar, sama sekali tidak disentuh oleh pemerintah.

Spirit Isra’ Mi’raj

Di sinilah pentingnya memperingati Isra’ Mi’raj, yakni untuk merefleksikan spirit teologi kepemimpinan Nabi Muhammad selama hidupnya. Sudah bukan waktunya lagi kita memaknai Isra’ Mi’raj hanya semata perjalanan Muhammad di malam hari untuk menerima perintah shalat. Kita mesti menyeret makna peristiwa itu pada konteks yang lebih rill. Sebab, Isra’ Mi’raj penuh labirin dan makna simbolik, baik pada tatanan kemanusiaan atau pun teologi kepemimpinan.

Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan spiritualitas terpenting yang menjadi salah satu tonggak sejarah perjuangan Nabi Muhammad dalam membangun peradaban, keadilan, dan kemakmuran bagi seluruh umatnya. Proyeksi awal dari peristiwa Isra’ Mi’raj adalah menciptakan jalan pencerahan untuk membebaskan diri dari sisi gelap (dark side) pengamalan dan sejarah kemanusiaan. Shalat lima waktu yang diprintahkan Tuhan dalam peristiwa Isra’ Mi’raj tidak semata-mata ditafsiri sebagai kewajiban yang sifatnya ritual an sich, melainkan wahana untuk menegakkan kebenaran dan merobohkan bangunan-bangunan kemungkaran di muka bumi.

Jika dicermati, ada banyak hal yang dapat kita jadikan motivasi untuk lebih bersungguh-sungguh memaknai peristiwa agung ini sebagai spirit kepemimpinan. Pertama, spirit penyucian hati. Telah diriwayatkan, bahwa sebelum Nabi Muhammad dibawa Malaikat Jibril, beliau dibaringkan, kemudian dibelah dadanya; hatinya dibersihkan dengan air zamzam. Penyucian hati Rasulullah ini bermakna bahwa setiap manusia tidak akan pernah lepas dari kekhilafan. Setiap kali melakukan kekhilafan, setiap kali pula hatinya ternoda hingga menjadikannya hitam pekat, karena itu penting di sucikan.

Dalam konteks kekinian, jika seorang pemimpin melakukan tindakan yang dapat menyebabkan hati kotor, semisal melakukan suap-menyuap, maka penting juga disucikan, bahkan kalau perlu direndam (dalam penjara). Pemimpin yang hatinya kotor mustahil memiliki keinginan untuk memperjuangkan nasib rakyat. Alih-alih mereka hanya mementingkan kepentingan pribadinya.

Kedua, spirit keteladanan. Ketika di Baital Maqdis, misalnya, Nabi Muhammad ditawari dua gelas minuman yang berisi susu dan khamar, beliau memilih susu. Hal ini mengindikasikan bahwa pemimpin harus mampu memberikan yang terbaik dan bernilai positif bagi dirinya dan umatnya. Spirit keteladanan nabi Muhammad itu bisa dipraktekkan dengan menjauhi tindakan korupsi, skandal suap dan sek yang akhir-akhir ini kian merebak di kalangan wakil rakyat. Karena tindakan-tindakan tersebut lebih parah dari pada sekedar minum khamar.

Ketiga, prinsip keadilan. Proses negosiasi yang dilakukan nabi Muhammad dalam menerima kewajiban shalat juga menjadi cerminan bahwa esensi seorang pemimpin adalah berusaha meringankan beban yang dihadapi umatnya. Al-Ghazali mengungkapkan bahwa seluruh ajaran ibadah yang diwajibkan kepada umat Islam merupakan fondasi yang wajib dilaksanakan untuk menemukan saripati dan esensi agama, yakni agama sebagai rahmat bagi semua bangsa.

Masyarakat Madani

Keempat, spirit dan etos membangun peradaban yang kuat. Sejarah mencatat, tidak lama setelah Isra’ Mi’raj, Rasulullah dengan para pengikutnya hijrah ke Madinah. Dengan spirit dan etos yang lahir dari Isra’ Mi’raj, Nabi Muhammad SAW berhasil menyampaikan risalah kenabian di Madinah. Lebih dari itu, Beliau juga berhasil membangun sebuah negara kota yang disebut Al Farabi sebagai negara yang adil, makmur, sejahtera, aman, dan damai. Negara seperti itu adalah sebuah negeri ideal sebagaimana dicita-citakan para ahli dari Yunani, seperti Plato dan Aristoteles.

Kepemimpinan Nabi di Madinah dinilai sebagai kesuksesan memadukan antara nilai-nilai keislaman dengan spirit demokrasi, yang dalam bahasa Robert N. Bellah disebut sebagai masyarakat madani (civil society). Menurut Gus Dur, ada lima hal yang diperjuangkan Islam untuk membangun civil society, yaitu pertama, melindungi keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, kedua, melindungi keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan untuk berpindah agama, ketiga, menjaga keselamatan keluarga dan keturunan, keempat, memberikan jaminan keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan kelima, menjamin keselamatan profesi. Lima hal itulah yang diperjuangkan Nabi selama memimpin Madinah.

Kesuksesan nabi Muhammad dalam memimpin Madinah mendapat apresiasi serius di kemudian hari. Filsuf George Bernand Show berkeyakinan seandainya Muhammad diserahi untuk memimpin dunia modern, tentu berhasil menyelesaikan persoalan dengan cara yang dapat membawa dunia yang dapat membawa dunia ke dalam kesejahteraan dan kebahagiaan. Bernand juga meramalkan, akidah yang dibawa Muhammad akan diterima dengan baik oleh Eropa di kemudian hari. Maka tak heran, jika salah seorang sejarawan barat, Michael H. Hart, menempatkan Muhammad sebagai tokoh nomor wahid yang paling berpengaruh sepanjang sejarah umat manusia.

Spirit kepemimpinan nabi Muhammad menemukan momentum untuk diinternalisasikan dalam jiwa-jiwa pemimpin kita saat ini. Momentum Isra’ Mi’raj dapat menggugah bangsa Indonesia dalam menegakkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, kesejahteraan, dan keimanan, yang pada titik klimaksnya akan lahir sosok pemimpin yang memiliki integritas kebangsaan dan spirit religiusitas yang agung. Wallahu a’lam.
 
Imam S Arizal, Aktivis PMII Cabang DI. Yogyakarta