Opini

Tata Kelola SDA dan Muktamar NU di Cipasung 20 Tahun Lalu...

Ahad, 24 Agustus 2014 | 06:02 WIB

Oleh Muhammad Nurul Huda
Menjelang peringatan kemerdekaan RI 17 Agustus 2014, PBNU menginstruksikan para pengurus NU di daerah untuk aktif mengawasi praktik-praktik pengerukan sumber daya alam (SDA) di lingkungan masing-masing. Instruksi ini diserukan oleh pengurus teras PBNU antara lain Kiai Masdar F Mas’udi, Gus Yahya Cholil Staquf, H Abbas Muin, dan H Imam Aziz, Jumat (15/8).
<>
PBNU mencermati banyak operasi tambang di daerah-daerah telah merusak ekosistem lingkungan warga sekitar. Selain itu, tak ternilai juga dampak kerugian sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang diakibatkan eksploitasi SDA secara membabi buta. Misalnya, makin langkanya sumber-sumber air, pencemaran udara dan air tanah, lubang-lubang bekas area tambang yang menganga, prostitusi, perselingkuhan, perceraian, kendurnya norma masyarakat dan nilai-nilai keluarga, serta dampak sosial dan lingkungan lainnya. 

Dalam seruan itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyertakan penolakan terhadap pembangunan pabrik semen di kawasan Gunung Kendeng kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Dukungan lainnya juga disuarakan untuk Gerakan Samarinda Menggugat yang tengah menempuh jalur hukum terhadap perusahaan-perusahaan perusak lingkungan di wilayah Kalimantan Timur.

Instruksi PBNU ini mengingatkan kita kembali kepada hasil-hasil Muktamar NU di Cipasung, 20 tahun lalu. Dalam Muktamar NU ke-29 tanggal 1-5 Desember 1994 di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat ini, para ulama dan kiai NU menegaskan SDA dan lingkungan hidup bukan semata soal politik atau ekonomis. Ia juga menjadi masalah teologis (diniyah).

“Mengingat dampak kerusakan lingkungan hidup juga memberikan ancaman terhadap kepentingan ritual agama dan kehidupan umat manusia”. Begitu bunyi hasil Masail Diniyah tentang Pandangan dan Tanggung Jawab NU terhadap Lingkungan Hidup, yang seolah mengantisipasi gerak zaman, pembangunan, dan serbuan industri tambang masa kini.

Oleh karena itu, dalam pandangan NU, pelestarian lingkungan hidup adalah salah satu tuntutan agama yang wajib dipenuhi oleh manusia, baik secara individual maupun kolektif. Pembangunan industri harus merealisasikan tujuan syariat, yakni berpihak pada maslahah ‘ammah (kepentingan umum). Sebaliknya, tindakan yang bertolak belakang dengan maslahah ‘ammah, dengan kata lain mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup, dikategorikan sebagai perbuatan munkar atau maksiat yang diancam dengan hukuman. Demikian hasil Masail Maudlu’iyyah waktu itu.

Adapun maslahah ‘ammah, dalam muktamar yang sama, juga telah dirumuskan. Ia mesti benar-benar membawa manfaat bagi kepentingan umum, bukan membawa manfaat kelompok elit, perorangan, atau pihak-pihak tertentu. Ia mesti meniadakan mudharat bagi masyarakat umum khususnya lapisan dhua’fa dan mustadh’afin, dan bukan hanya mudharatnya elit atau pihak-pihak tertentu.

Namun untuk mencapai maslahah ‘ammah ini, diperlukan suatu penelitian yang dalam, kajian cermat, dan musyawarah rakyat. Dan bila diperlukan perwakilan dalam musyawarah, maka mestilah wakil-wakil itu datang dari rakyat, ditunjuk oleh rakyat dan bekerja atau bersuara untuk kepentingan rakyat.

Pesan yang paling mudah diambil dari Muktamar Cipasung dan Seruan PBNU kurang lebih demikian: para kiai, guru dan warga nahdliyin mesti terlibat dalam desain tata kelola tambang sesuai kebutuhan dan lingkungan masyarakat setempat. Mereka tidak cukup menerima laporan-jadi suatu rencana operasi tambang dan mendengarkan kegiatan sosialisasinya semata. Mereka berhak diikutsertakan dalam penyusunan analisis dampak sosial dan lingkungan (Amdal) mulai A sampai Z, sekaligus diberikan hak kebebasan untuk memeriksa dokumen hasilnya.

Ada persambungan nalar dan keberlanjutan nilai dalam rentang 20 tahun antara Seruan PBNU 2014 dan keputusan Muktamar NU di Cipasung 1994. Masa kini dan masa depan adalah anak kandung dewasa dari buah pikiran dan karya sosial pada masa silam. Wallahu a’lam.


Muhammad Nurul Huda, Pegiat Kajian Sosial dan Budaya