Opini

Tawangmangu, 53 Tahun Silam

NU Online  ·  Selasa, 3 Desember 2013 | 20:07 WIB

Kegiatan yang diselenggarakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Kentingan (UNS) Solo, beberapa waktu yang lalu, sedikit membuka ingatan saya akan peristiwa monumental bagi PMII, yang tetap eksis hingga di usia ke-53, pada tahun ini. <>

Ingatan itu berupa sejumlah catatan tentang Kongres (saat itu masih bernama Mu’tamar) pertama yang diselenggarakan PMII, yang kala itu masih menjadi underbouw (Banom) dari Nahdlatul Ulama (NU). Tepatnya pada tanggal 23-26 Desember 1961 di Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Sebuah daerah yang terletak di lereng Gunung Lawu, yang berjarak sekitar 42 km dari Kota Solo.

Terpilihnya Tawangmangu atau Solo sebagai tempat kongres pertama memang bukan tanpa alasan. Ketika itu, beberapa kader dari Solo seperti Ahmad Mustahal dan Chalid Mawardi menjadi kader utama yang ikut membidani berdirinya PMII di tahun 1960. Juga menjadi pertimbangan, Solo yang saat itu menjadi basis Kota Pergerakan.

Sebanyak 13 Cabang hadir pada acara tersebut, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Surakarta, Semarang Ciputat, Malang, Makasar/Ujungpandang, Banjarmasin, Padang, Banda Aceh, dan Cirebon.

Pada Medan Muktamar I PMII tercatat beberapa poin penting. Pertama, terpilihnya kembali Mahbub Junaidi sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) PMII Periode 1961-1963. Proses terpilihnya Mahbub sebagai ketua ini, mungkin ada sedikit kemiripan dengan yang terjadi pada musyawarah mahasiswa NU di Surabaya, setahun sebelumnya.

Sebagaimana yang digambarkan oleh M. Said Budairy dalam tulisannya Sudah Benar “PMII Tetap Islam" (1997) : “Dia (Mahbub) juga tidak mengkampanyekan diri, apalagi sampai mendirikan posko di dekat medan musyawarah. Tapi Mahbub terpilih sebagai ketua umum. Ketua I terpilih Chalid Mawardi dan Sekretaris Umum-nya saya (Said).” Cerita ini mungkin akan sulit kita temukan pada Kongres PMII di masa sekarang, dengan sebuah ‘alasan’ : beda zaman!

Poin kedua yang perlu dicatat, yakni lahirnya pokok-pokok pikiran yang diberi nama Deklarasi Tawangmangu. Deklarasi tersebut berisi meliputi pandangan tentang dan sikap PMII terhadap sosialisme Indonesia, pendidikan nasional, kebudayaan nasional dan tanggung jawab PMII sebagai generasi muda islam intelektual yang ikut dalam perjuangan bangsa, pengembangan Islam dan perjuangan akan anti imperialisme dan kolonialisme.

Deklarasi Tawangmangu merupakan refleksi PMII terhadap isu nasional pada saat itu. Deklarasi itu kemudian dilengkapi lagi dengan landasan-landasan Al-Qur'an dan Hadits yang dituangkan dalam Penegasan Yogyakarta, salah satu hasil keputusan kongres PMII kedua di Yogyakarta pada tahun 1963 (Said, 1997).

Dua keputusan penting inilah, Deklarasi Tawangmangu yang dikuatkan dengan Penegasan Yogyakarta, menjadi landasan penting nilai yang dimiliki oleh PMII hingga saat ini, tentang nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. (Ajie Najmuddin/Anam)